1 Desember 2010

Islam Membawa Pesan Damai, Masihkah?


Saya dulu pernah dengar dari kawan saya soal sosialisasi anti Yahudi di sekolah setingkat TK berbasis Islam. Kata teman saya, beberapa guru mengajarkan lagu-lagu yang berisi kecaman terhadap Israel dan ajakan untuk membunuh Yahudi. Saya antara percaya dan tidak saat itu. Pertama, percaya karena tidak ada alasan teman saya untuk berbohong dan bagaimana muslim radikal melakukan cara apapun untuk memperkuat basisnya. Kedua, tidak percaya karena masak iya di sekolah tingkat TK diajarkan lagu yang mengandung lirik 'bunuh'? Dulu saya waktu TK cuma diajarkan lagu tentang pelangi, balon dan kapiten. Lalu saya juga masih percaya ajaran Islam tak pernah mengijinkan untuk menyebarkan kebencian.


Sore ini, dengan mata dan telinga saya sendiri, saya lihat dan dengar bagaimana akhirnya saya menjatuhkan keyakinan saya pada pilihan pertama: percaya bahwa muslim radikal melakukan cara apapun untuk memperkuat basis, dengan menyebarkan kebencian.


Saya dan beberapa kawan membuat aksi untuk memperingati Hari AIDS Sedunia, 1 Desember. Tahun ini, kami tak membuat acara besar-besaran. Sederhana saja (lihat postingan saya sebelumnya, kalau mau hehe..) Kebetulan sekali, Perda tentang HIV dan AIDS ditandatangani oleh Gubernur DIY pada tanggal 1 Desember 2010. Saya dan kawan-kawan merasa ingin mensosialisasikan Perda tersebut kepada masyarakat luas. Dengan judul Dukung dan Awasi Implementasi Perda HIV & AIDS DIY, kami membentangkan spanduk meminta dukungan dan komitmen masyarakat Yogya untuk mengawasi pelaksanaan Perda DIY No. 12 tahun 2010 tersebut.


Tidak lama kemudian, seorang kawan memberi tahu saya bahwa akan ada aksi lain dari organisasi Islam, juga tentang HIV dan AIDS. Saya paham. Biasanya memang tanggal 1 Desember ini terjadi aksi tanding-tandingan. Kepedulian yang sama soal HIV dan AIDS, namun dengan cara pandang yang 180 derajat berbeda. Tak heran. Mereka di posisi yang melihat kasus HIV dan AIDS dari perspektif moral. Saya di posisi yang realistis sajalah: isu kesehatan dan sosial.


Ketika rombongan longmarch organisasi agama tersebut sampai di titik aksi kami, kami memberikan jalan. Toh kami juga tidak menggunakan jalan, hanya memasang spanduk di trotoar dan beberapa orang 'menyerbu' pengguna jalan pada saat lampu merah, untuk membagikan bunga, pita merah dan kopian perda. Agak terkejut saya karena barisan longmarch ternyata diisi oleh anak-anak seusia SD. Mengikuti kakak-kakaknya, mereka berteriak-teriak soal isu HIV yang diakibatkan oleh penyimpangan seks, alias, menurut versi mereka, seks bebas (masih saja istilah ini dipakai ya... heran) dan homoseksual dan transseksual.


Kami berdiri saja di pinggir trotoar. Beberapa kawan saya lalu mencoba memberikan bunga sebagai tanda damai dari kami. Anggota rombongan yang lebih tua jangankan menerima, mereka sama sekali tidak mau melihat kami. Saya masih menghargai jika ditolak dengan senyum dan ucapan terima kasih, tapi sayang sekali tidak saya dapatkan. Beberapa anak tertarik untuk mengambil bunga tersebut dengan muka berseri-seri. Tapi apa yang kemudian terjadi membuat saya benar-benar kecewa. Orang-orang yang lebih tua di kelompok tersebut menyuruh anak-anak agar tidak menerima bunga-bunga tersebut, bahkan beberapa ada yang dikembalikan. Nyata di depan mata saya sendiri bagaimana anak-anak itu diajak untuk menjaga jarak terhadap kami, membenci kami.


Terus terang, saya buta soal etika pergaulan dalam Islam. Bagaimana bersikap harus bersikap pada orang lain yang kita anggap 'musuh'. Haruskah kita tolak pemberian dari mereka? Yang saya ingat adalah kisah Muhammad, Nabi yang (katanya) menjadi panutan orang Islam. Beliau yang mendatangi rumah seorang laki-laki buta yang setiap harinya selalu menghina dan menghujat sang Rasul. Muhammad datang ke rumah si lelaki itu karena beliau mendengar bahwa dia sakit. Tidak hanya menjenguk, Rasul bahkan menyuapinya! Silakan yang merasa sebagai pengikut Muhammad, tidakkah contoh itu nyata bagi kalian yang mempercayainya?


Saya masih percaya, inti ajaran Islam dan agama lain adalah kedamaian. Sayangnya, kedamaian ini seringkali diartikan oleh sekelompok orang sebatas kedamaian individu yang ujung-ujungnya egois. Bukan kedamaian lil alamin (benar ya bahasanya? Maksudnya: kedamaian bagi semesta alam). Citra Islam menjadi buruk karena oknum-oknum berpandangan seperti itu, mengharapkan kebahagiaan dunia dan akhirat bagi diri dan kelompoknya dengan cara yang merugikan atau melecehkan orang atau kelompok lain.


Soal rasa risih saya yang lain adalah kampanye yang mereka, organisasi agama tersebut, lakukan, tidak berdasarkan fakta medis. Mereka berteriak-teriak bahwa penyebab HIV adalah homoseksualitas. Mari kita bicara fakta saja. Data yang dilaporkan Kemenkes sampai September 2010, jumlah kasus AIDS berdasarkan faktor resiko dari hubungan seksual yang dilakukan oleh homoseksual itu sebesar 3 % saja. Tahukah anda berapa yang dari hubungan seks heteroseksual? Lima puluh satu persen! (Sisanya dari faktor resiko pemakaian napza suntik, transfusi darah dan ibu positif ke bayinya). 


Sekarang, bicara realistis, jika organisasi agama tersebut mampu membuat homoseksual menjadi heteroseksual (katakanlah itu mungkin), apakah dengan kemudian tidak adanya homoseksual, kasus HIV dan AIDS akan selesai?
Hal konyol yang lain, ketika kami menawarkan kopian perda kepada mereka, salah satu (laki-laki) dari mereka menolaknya dan mengatakan bahwa justru mereka berjuang untuk menolak perda tersebut, yang menurutnya, berarti menolak juga membaca isi perda! Wah, canggih! Menolak tanpa tahu apa yang mereka tolak. Berpikiran magis sih magis, tapi ya nggak segitunya kali... Kami saja harus mengopi berlembar-lembar perda tersebut agar orang yang akan mendukung tahu apa yang mereka dukung.


Kontras dengan perkara aksi organisasi agama yang radikal tersebut, pagi harinya saya hadir di pemutaran film, juga tentang HIV dan AIDS di organisasi keagamaan yang lain. Nahdlatul Ulama. Setelah memutar film, kami menggelar diskusi. Diskusi yang menyenangkan, hangat dan realistis. Fokus pada apa yang BENAR-BENAR terjadi dan apa yang kira-kira bisa dilakukan bersama-sama untuk menunjukan kepedulian terhadap isu HIV dan AIDS. Untungnya, setahu saya, organisasi agama yang satu ini punya pengaruh cukup kuat di Indonesia dengan jumlah dan loyalitas massa yang tak bisa dibandingkan dengan kelompok radikal. Sangat berharap sekali saya pada mereka, tunas-tunas muslim yang tetap berdiri pada keyakinannya namun bisa berkiprah dalam perubahan sosial dengan cara damai. Semoga!


Note: Saya bukan pengikut NU. Namun sejauh ini, saya menaruh penghargaan pada beberapa tokoh muslim dari kalangan ini yang saya tahu berpikiran terbuka, realistis dan sadar sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar