Sebelumnya saya ucapkan selamat kepada Dee yang bukunya telah menjelma menjadi film layar lebar. Terlepas dari kekecewaan saya (masih gemas luar biasa dengan tokoh Diva), saya senang karena karya tersebut bisa diperluas pasarnya. Ya, sebagai fondasi Supernova, Kesatria, Putri dan Bintang Jatuh bukan buku yang mudah dipahami karena kreativitas sang penulis mengawinkan istilah sains dan kata-kata romantis, ide besar tentang alam dan pengalaman sekian manusia yang walaupun hanya bagian titik-titik kecil dari ide besar itu tapi masing-masing saling terhubung. Jadi mungkin saja ada orang yang sudah membaca tapi tidak dapat esensinya, atau baru baca satu bab langsung tutup buku karena rasa baca buku pelajaran fisika, maka film ini bisa jadi alternatifnya.
Seperti satu narasi dalam bagian akhir film (saya lupa tepatnya, itu kelemahan saya yang paling menyebalkan), “Bagi Anda yang terbiasa melihat dunia hitam dan putih…”, Supernova memang menyajikan banyak fenomena yang dianggap masih tabu oleh masyarakat kita: pasangan sesama jenis, prostitusi, perselingkuhan. Cara Dee menghadirkan fenomena-fenomena itu menarik, memang mendobrak pola pikir hitam-putih kebanyakan orang. Misalnya saja, gay yang seringkali dilekatkan dengan hedonisme dan sering gonta-ganti pasangan. Dee justru menggambarkan tokoh gay yang berpasangan bertahun-tahun, tidak terjebak pada ‘mengapa aku seperti ini?’, party, fashion dan seks. Juga dari tokoh Diva, yang sebagai pekerja seks high-class, Dee ingin menunjukkan suatu otonomi atas tubuh seorang individu. (Tentu ini menjadi catatan karena bisa dijadikan senjata bagi para moralis menggeneralisir semua fenomena prostitusi)
Sayangnya, dobrakan yang coba ditawarkan oleh Dee tidak mendapatkan respon semestinya dari penikmat Supernova. Pesannya tidak sampai. Setidaknya begitu yang saya rasakan saat saya menonton filmnya kemarin sore. Cekikikan serta lontaran “iiih..” dan “jijik”, saat Reuben dan Dimas menunjukkan afeksi di antara mereka, mengisyaratkan saya satu hal: masyakarat belum siap dengan hal ini.
Namun yang paling membuat saya terganggu adalah saat adegan Arwin mengajak, secara tersirat, untuk berhubungan seks dengan istrinya, Rana, yang sedang tidak menginginkan hal tersebut karena hatinya sudah terpaut pada Ferre. Rana berteriak dalam hati, “Re, tolong aku. Aku diperkosa.*” Kebanyakan penonton, dan kebanyakan perempuan, tertawa. Heran saya.
Tidakkah mereka tahu adanya perkosaan dalam rumah tangga? Ya, itu terjadi ketika salah satu pihak tidak menginginkan berhubungan seks, tapi pihak lain tetap memaksa, dengan cara apapun sehalus apapun. Ini bukan lelucon. Saya jadi bertanya pada perempuan-perempuan penonton itu, jika mereka memang belum pernah melakukan hubungan seks, pernahkah setidaknya membayangkan apa rasanya harus mengikuti kehendak suami saat diri tidak menginginkan? Apakah hanya alasan sakit saja yang bisa membuat seorang istri dapat menolak ajakan suami? Ah ya, dalam agama bukankah istri harus melayani suami, dalam kondisi apapun ya, daripada dilaknat malaikat sampai pagi? Salah nonton film sepertinya, Ayat-ayat Cinta saja kalau begitu.
Pertanyaannya saya justru, jika untuk hubungan seksual saja Rana tidak asertif pada suaminya, lalu apa yang menjadi landasan rumah tangga mereka? Komunikasi yang saling? Saya rasa tidak.
Dugaan saya yang lain adalah, tokoh Rana yang menjalin hubungan dengan laki-laki yang bukan suaminya, dianggap telah menurunkan martabatnya sendiri, setidaknya mungkin di hadapan para penonton seperti itu. Sehingga apa yang dialami dan dirasakan Rana akan dianggap main-main dan dikomentari “Ya salahnya sendiri…” termasuk saat merasa dirinya diperkosa oleh suami sendiri. Apakah saya saja yang terlalu sensitif dengan isu perkosaan ini? Bisa jadi, tapi bukan berarti tanpa alasan.
Perkosaan bukan hal main-main. Saya bahkan sedapat mungkin tidak menggunakan kata tersebut untuk berkelakar, karena setiap kali mendengar kata perkosaan yang saya bayangkan adalah seseorang yang tersiksa tidak hanya secara fisik tapi juga mental. Maka ketika ada orang yang mengatakan, “Saya diperkosa” saya merasakan pedih yang luar biasa dalam, luka batin yang akan sulit untuk disembuhkan.
Well, jika memang dugaan-dugaan saya itulah yang menjadi dasar dari respon penonton terhadap adegan Rana dan Arwin tersebut, berarti ini adalah pekerjaan rumah bagi para pejuang hak asasi manusia, terutama hak perempuan. Faktor X dari penerima pesan film Supernova memang terlalu kompleks, dan tentu kita paham bahwa pola pikir masyarakat yang sudah mapan tidak dapat diubah begitu saja hanya dengan satu karya novel atau film.
Jika respon ini terjadi karena medianya, karena kehilangan daya untuk menggiring emosi penikmat karya karena proses adaptasi dari buku ke film (yang memang tidak mudah), ya ini pekerjaan rumah bagi para pembuat film. Terutama bagi yang ingin menggebrak cara-cara pikir tradisional.
Tapi saya sungguh-sungguh berharap bahwa respon tersebut memang tidak dikehendaki oleh sang pengirim pesan, sang pencipta karya. Bahwa apa yang dirasakan oleh Rana tersebut tidak dimaksudkan untuk main-main.
*Keping 9, Kestaria, Putri dan Bintang Jatuh
Liberal skuler, ham disalah artikan sama orng yg mau enak...
BalasHapusSiapa nih? Saya? Dee? Rana? Ferre? Diva? Arwin?
HapusOh iya, emang liberal dan sekuler menurutmu apa? Mm.. siapa panggilannya? Ano? Onim?
Jadi penasaran sama film ini. Eh tapi ga perlu baca Novelnya dulu kan??
BalasHapusBelum dapet testimoni dari yang udah nonton tapi belum baca bukunya sih. Sok dicoba hehe.. kalo mau pinjem aja bukunya =D
HapusSy sdh baca bukunya, sangat bagus dan mmbuat sy trobsesi mmbaca akar, petir dan partikel. Tapi apakah kita sepakat bahwa homoseksualitas, prostitusi dan prselingkuhan bukan hal yg benar dengan alasan apapun? -andi-
HapusDear Anonim, kalau anda berpikir demikian, silakan saja. Tapi saya tidak bisa sepakat begitu saja. Diskusi saja belum kok udah sepakat hehe.. Perbincangannya akan lebar nih, apa yang membuat anda berpikir kalau itu bukan hal yang benar dengan alasan apapun? Karena ajaran agama? Agama yang mana? Penafsiran yang mana? Atau nilai sosial lain? Nilai yang mana? Nah kan jadi panjang hehe..
HapusMemang tidak semuanya demikian. Untuk negeri yang sangat bhinneka, dee jeli melihat celah2 yang masih dianggap aneh di mata orang2. Tapi saya mengganggap film ini layak ditonton. At least, filmografi bermutu yg harus sering dibuat untuk "menghapus" film2 semi porno yg banyak di horor indonesia terkini.
BalasHapusHaha ya sepakat kalau untuk menghapus film-film gak jelas mulai hantu jalan-jalan sampai hantu pake bikini. Sinematografinya memang indah, tapi jujur saja, kalau menurut saya terlalu muluk, terlalu sinetron (faktor PHnya kali ya)
Hapus