6 Juli 2011

Pluralisme Kewargaan

Senang sekali saya mendapatkan buku ini. Gratis pula! :: thanks, dear =) ::

Kalimat awal di kata pengantar menyebutkan buku ini sebagai salah satu buah dari program kolaborasi empat negara yang dinamai Pluralism Knowledge Programme sejak akhir 2008. Segera, memori saya terbang ke satu tahun lalu (tepat di bulan ini), saat saya mendapatkan kesempatan untuk bergabung dalam salah satu kegiatan pada program yang sama. Dengan bingkai Summer School on Pluralism and Human Development, saya bersama sembilan belas orang dari empat negara tersebut berbagi pengalaman dan ilmu mengenai berbagai isu, termasuk pluralisme di negara masing-masing.

Belanda disibukkan dengan pluralitas warga negara, antara kaum imigran dan kaum yang mendaulat dirinya sebagai asli Belanda. Sementara di Uganda, isu kesukuan dan partai politik menjadikan negara tersebut tak pernah sepi dari kerusuhan. Di India, selain masalah kasta, ketegangan berbau agama juga menjadi isu. Yang disebutkan terakhir adalah isu besar yang sedang dihadapi di Indonesia saat ini.

Tak ayal, meskipun di judul buku ini tak disinggung sama sekali soal agama, saya langsung mengaitkan pluralisme yang dimaksud pastinya tak bakal jauh-jauh dari isu kepercayaan dan keyakinan.


Tulisan pertama dengan tajuk Pluralisme Kewargaan: Dari Teologi ke Politik yang ditulis Zainal Abidin Bagir dan tulisan kedua Keragaman, Kesetaraan dan Keadilan: Pluralisme Kewargaan dalam Masyarakat Demokratis (Zainal Abidin Bagir dan AA GN Ari Dwipayana), memberikan gambaran mengenai arah dan urgensinya pluralisme kewargaan. Istilah ini mungkin terdengar baru, namun diajukan oleh para penulis dengan alasan sebagai pembeda dari wacana pluralisme teologis yang seringkali berujung buntu karena urusan teologis sulit diganggu gugat. Agama di sini dipandang tak hanya melulu urusan teologis namun juga mencakup dimensi sosial. Karena kenyataannya, agama juga memainkan peran tidak hanya dalam urusan bagaimana menyembah Tuhan, namun juga dalam urusan-urusan sosial termasuk politik yang justru di situlah akar masalah yang sedang dihadapi sekarang oleh bangsa ini.

Wacana pluralisme kewargaan terfokus pada bagaimana masyarakat yang multi identitas dapat hidup bersama dalam konteks ikatan suatu negara-bangsa yang mempersatukan identitas-identitas tersebut. Bicara negara, tentu bicara politik.

Pada tulisan ketiga, Mustaghfiroh Rahayu mencoba mengangkat isu pluralisme (agama) dan hak-hak perempuan. Dua isu yang sama-sama memimpikan kesetaraan manusia, namun ternyata bisa bertemu pada titik yang berpotensi melemahkan salah satunya. Penulis mencontohkan beberapa kasus seperti kasus poligami di Perancis, kasus cerai seorang perempuan Muslim di India, kasus cerai dalam hukum Yahudi dan kasus nusyuz dan poligami dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Kasus-kasus tersebut melukiskan bagaimana pluralisme yang mengidamkan adanya penghargaan dan pengakuan atas keragaman budaya dan tradisi, termasuk budaya dan tradisi dalam agama, berhadapan dengan tuntutan feminisme yang menginginkan perlakuan yang lebih adil bagi perempuan.

Isu ini mengingatkan saya pada satu diskusi di Summer School soal poligami. Bagi pemerhati hak-hak perempuan (rata-rata berlatar belakang organisasi), poligami jelas menunjukkan lemahnya posisi perempuan, karenanya tak ada alasan untuk menyetujuinya. Sementara bagi mereka yang lebih kuat pada isu-isu pluralisme (berlatar belakang akademisi), poligami dipandang sebagai satu bagian budaya tertentu yang karenanya patut dihargai, bukan masalah besar.

Saat itulah awal saya menyadari bahwa pluralisme cukup 'membingungkan'. Jika saya mengatakan saya pluralis, saya tidak bisa berteriak minta dibubarkannya ormas tertentu yang menurut saya biang rusuh. Jika saya melakukannya, maka saya tidak cukup pluralis karena tidak bisa menerima keberadaan ideologi ormas tersebut. Soal bagaimana kemudian saya berpandangan mengenai pluralisme ini, tentu tidak akan saya bahas di sini.

Tulisan yang membuat saya menggeleng-gelengkan kepala adalah tulisan Trisno S. Sutanto di bagian kelima buku ini. Lewat Negara, Kekuasaan, dan "Agama": Membedah Politik Perukunan Rezim Orba, penulis tidak hanya membelah namun menguliti kulit wajah rezim tersebut yang dengan lihainya mengemas isu kerukunan agama (penulis membahasakannya sebagai perukunan) untuk melanggengkan kekuasaan dan mengontrol umat beragama di Indonesia.

Sejak awal perumusan ideologi negara ini, agama telah menjadi isu panas. Sila pertama Pancasila ternyata sangat abstrak, di satu sisi memberikan kelonggaran bagi semua orang, termasuk yang tidak beragama, bertuhan berbilangan dan tidak mengakui tuhan untuk tetap berdaulat dalam negara ini. Tapi di sisi lain, dan yang sering terjadi, sila ini justru dijadikan alat pembenaran bagi negara untuk mengatur hidup keagamaan masyarakatnya alih-alih kehidupan antar agama. Negara seakan memiliki wewenang untuk menjaga kemurnian agama melalui UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Padahal jelas, kemurnian agama bisa sangat multi tafsir (tengok saja beragamnya aliran atau kelompok dalam satu agama).

Ternyata, negaralah yang selama ini telah menanamkan benih-benih kecurigaan di antara pemeluk agama. Istilah SARA yang digaung-gaungkan pada masa silam, misalnya, adalah salah satu bukti bahwa keberagaman telah dipandang sebagai sesuatu yang mengancam, bukan lagi merupakan realitas faktual. Sayangnya, keruntuhan orde baru tidak lantas meluluhkan cara pandang penguasa terhadap hal ini. Lebih parah lagi, negara seakan-akan melakukan pembiaran terjadinya kekerasan yang menimpa kelompok minoritas agama seperti yang terjadi pada kasus Ahmadiyah.

Sebagaimana ditulis dalam buku ini, pluralisme kewargaan belum tentu menjadi satu solusi untuk menyelesaikan semua masalah keragaman agama karena adanya jurang antara wacana ide-ide dan kenyataan di lapangan. Namun, dengan pandangan baru ini, bukan tidak mungkin kita dapat menemukan solusi bagi terciptanya kehidupan yang harmonis yang kita impikan.

Informasi buku
  • Judul buku : Pluralisme Kewargaan, Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia
  • Penyusun : Zainal Abidin Bagir, dkk.
  • Penerbit : CRCS UGM dan Mizan
  • Tahun : 2011
  • Tebal : 200 hlmn

1 komentar: