7 Juli 2011

Hidup Bagai Air Mengalir: Ironi.

Tidak seperti biasa, pagi itu bis yang saya naiki tidak penuh sesak. Selain duduk nyaman, saya juga bisa membaca satu dua halaman buku yang sengaja saya bawa. Buku selalu ada di dalam tas saya untuk jaga-jaga kalau bermacet ria dalam bis terus mati kutu. Tapi lebih sering tidak dibacanya karena tangan saya sibuk bergelantungan, tidak kebagian tempat duduk.

Baru beberapa paragraf saya baca, seorang ibu dan anak perempuan berusia dua atau tiga tahun duduk di samping saya. Si anak melihat name tag yang saya gantung di leher dan menunjuk-nunjuknya tapi tidak mengatakan apapun. Si ibu yang merasa menunjuk-nunjuk orang lain sebagai perilaku tidak sopan, meraih tangan si anak, meletakkannya di perut si anak, lalu berkata, "Oomnya mau kerja. Nanti kamu sudah besar juga kerja." Saya tersenyum.

Nanti kamu sudah besar juga kerja, kalimat yang sederhana dan saya yakin tak ada tendensi apapun dari perempuan itu. Tapi dampaknya bagi saya? Saya tutup buku yang sedang saya baca lalu asyik dengan pikiran sendiri. Kumat.

Hidup manusia antara lahir dan mati sepertinya telah digariskan dengan sekian tugas, seperti air yang mengalir dari hulu ke hilir selalu begitu: sekolah - kuliah - kerja - menikah - bereproduksi - pensiun. Secara siklus, umumnya mungkin memang seperti itu. Walaupun saya tahu ada banyak yang tidak bisa sekolah, tidak bisa kuliah, kerja, menikah dan bereproduksi, entah karena alasan pemiskinan, pemarjinalan atau perbedaan individu yang tidak mendukung. Pun ada beberapa orang yang meskipun mampu, tapi memilih untuk tidak mengambil salah satu atau salah dua tugas itu: memilih tidak kuliah, memilih tidak menikah atau memilih tidak memiliki anak, juga dengan sekian alasan.

Selain menjadi tuntutan sosial, yang menarik adalah adanya kerangka tertentu untuk merujuk setiap tugas tersebut secara lebih spesifik, sesuai dengan nilai yang ada di masyarakat. Agak ribet bahasa saya, mungkin dengan contoh akan lebih mudah dipahami. Sekolah, misalnya, diartikan jenjang SD sampai SMA, duduk dalam kelas dan bertemu guru enam hari dalam seminggu. Tak heran jika ada yang bilang, "Anak saya tidak sekolah, cuma homeschooling", yang berarti proses belajar, yang sebetulnya inti dari sekolah, yang dilakukan di luar lembaga sekolah, tidak termasuk 'sekolah'. Begitupun dengan bekerja. Bagi banyak orang, bekerja berarti di kantor, masuk pagi pulang sore dan sekian kriteria lainnya (kriteria ini tidak berlaku bagi beberapa pekerjaan yang dimaklumi perbedaannya lebih karena prestise: dokter, pilot, dsb). Tidak heran juga kalau akhirnya ada yang berkata, "Saya tidak bekerja, cuma buka usaha sendiri".

Saya lantas melihat diri saya sendiri, pagi itu di dalam bis menuju kantor. Saya bertanya kepada hati: inikah yang benar-benar saya inginkan? Pagi berangkat, di kantor duduk di depan komputer, sesekali berdiskusi dengan kawan, sore pulang, lima hari dalam seminggu. Saya membayangkan seorang saya yang lain, yang sehari-hari hanya melakukan apa yang benar-benar ingin saya lakukan. Penulis, pekerja seni, saya iri pada mereka yang seakan-akan mendapatkan semuanya: melakukan apa yang mereka mampu, mereka inginkan dan juga, yang paling penting, mendapatkan uang dari apa yang mereka lakukan itu. Belakangan, saya baru sadar, mungkin mereka juga tidak sebebas seperti apa yang saya bayangkan: berurusan dengan manager, dengan label, jadwal yang padat demi memenuhi kontrak, tuntutan fans dan celengan. Ah, memang tak ada yang bisa benar-benar lepas dari sistem sosial.

Esoknya, setelah makan siang, saya mengobrol dengan teman kantor saya. Dia menceritakan pengalamannya menjadi ibu rumah tangga selama tiga tahun. Bukan pengalaman yang cukup menyenangkan, saya duga. Beban dan tanggung jawab untuk mengurus rumah dan bayi menjadikan ia sering merasa tertekan dan lebih sensitif. Jiwa sosialnya menghendaki ia berkegiatan di luar, berjumpa dengan banyak orang dan menggunakan otaknya bukan melulu urusan susu basi atau harga bawang merah.

Saya lalu teringat kawan saya saat sekolah dulu. Dia seorang perempuan yang sangat rajin. Saat SD, kami bersaing mendapatkan posisi siswa teladan (sekolah kami berbeda tapi masih satu komplek). Beranjak SMP dan SMA, tidak seperti saya yang malah tambah melorot, dia makin bersinar. Kalau ada pekerjaan rumah kimia (dia paling jago urusan ini), saya rajin menyambangi rumahnya yang hanya 50 meter dari rumah saya. Sering, dia tidak membiarkan saya begitu saja menyalin pe-ernya, namun dengan sabar mengajari saya yang otaknya sudah tidak peduli dengan C4H2O atau apalah. Lulus kuliah, dia melanjutkan kuliah di pendidikan (kalau tidak salah dapat beasiswa juga, beda dengan saya yang akhirnya terdampar di universitas swasta selama 1 tahun). Ya, dia akan sangat cocok menjadi guru, dengan otak dan kesabaran yang luar biasa. Tapi apa yang kemudian terjadi? Sama seperti banyak teman perempuan yang pintar-pintar di sekolah, mereka hanya berakhir dengan mengurus anak dan suami, sambil menjalankan bisnis rumahan yang mungkin tidak butuh teori atom dan sejenisnya. Miris!

Tuntutan sosial. Selalu melulu soal itu. Saking kuatnya, tuntutan ini bahkan mengalahkan prinsip yang dianggap paling dasar bahkan oleh orang yang meyakininya: agama. Saat saya pulang kampung kemarin, saya, ibu dan adik melayat kerabat yang meninggal. Ibu saya bertanya soal jadwal tahlilan dan berapa banyak yang biasanya datang. Yang ditanya menjawab, "Kalau di sini banyak, bisa lebih dari 100 orang. Soalnya tidak enak kalau tidak datang, daripada jadi gunjingan sekampung" (terjemahan bebas dari si penutur yang bicara Sunda). Lha...

Guru saya di organisasi di Jogja, yang menghabiskan masa kecil dan remajanya di pesantren, pun pernah mengajukan pertanyaan retoris pada saya, "Lebih kuat mana nilai agama dan kemanusiaan (sosial-pen)? Kemanusiaan!" Dia lalu mencontohkan kenapa orang memakai baju. Apa karena agama mengajarkan demikian atau lebih karena perasaan malu telanjang di muka umum, karena semua orang memakai baju masak kita memakai daun jati?

Manusia memang unik. Di satu sisi ingin mempertahankan kekhasan individu yang dimiliki masing-masing. Menonjol dengan apa yang dimiliki dan sejatinya ia. Namun di sisi lain, manusia juga tidak mau berbeda dengan kebanyakan orang alih-alih dianggap terlalu nyentrik atau bahkan kurang waras. Untuk yang terakhir, saya masih bertanya-tanya, apakah keinginan itu memang murni muncul dari dalam diri atau ditekankan sedari kita kecil untuk mengikuti kemana air mengalir? Adakah kemungkinan, dengan sistem yang ada sekarang, jika kita melawan arus itu kita bisa menemukan telaga lain yang sama jernihnya, bahkan mungkin lebih?

2 komentar:

  1. keren tulisanmu say

    melawan arus..bagi saya tidak ada kata itu dalam hidup saya, ya saya pikir saya tidak melawan apapun,saya hanya menikmati hidup menuruti kata hati dan otak saya. dan jika ternyata berbeda dari kebanyakan orang lain, mereka menyebutnya melawan arus yang artinya melawan arus itu kata, istilah dan masalah mereka bukan saya. Hidup ini cuma singkat cuma sekali sebagai diri saya yg sekarang..nikmati aja, orang bilang, egp..salam dari tantemu yg tdk gemuk2:)

    BalasHapus
  2. terima kasih commentnya, tante (tante yang mana ya ini?? hehehe...) menarik, hidup dengan menuruti kata hati dan otak, yang mungkin tidak sesuai dengan kata hati dan otak orang kebanyakan hehe.. mari menjalani hidup dengan cara kita masing-masing, bukan tidak peduli pada pilihan orang lain tapi justru menghargai apa yang telah mereka pilih. akur?

    BalasHapus