Kopi yang tersuguh di atas meja tinggal separuh cangkir. Hangat dan aromanya sudah menguap bergabung dengan partikel lain di langit-langit rumah. Sebuah tangan yang telah berkeriput meraih gagang cangkir, mengangkatnya dan mendekatkan bibir cangkir pada bibir yang menghitam karena nikotin.
Sang pemilik tangan, seorang lelaki separuh baya berambut keperakan, meletakkan kembali cangkir itu dan meraih sebatang rokok yang menyala, melintang di atas asbak. Ia hirup asap rokok pelan-pelan. Semuanya ia lakukan dalam gerakan lambat. Bukan hanya karena badannya yang menua, tapi ia butuh beberapa waktu untuk menenangkan diri.
Lelaki lain yang lebih muda, separuh usianya dari si lelaki berambut keperakan, duduk di depannya dengan tatapan menerawang. Tangannya memain-mainkan korek api, tapi sepertinya ia sama sekali tak berniat menyalakan rokok.
"Jadi, kamu tidak ingin punya anak, begitu?" kata si lelaki berambut keperakan. Ia sengaja meninggalkan nada rendah di akhir kalimatnya, berharap mendapatkan bantahan dari kesimpulan yang ia buat.
"Bukan seperti itu," jawab si lelaki muda yang lalu sibuk dengan pikirannya. Tampak sekali ia sangat memperhitungkan pilihan kata yang akan keluar dari mulutnya. "Punya anak itu bukan prioritas dalam hidupku. Ya, seperti itu. Jadi kalau suatu saat, tiba-tiba, aku ingin punya anak ya aku akan berusaha. Untuk saat ini... tidak."
Si lelaki berambut keperakan menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Lambat-lambat. Lalu katanya,
"Lihat teman-temanmu, saudara-saudara seusiamu bahkan yang lebih muda, mereka sudah punya anak. Tidakkah kau ingin juga?"
"Tidak." Kali ini si lelaki muda menjawab mantap.
"Iya, tapi kenapa?" Si lelaki berambut keperakan mulai tak sabar.
Hening sejenak, lalu si lelaki muda mengambil nafas dalam dan menjawab,
"Sekarang untuk apa aku punya anak? Meneruskan keturunan? Aku merasa tidak butuh itu. Lagipula mungkin ada anak-anak lain yang bisa aku urus yang bahkan orang tuanya sendiri enggan mengurusi. Khawatir masa tuaku akan kesepian? Aku rasa tidak. Aku bisa masuk ke panti jompo dan menghabiskan waktu di sana, jika perlu," jawab si lelaki muda.
Si lelaki berambut keperakan agak terkejut dengan jawaban panjang itu. Biasanya lelaki muda itu hanya menjawab pendek-pendek. Lebih sering ia diam dan mendengarkannya menuturkan kisah ini itu. Namun kali ini, di luar kebiasaan, lelaki muda di hadapannya seperti orang yang sudah lama sekali memendam apa yang ingin ia katakan. Si lelaki berambut keperakan harus kembali menelan kekecewaan setelah konsep pernikahan yang ia yakini ternyata tak diimani sama oleh si lelaki muda. Ia berharap dari soal beranak pinak mungkin bisa terbuka celah lagi membahas konsep pernikahan. Pikirannya memutar memori saat ia berusia dua puluhan dan nekad ingin menikahi perempuan yang ia cintai.
Muda dan berjaya, mungkin tepat disandangkan kepadanya saat rambutnya belum dipenuhi uban seperti sekarang. Lahir dari keluarga terpandang tak membuatnya bermalas-malasan. Lagipula bukan dengan cara manja ia dibesarkan, justru sebaliknya. Didikan keras telah menjadikannya orang yang juga keras. Pun keras pada dirinya sendiri, pada keinginan dan tujuan hidupnya. Di usia mudanya, ia sudah menargetkan pada usia berapa ia harus menikah, pada usia berapa ia harus punya anak. Perencanaan itu ia lakukan agar perjalanan hidupnya sesuai perhitungan: menua tanpa khawatir anak-anak tak bisa dikasih makan.
Kebanyakan kawannya pun seperti itu. Mengikuti orang-orang tua mereka pun yang seperti itu. Seolah tak ada jalan lain yang mungkin bisa diambil oleh seorang manusia sejak ia keluar dari rahim ibunya bersama cairan ketuban sampai kemudian renta menggerogoti tubuh dan hanya meninggalkan jiwa. Tumbuh, sekolah, lulus, bekerja, menikah, memiliki anak, anak kedua, dan seterusnya.
Tinggal di kota kecil, si lelaki berambut keperakan dilingkupi cara hidup yang tampak sederhana namun sebetulnya tetap juga penuh liku itu. Selain kegemarannya merenungi arti hidup, si lelaki berambut keperakan juga setiap hari menonton televisi, apalagi di saat roda dunia tak lagi ramah menggandeng tubuhnya. Seperti kopi dan rokok, televisi adalah bagian dari dirinya. Bukan hanya siaran lokal yang ia tonton, jadi ia cukup tahu bagaimana dunia di luar sana. Bagaimana orang-orang menjalani kehidupan dengan cara yang seratus delapan puluh derajat berbeda dari kehidupan yang ia miliki sekarang. Ia bisa mengerti tapi tak pernah ia bayangkan jika salah satunya saja hadir tepat di depan batang hidungnya. Ibarat membaca kisah Ramayana, agak sulit dicerna akal jika dalam kehidupan nyata kita berjumpa kijang emas di tengah hutan dan mendadak menjelma Narisa, pengiring Rahwana.
Si lelaki berambut keperakan tahu betul dunia ini berubah terus. Mana ada anak muda jaman sekarang yang mau bercelana cutbray yang dulu ia bangga-banggakan namun dicaci habis-habisan oleh orang-orang yang lebih tua. Itu baru soal celana. Belum lagi soal cara berpikir.
Ia lalu mengalihkan pandangan kepada si lelaki muda yang masih tampak menerawang. Tersadar ia tak bisa lagi mengenali sosok yang ada di depannya, apalagi menembus alam berpikirnya. Namun seketika itu juga ia temui sorot mata yang serupa dirinya di usia muda.
"Ya... setiap orang punya jalan hidupnya sendiri-sendiri. Dan kita tidak bisa saling memaksakan," kata si lelaki berambut keperakan, akhirnya.
"Ya, ayah..." Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar