16 September 2008

Penemuan Baru Cara Membunuh Rakyat Miskin


Innalillahi wa inailaihi rajiun…
Sedih
Kaget
Bingung
Marah
Bulu kuduk saya benar-benar berdiri ketika saya pulang buka puasa dan melihat tayangan di televisi. Dua puluh satu orang tewas di Pasuruan, Jawa Timur. Semuanya perempuan. Semuanya meninggal karena menjadi korban, entah terinjak-injak atau kehabisan oksigen, saat antri untuk mendapatkan zakat. Bayangkan! Antri mendapatkan zakat harus ditebus dengan nyawa…
Numbness
Tadi pagi saya berbincang-bincang dengan beberapa kawan di kantor. Sambil membuka-buka koran yang semuanya menaruh berita duka di Pasuruan di halaman depan. Lantas teman saya berkata, “Yang aneh tuh, masak orang-orang yang lagi gali lubang kuburan buat korbannya tuh nggak kelihatan sedih, malah ketawa-tawa, kesannya kayak tragedinya tuh cuma berlalu begitu aja.” Saya lantas ingat ceritanya Mas Iwan Piliang, pas pelatihan Jurnalisme sebulan yang lalu. Dia bercerita tentang pengalamannya memberikan sumbangan kepada pemulung sampah yang ditanggapi dengan sangat dingin oleh si penerima sumbangan. Kesannya tidak tahu terima kasih. Tapi, sungguh, mereka memang benar-benar tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih, mereka sudah lupa rasanya terharu, rasanya sedih, rasanya bahagia. Mereka lupa bagaimana caranya mengekspresikan diri karena tidak ada waktu buat mereka untuk itu. Yang harus mereka pikirkan setiap detik dalah bagaimana cara bertahan hidup. Atau mungkin berapa kali mereka melihat kemunafikan orang-orang yang sok berbuat baik padahal ada udang di balik batu.
Numbness atau kekakuan emosi, biasanya dialami oleh orang-orang yang mengalami trauma berat, diterpa badai besar. Namun tak usah badai, tetesan-tetesan air terus meneruspun bisa meluluhlantakan batu. Kerasnya kehidupan telah membuat banyak orang kehilangan cara berpikir sehat (dalam Islam saya pernah mendengar kalimat bahwa kefakiran itu mendekati kekafiran), termasuk untuk mendapatkan uang. Saya terhenyak ketika tahu uang zakat yang dibagikan besarnya “hanya” Rp. 20.000,- per orang (sebelumnya dijanjikan Rp. 30.000,- tapi pihak pemberi zakat membuat keputusan baru setelah begitu banyaknya orang yang meminta zakat). Saya bilang “hanya” karena bagi saya, uang itu hanya cukup untuk makan 1 hari (bahkan mungkin bagi orang lain uang itu hanya cukup untuk membeli segelas air putih dinginnya saja). Tapi bagi mereka?
Kemiskinan dapat mendorong manusia untuk melakukan apapun. Tindak kriminal sampai antre zakat berbuah kematian. Gak cuma antre zakat… coba lihat pas pembagian BLT lah, apalah, kalau nggak kisruh, kayaknya ada yang kurang. Nah pertanyaannya, kemiskinan itu tanggung jawab siapa? Sang Haji, yang (mungkin) niatnya baik tapi sayang malah bikin orang kehilangan nyawa, mungkin merasa bertanggung jawab terhadap kemiskinan yang ada di daerahnya. Ya mungkin beliau merasa perlu memberikan 2,5% dari kekayaannya di bulan puasa ini. Lumayan, pahalanya kan dobel bel bel. Apalagi kalau uangnya hasil beliau ngasih ceramah dimana-mana (tau sendiri lah harga ustadz kondang sekali panggil berapa, yang belum kondang ya dikurangi dikit-dikit lah), pahalanya tambah bel bel bel… (saya sebenarnya tidak tahu pasti pekerjaan sang haji apa)
Salah Siapa?
Saya gemas melihat berita itu. Sama gemasnya pas saya menemukan iklan sebuah partai berwarna biru dengan segitia aneh di tengahnya, dipampang di halaman 0 (karena memang menutupi halaman depan) surat kabar terbesar di negeri ini, yang langsung saya sobek dan saya buang ke tempat sampah. “Ganggu aja! Nutupi tanggal terbit korannya!” saya bilang begitu ketika teman saya mau memarahi saya.
Tragedi di Pasuruan menimbulkan pertanyaan, salah siapakah sebenarnya ini? Mau fair? Saya tunjuk langsung aja: Negara. Kenapa saya bilang begitu, ini alasan saya, dari mulai yang paling simple sampai yang rumit, mungkin ngawur, jadi boleh dikritik:
1.  Negara tidak mampu membudayakan budaya antre yang baik dan benar. Ya.. gimana mau masyarakatnya ngantre, orang kursi aja direbutin rame-rame sama pejabat. Mbok ngantre pak, bu… Cara membudayakannya? Ya dibuat sistem lah. Di bank, di pom bensin, di McD, di Hero aja orang bisa ngantre karena sistemnya tidak memungkinkan orang berebutan. Coba kalau ibu-ibu di Pasuruan itu ngantre tertib…
2.  Negara tidak bisa mengatur subsidi silang dari orang-orang berduit dengan orang kekurangan duit. Ya maklum, pejabatnya aja ngerasa kuraaaaang terus walau udah dikasi laptop, mobil, rumah, sampai piknik ke luar negeri. Coba kalau orang-orang kaya mau bayar pajak sesuai ketentuan, plus zakat-nya, gak cuma pas bulan puasa. Coba kalau ibu-ibu di Pasuruan itu dapat bantuan rutin tiap bulan…
3.  Negara tidak bisa mengatasi kemiskinan. Bukannya membuka lapangan kerja, malah sibuk jual asset negara ke pihak asing, malah harga terus-terusan dinaikin. Untungnya buat siapa? Jelas bukan buat ibu-ibu di Pasuruan dan rekan-rekan senasibnya. BBM dinaikin, terus bikin program BLT lah… Ya nggak ngedidik namanya. Bukannya dari kecil kita diajarin, daripada ngasih ikannya, lebih baik kita kasih pancing dan kail. Meskipun angka kemiskinan di Indonesia aja nggak jelas karena kriterianya yang sengawur pemerintahnya, bukan berarti kalau, “Saudara sebangsa setanah air, angka kemiskinan di Indonesia menurun tahun ini, berarti kita… bisa enjoy karaokean! Hore! Hore!” Goblok. Tetap ada aja yang hidup miskin, dan mereka tetap harus diperhatikan (Inga-inga Pasal 34 UUD 45 dan halo apa kabar soal jaminan hak azasi manusia) Coba kalau ibu-ibu itu tidak miskin…
4.  Negara terlalu banyak korupsi. Ini nih mungkin yang bikin Sang Haji tidak percaya, tidak mau memberikan zakat lewat badan amil. Departemen Agama pernah menduduki posisi tertinggi di tangga lagu perkorupsian! Bayangkan! departemen yang kebanyakan isinya ngaku ustadz! Weleh… Ini juga yang bikin kas negara rugi, terus hasilnya banyak warga yang tadinya nggak miskin jadi miskin, yang miskin makin miskin. Coba kalau ibu-ibu itu tidak tinggal di negara penuh koruptor…
5.  Nah, sekarang baru saya mau nyalahin pihak Sang Haji dan panitianya, jelas salah. Bikin acara nggak siap (saya sama teman iseng menghitung. Katanya mereka menyediakan Rp. 50 juta, setelah diitung-itung, dengan uang segitu terus dibagi per kepala Rp. 30.000, berarti cukup buat 1.667 orang. Tau berapa banyak perempuan yang mengantre? 5.000! jelas nggak siap), nggak laporan sama pihak berwajib (padahal itu kan mengumpulkan massa), dan terakhir cuma nyari gampang. Kalo emang mau bagi-bagi rezeki lebih bagus datengin aja rumah penduduk satu-satu, lebih bagus lagi kalau jangan sampai ada orang lain yang tau, capek deh. Kok ya tega gitu nenek-nenek umur 65 tahun dibiarkan ngantre dari jam 6 pagi sampai kehabisan oksigen? Saya sih mencium ada “sesuatu” yang diinginkan dari pengumpulan massa itu. Hussh! Bulan puasa gak boleh suudzon. Kalau sampai Pak Haji and the gank gak diusut secara hukum… wah tambah lagi muka jelek hukum Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar