23 September 2011

Makan Siang dan Hitam Putih Keyakinan

Sebuah percakapan saat makan siang antara seorang perempuan dan seorang laki-laki yang usianya separuh usia si perempuan.

P : Tidak sholat?
 

L : Tidak.
 

P : Oh, anda Kristen? Atau Katholik?
 

L : Bukan keduanya. Saya tidak punya agama.

Si perempuan terdiam sebentar. Dia berpikir dan ingin mengatakan mana ada orang yang tidak punya agama. Tapi laki-laki yang sedang duduk di depannya ini menjawab tanpa ada tanda ia sedang bergurau.


P : Kenapa?
 

Si laki-laki tahu si perempuan punya agama, tampak dari atribut yang dikenakan. Agama yang sama dengan agama yang ia tinggalkan. Mustahil tak akan ada debat kusir jika ia mengatakan yang sebenarnya bahwa dirinya merasa lebih tenang hidupnya setelah tak lagi menganut agama itu. Maka ia hanya menjawab:
 

L : Tidak apa-apa. Yang pasti melalui proses.
 

P : Ah... proses. Usia anda masih muda. Mungkin anda sedang kebingungan. Tidak masalah.
 

Si laki-laki hanya tersenyum. Ya, kebingungan. Tapi ia merasa beruntung dengan kebingungan yang ia rasakan yang mungkin tak pernah dialami oleh kebanyakan orang lain yang bak kerbau dicocok hidung menerima begitu saja doktrin yang diturunkan dari ibu dan ayah mereka.
 

Si perempuan memandang si laki-laki, ada rasa khawatir. Laki-laki itu mungkin seusia anaknya yang paling tua. Ia bersyukur bisa memberikan pendidikan agama yang cukup untuk anaknya. Lebih dari itu, ia bersyukur ia masih memiliki agama. Seperti apa hidup anak muda itu tanpa agama. Dengan agama, si perempuan merasa berjalan di jalan terang, membuatnya merasa aman dan tenang.
 

P : Janganlah tidak beragama. Lebih baik pindah agama daripada tidak memiliki satupun karena agama itu pegangan hidup.
 

L : Maaf, saya punya pegangan hidup sendiri. Saya tahu nilai yang baik dan buruk.
 

P : Ya, tapi tanpa pemimpin... ah, nanti juga anda akan merasakan saat anda berkeluarga nanti.
 

Si perempuan sekali lagi melirik dengan khawatir laki-laki muda yang duduk di depannya, sibuk menghabiskan jus jeruk dari gelasnya. Kini ia teringat pada kakak laki-lakinya.
 

P : Kakak saya pindah agama saat usinya tak lagi muda. Dan itu menyulitkan anak-anaknya.
 

L : Menyulitkan anaknya?
 

P : Ya, mereka diminta memberikan ucapan hari raya yang dirayakan anak-anaknya tapi tidak oleh ayah mereka.
 

Si laki-laki hampir tersedak. Tampak persoalan yang serumit menyelesaikan 1 x 1 x 3.
 

P : Saya dulu sekolah di sekolah berbasis agama C yang berbeda dengan agama yang saya anut. Jadi saya sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Ah, tapi sayang, kakak saya pindah ke A, bukan C.
 

Si laki-laki kali ini hampir menelan gelas jusnya. Sungguh dia tidak paham dengan cara berpikir si perempuan itu, kontra diksi dalam waktu sepersekian detik.
 

Si perempuan berputar-putar dalam pikirannya sendiri. Apa yang terjadi pada anak muda ini hingga ia memutuskan tidak beragama? Tidakkah ia takut pada tuhan? Pada surga dan neraka?
 

L : Maaf, saya permisi duluan. Saya mau merokok.
 

P : Oh, silakan. Oya, Anda juga harus memikirkan bagaimana nanti saat anda menikah dan punya anak, mungkin itu akan menjadi pertimbangan soal agama anda.

Si laki-laki tersenyum mengangguk.
 

Si perempuan memandang punggung laki-laki muda yang beranjak menuju ruang merokok. Kilatan memori kembali menghinggapi benaknya. Ah ya, ibunya. Ibunya pun meski mengaku beragama tapi tak pernah beribadah. Lalu ia ingat ayah si ibu, kakeknya, yang menyebut nama tuhan di tarikan nafas terakhirnya padahal ia tahu sang kakek adalah penganut aliran keyakinan yang tak pernah menyebut nama tuhan dengan sebutan itu.
 

Si laki-laki teringat pada ayahnya yang sudah tak lagi menanyakan kapan akan menikah karena sepertinya sudah mulai paham kalau pernikahan bukan suatu kewajiban dan tujuan hidup bagi anaknya. Ia menyalakan sebatang rokok, menengok sebentar ke belakang, melihat si perempuan, lalu bergumam, 'Kasihan...'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar