17 Februari 2015

Kita Pikir?

Enak sekali kalau punya kakak yang hanya terpaut umur 2-3 tahun. Topik obrolan masih satu frekuensi, bisa jadi teman curhat dan sekutu yang hebat saat orang tua terlalu ‘rese’. Hmm.. tapi enak juga kalau punya kakak yang terpaut umur jauh. Ada yang bisa diandalkan saat ibu atau ayah tidak ada di rumah, bisa memberikan masukan yang lebih masuk akal saat kita dilanda masalah, mengajari bermain gitar atau bagaimana perawatan wajah terbaik. Ah, tapi enak juga kalau punya adik. Ada yang bisa kita suruh-suruh saat kita malas menggerakkan badan. Eh, tunggu… Jadi anak tunggal juga sepertinya enak. Semua yang kita inginkan bisa dikabulkan. Perhatian dan kasih sayang hanya untuk kita.

Asyik sekali kalau punya pacar. Ada yang mengucapkan ‘Selamat Pagi’ setiap hari. Ada yang mengerti, dan berusaha mengerti, apa yang sedang kita rasakan. Ada yang tersenyum senang hanya karena melihat kita tertawa. Tapi… asyik juga ya kalau kita single. Bebas kemana-mana dengan siapa sesuka hati. Tak perlu khawatir rasa cemburu berlebih yang menyulut pertengkaran. Hmm… atau lebih asyik punya open-relationship. Punya teman rasa pacar. Kita masih bisa ‘bermain-main’ dengan orang lain tanpa harus takut menyakiti pasangan.

Setiap hari bertemu pacar itu sepertinya seru. Siapa bisa menahan rindu saat hati terbalut cinta? Kita bisa sentuh wajahnya setiap hari, bersyukur bisa menemaninya hampir dalam setiap apapun yang ia lakukan. Hmm… tapi punya pacar jarak jauh juga sepertinya seru. Setiap hari selalu ada dua kisah menarik, beda makanan yang disantap, beda orang yang ditemui. Ada ruang lebih untuk kehidupan pribadi tanpa harus merasa sendiri.

Ah, sepertinya menarik kalau rumah kita ada di tepi pantai. Mata selalu dimanjakan pada setiap senja. Air kelapa yang dinikmati bersama angin laut beraroma asin. Deburan ombak dan anak-anak yang berlari menyambut kapal nelayan yang baru pulang menangkap ikan. Tapi punya rumah di atas bukit juga menarik. Udara segar hadiah dari rindangnya pepohonan tersaji setiap saat. Bunga beraneka warna bermekaran di musim tertentu dengan iring nyanyian burung-burung kecil. Sesekali tupai menggemaskan menyapa teras rumah. Hmm… punya rumah di tengah kota juga menarik. Segala fasilitas bisa kita dapat semudah membalikkan badan. Ratusan orang kita temui setiap hari dengan berbagai kisah.

Atau justru sebaliknya…

Kakak yang umurnya dekat dengan kita hanya jadi biang masalah. Sediki-sedikit kita dibandingkan dengannya. Kakak yang umurnya jauh juga tidak jadi berkah karena tingkahnya lebih kolot dari orang tua kita. Punya adik itu menyebalkan, apalagi saat harus mengantarnya dan menjaganya bermain dengan bocah lain. Ugh! Dan kau pikir jadi anak tunggal itu enak? Serba diatur. Tak ada juga yang dapat diajak bicara saat orang tua tak di rumah.

Punya hubungan dengan seseorang hanya menambah rumit hidup. Sedikit-sedikit harus saling pengertian, sedikit-sedikit harus membuka diri. Dan single juga tidak selamanya bahagia, karena berarti jomblo, serupa tapi punya konotasi lebih negatif. Senegatif cara orang melihat kenapa kita tidak punya pacar juga. Open-relationship? Pernah dengar drama? Cukup.

Permintaan pacar untuk bertemu setiap hari terasa manis di awal, tapi ujung-ujungnya seperti harus ikut upacara setiap Senin pagi. Rutinitas. Membosankan. Dia tidak usah cerita, kita tahu apa kegiatan dia seharian. Dan punya pacar tapi jarak jauh juga bisa menjauhkan keromantisan. Apalagi saat sinyal mendadak hilang dan pacar memutuskan untuk pergi dengan teman-temannya daripada menelepon kita.

Rumah di pantai itu menarik? Tunggu saja saat musim badai. Dan rumah di atas bukit juga berarti siap-siap saja dengan kedatangan ular atau listrik yang tiba-tiba padam karena tiangnya amblas dibabat longsor. Akhirnya, hidup di tengah kota memang menjanjikan banyak hal, tapi ada yang harus ditebus untuk mendapatkan janji manis itu: waktu, tenaga, pikiran bahkan kadang pertemanan.

Jadi, kita pikir?
Lingkaran mana yang lebih terang?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar