5 Juli 2011

Gender: Sebuah Pengantar

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan gender? Gender dapat didefinisikan sebagai keadaan dimana individu yang lahir secara biologis sebagai laki-laki dan perempuan yang kemudian memperoleh pencirian sosial sebagai laki-laki dan perempuan melalui atribut-atribut maskulinitas dan feminitas yang sering didukung oleh nilai-nilai atau sistem dan simbol di masyarakat yang bersangkutan. Lebih singkatnya, gender dapat diartikan sebagai suatu konstruksi sosial atas seks, menjadi peran dan perilaku sosial.

Istilah gender seringkali tumpang tindih dengan seks (jenis kelamin), padahal dua kata itu merujuk pada bentuk yang berbeda. Seks merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Contohnya jelas terlihat, seperti laki-laki memiliki penis, scrotum, memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki vagina, rahim, memproduksi sel telur. Alat-alat biologis tersebut tidak dapat dipertukarkan sehingga sering dikatakan sebagai kodrat atau ketentuan dari Tuhan (nature)

Sedangkan konsep gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, laki-laki itu kuat, rasional, perkasa. Sedangkan perempuan itu lembut, lebih berperasaan, dan keibuan. Ciri-ciri tersebut sebenarnya bisa dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang lembut dan lebih berperasaan. Demikian juga ada perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Perubahan ini dapat terjadi dari waktu ke waktu dan bisa berbeda di masing-masing tempat. Jaman dulu, di suatu tempat, perempuan bisa menjadi kepala suku, tapi sekarang di tempat yang sama, laki-laki yang menjadi kepala suku. Sementara di tempat lain justru sebaliknya. Artinya, segala hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, komunitas ke komunitas yang
lain, dikenal dengan gender.


Pembagian Peran Menurut Jenis Kelamin

Gender telah membagi laki-laki dan perempuan ke dalam perannya masing-masing, seperti laki-laki yang harus berpikir rasional atau perempuan yang harus berperilaku lemah lembut. Laki-laki dituntut untuk berperilaku maskulin, lengkap dengan segala atribut maskulin, dan pada akhirnya didorong untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang maskulin. Perempuan juga demikian, mereka dituntut untuk berperilaku feminin, lengkap dengan atribut femininnya dan akhirnya bekerja di sektor-sektor yang dianggap feminin. Beberapa contoh pembagian peran menurut jenis kelamin:


Peran Gender dan Pembakuan Peran Gender

Peran gender adalah peran laki-laki dan perempuan yang dirumuskan oleh masyarakat berdasarkan polarisasi stereotipe seksual maskulinitas-feminitas. Misalnya peran laki-laki ditempatkan sebagai pemimpin dan pencari nafkah karena dikaitkan dengan anggapan bahwa laki-laki adalah makhluk yang lebih rasional, lebih kuat serta identik dengan sifat-sifat superior lainnya—dibandingkan dengan perempuan. Pembakuan peran genderadalah ketika peran gender tersebut di legitimasi oleh negara melalui aturan perundang-undangan yang ada, dalam hal ini UU Perkawinan No.1 tahun 1974. Dalam pasal 31 (3) UUP menetapkan bahwa peran suami adalah sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Suami wajib melindungi istrinya, dan memberi segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (pasal 34 ayat 1) sedangkan kewajiban istri adalah mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya (pasal 34 ayat 2) Dengan pembagian peran tersebut, berarti peran perempuan yang resmi diakui adalah peran domestik yaitu peran mengatur urusan rumah tangga seperti membersihkan rumah, mencuci baju, memasak, merawat anak dan berkewajiban untuk melayani suami.


Pola Sosialisasi Gender

Pada awalnya, gender dibentuk secara konsepsi, yang biasanya diperkuat oleh keluarga dan masyarakat luas pada saat jenis kelamin si anak diketahui (Fuhrmann,1990). Pengaruh pendidikan dan perlakuan dalam keluarga dan lingkungan dimanifestasikan pada cara berpikir, berkata, dan berbuat dalam arti luas, termasuk cara menilai diri sendiri (Djojonegoro, 1995). Pada dasarnya anak diajari sejak awal masa kanak-kanak untuk melihat, berpikir, merasa, dan bertindak sesuai dengan standar yang ditentukan stereotype untuk kelompok jenis lainnya (Hurlock, 1992). Peran perilaku perempuan dan laki-laki, sebagaimana telah diobservasi pada bayi, mungkin menjadi dasar dari terbentuknya skema gender pada anak-anak, bahkan sejak usia mereka 2 tahun. Beberapa benda diasosiasikan dengan stereotype, seperti mainan, peralatan rumah, atau pakaian, sehingga ada pengetahuan mengenai “yang ini untuk laki-laki” dan “yang ini untuk perempuan”. Pengetahuan semacam ini akan menjadi komponen kognitif dalam skema gender (Bem, 1981; Martin & Halverson, 1981 dalam Gender Stereotyping in Infancy: International Journal of Behavior Development) Gender adalah komponen kritis dari kepribadian seseorang. Sejak lahir, anak laki-laki dan perempuan telah disosialisasikan untuk berperilaku sesuai dengan jenis kelaminnya, yaitu perilaku maskulin dan feminine (Steinberg, 2002).

Keluar dari masalah domestik. Konstruksi gender ini diperkuat oleh budaya patriarki yang ada di masyarakat. Budaya patriarki sebenarnya tidak hanya merugikan perempuan. Laki-laki juga, secara tidak disadari, dibebani oleh imperatif-imperatif patriarki seperti: wajib mencari nafkah, wajib tampil rasional, dan wajib menekan sisi femininnya (tidak boleh menangis, tidak boleh tergantung pada orang lain, dan lain-lain). Budaya ini juga diperkuat oleh ajaran-ajaran agama yang diinterpretasikan secara bias gender. Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang (beberapa pihak mengklaim bahwa semuanya diawali dari jaman prasejarah dimana pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan sudah terlihat seperti laki-laki berburu dan perempuan mengasuh anak di dalam gua), dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara, yang akhirnya menganggap gender tersebut merupakan kodrat dari Tuhan.

Untuk memahami bagaimana nilai-nilai gender disosialisasikan, kita tidak bisa hanya melihat hal tersebut dari satu aspek saja, misalnya budaya. Namun kita perlu mengkaji secara lebih universal, yaitu salah satunya dengan menggunakan Ecological Framework.



Setiap aspek saling mempengaruhi secara timbal balik. Sikap individu akan mempengaruhi pola interaksi keluarga selanjutnya. Bagaimana individu akan memperlakukan anak laki-laki dan perempuan. Kemudian nilai-nilai yang ada dalam keluarga akan dibawa ketika bersosialisasi dengan masyarakat. Masyarakat yang menganut ideologi patriarki juga akan mempengaruhi cara pandang seorang individu. Ketika individu tersebut memiliki kewenangan untuk membuat suatu kebijakan (atau tidak membuat suatu kebijakan) di tataran negara, mau tidak mau nilai-nilai patriarki yang ada dalam dirinya akan menentukan macam kebijakan yang ia buat, juga kemudian ketika individu tersebut mampu berpengaruh secara global. Kebijakan-kebijakan internasional tersebut kemudian disosialisasikan ke negara-negara yang ada di bawahnya, kemudian negara menanggapinya dengan membuat kebijakan baru (atau tidak membuat kebijakan), disosialisasikan ke masyarakat, masuk ke keluarga, dan akhirnya mempengaruhi individu.

Individu dalam hal ini berupa cara pandang dan cara bersikap seseorang. Kehidupan keluarga dan masyarakat meliputi adat istiadat, cara berinteraksi, cara memperlakukan orang lain, termasuk agama yang mempengaruhi individu secara mendasar. Negara dalam hal ini adalah peraturan-peraturan atau kebijakan-kebijakan (baik itu adanya kebijakan yang tidak berpihak pada perempuan ataupun tidak adanya kebijakan yang berpihak pada perempuan) dalam hal politik yang mempengaruhi segi-segi yang lainnya seperti sosial dan ekonomi. Sementara dari sisi global, menyangkut kebijakan-kebijakan organisasi internasional, ataupun perubahan-perubahan yang membawa dampak secara global.

Pola Ketimpangan Gender

Perbedaan gender (gender differences) menjadi masalah karena melahirkan satu sistem yaitu ketidakadilan gender (gender inequalities). Dalam hal ini, perempuan yang lebih banyak menjadi korban dibandingkan dengan laki-laki. Ketidakadilan gender ini terwujud dalam berbagai bentuk yaitu subordination, marginalization, stereotype, double burden, dan violence (Faqih, 1996)

  • Marginalization. Marginalisisi adalah proses pemiskinan, terutama di bidang ekonomi. Perempuan terpinggirkan dalam mendapatkan kesempatan untuk bekerja dan mengembangkan dirinya. Beberapa analisis mengemukakan bahwa permarginalisasian perempuan didukung oleh revolusi hijau yang menyingkirkan perempuan dari lahan agraris karena pola pertanian modern yang dianggap maskulin.
  • Subordination. Yaitu menempatkan perempuan pada tempat yang tidak penting. Hal ini karena adanya anggapan bahwa perempuan tidak dapat memimpin dan kodratnya adalah di wilayah domestik. Contohnya adalah dalam keluarga, anak laki-laki mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan pendidikan tinggi atau dalam kehidupan berpolitik, perempuan tidak pantas menjadi pemimpin.
  • Stereotype. Sterotype berarti pelabelan terhadap kelompok tertentu. Stereotype banyak diberikan untuk kelompok-kelompok tertentu seperti suku bangsa tertentu, agama tertentu, atau etnis tertentu, termasuk jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan. Sebenarnya yang menjadi masalah adalah ketika stereotype tersebut menimbulkan dampak yang merugikan. Misalnya, stereotype bahwa perempuan yang keluar malam adalah perempuan nakal, sehingga ketika perempuan itu diperkosa, masyarakat menganggapnya sebagai kesalahan perempuan.
  • Double Burden. Adanya anggapan bahwa pekerjaan domestik (pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, mengepel, mengasuh anak, dan sebagainya) adalah pekerjaan yang rendah dan bahkan tidak dianggap sebagai suatu perkerjaan mengakibatkan perempuan tidak dihargai atas apa yang telah mereka lakukan, di lain pihak, mereka dituntut untuk dapat membantu ekonomi keluarga juga, dengan bekerja diluar. Double burden ini banyak dialami oleh perempuan miskin, namun tak jarang juga dialami oleh perempuan yang berada di kelas sosial yang lebih tinggi. Double burden ini terjadi karena tidak adanya pembagian kerja domestik antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dianggap tidak bertanggungjawab untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik.
  • Violence. Kekerasan terjadi ketika ada pihak yang memiliki kuasa atas pihak lain. Dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, pihak laki-laki dianggap memiliki kuasa terhadap perempuan, memiliki wewenang untuk melakukan apapun terhadap perempuan. Kekerasan seperti ini dianggap sebagai kekerasan berbasis gender (gender based violence). Kekerasan ini dapat terjadi secara verbal maupun non verbal, secara fisik, psikologis, seksual, maupun ekonomi.
Kekerasan fisik adalah bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan sakit atau luka secara fisik. Contohnya menampar, memukul, menendang.

Kekerasan psikologis adalah bentuk kekerasan yang mengakibatkan luka secara mental, mengganggu kejiwaan seorang sehingga mengakibatkan perasaan tertekan. Kekerasan dalam bentuk ini biasanya kurang disadari oleh korban dan sulit dicari buktinya. Contohnya: memaki, membentak, mengata-ngatai, menyindir.

Kekerasan seksual adalah kekerasan yang menyangkut pemaksaan pelampiasan seksual. Selain perkosaan (yang juga dapat terjadi perkosaan suami terhadap istri, ketika istri merasa terpaksa harus melayani suaminya), bentuk-bentuk kekerasan ini juga meliputi bentuk-bentuk perilaku yang merusak organ reproduksi perempuan (seperti sunat perempuan), perilaku melecehkan secara seksual (meraba payudara, menggesek-gesekkan alat kelamin), dan ekstrimnya adalah prostitusi (seperti penjualan perempuan) dan eksploitasi perempuan.

Kekerasan ekonomi, banyak terjadi dalam rumah tangga ketika seorang istri tidak dicukupi secara ekonomi tapi dia tidak mendapatkan hak untuk mencari pendapatan sendiri. Dalam dunia kerja, kekerasan ini terjadi jika perusahaan tidak memberikan cuti haid atau cuti hamil pada pekerja perempuan.

Beberapa pihak, menganggap segala bentuk pelecehan adalah manifestasi dari kekerasan. Pelecehan-pelecehan yang terselubung ini sering tidak disadari bahkan oleh si perempuannya sendiri, dan beberapa bentuk pelecehan ini sering dianggap sebagai sesuatu yang relatif. Beberapa bentuk pelecehan berbasis gender ini adalah:
  • Menyampaikan lelucon jorok secara vulgar pada seseorang dengan cara yang dirasakan sangat mengganggu
  • Membuat malu seseorang dengan perkataan yang dianggap tidak pantas
  • Mengintograsi seseorang mengenai kehidupan seksualnya
  • Meminta imbalan berupa hubungan seksual
  • Menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa ada ijin dari yang bersangkutan

Sedikit Sejarah Pendekatan Berbasis Gender

Pembangunan, yang diasosiasikan dengan development, adalah segala kegiatan perubahan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh negara dan berimplikasi pada seluruh kehidupan masyarakat. Kritik terhadap pembangunan terus diajukan oleh banyak pihak, misalnya kritik mengenai pembangunan yang tidak ramah lingkungan. Dalam wacana gender, kritik mengenai pembangunan adalah berkenaan dengan posisi perempuan dalam pembangunan. Bagaimanapun, pembangunan yang direncanakan disusun oleh orang-orang yang hidup dalam budaya patriarki yang kental, baik laki-laki dan perempuan, sehingga segala rencana pembangunan masih terkesan bias gender dan tidak menguntungkan perempuan.

Beberapa pendekatan yang melihat bahwa adanya ketimpangan gender dalam pembangunan telah mengusik banyak pihak untuk membuat suatu perencanaan pembangunan yang lebih berpihak pada perempuan secara global. Pada kurun tahun 1960 sampai 1970an, dikenal pendekatan Women in Development (WID-Perempuan dalam pembangunan). Pendekatan ini muncul sebagai bentuk keprihatinan atas persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan Dunia Ketiga dan berasumsi bahwa keterbelakangan perempuan adalah karena perempuan tidak dilibatkan dalam pembangunan sehingga dibuat agenda utama yang melibatkan perempuan dalam proses pembangunan. Banyak kalangan, terutama kaum feminis yang melihat WID tidak berhasil menjawab persoalan, karena WID dianggap sebagai perpanjangan tangan kaum developmentalis untuk mempengaruhi Dunia Ketiga. Hal ini berkaitan dengan didominasinya agenda WID oleh kelompok kulit putih dari kelas menengah sehingga kurang bisa melihat permasalahan perempuan di Dunia Ketiga.

Pendekatan selanjutnya berangkat dari gerakan neo-marxis, yaitu Women and Development (WAD-Perempuan dan Pembangunan). WAD melihat bahwa tidak hanya perempuan yang tertindas, namun juga laki-laki kelas bawah, sehingga akhirnya WAD kurang melihat perlunya menganalisaa persoalan perempuan secara terpisah dengan laki-laki. Pendekatan WAD berasumsi bahwa posisi perempuan akan meningkat jika struktur politik ekonomi internasional lebih merata. Padahal permasalahan perempuan tidak sesederhana itu, terkait dengan masalah budaya dan juga kelas sosial.

Pendekatan lain yang mucul pada tahun 1980an adalah Gender and Development (GAD-Gender dan Pembangunan) yang berangkat dari sebuah cara pandang yang melihat secara totalitas organisasi sosial, ekonomi, dan politik untuk memahami subordinasi perempuan dalam masyarakat. GAD mengakui pentingnya analisa kelas tapi juga menekankan bahwa ideologi patriarki yang menindas perempuan adaa dalam kelas dan antar kelas. GAD menganggap bahwa negara seharusnya berpaartisipasi dalam menunjang emansipasi perempuan. GAD juga memberikan ruang bagi laki-laki yang memiliki kepedulian untuk bergerak bersama-sama perempuan dalam memperjuangkan nasib perempuan.

Di tingkat internasional, GAD ini direspon melalui Convention on the Elimination All of Forms Discrimination Against Women (CEDAW-Konvensi Internasional tentang Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perepuan). Sementara ratifikasi konvensi CEDAW menjadi Undang-undang No 7/1984 adalah respon Pemerintah Indonesia, dan mengacu pada UU tersebut, Pemerintah Indonesia melalui Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 menetapkan Pengarusutamaan Gender dalam kebijakan kelembagaan dan program dalam salah satu strategi pembangunan (gender mainstream)

Aktivitas-aktivitas yang memperjuangkan adanya kesetaraaan gender di Indonesia memang belum bisa dikatakan matang. Dukungan daari semua pihak sangat diharapkan, termasuk dari perempuan yang sadar akan hak-haknya. Masih terlihat program pembangunan yang melibatkan perempuan, tapi akhirnya perempuan hanya sebagai objek. Kementrian Pemberdayaan Perempuan (yang menjadi trend di hampir semua Dunia Ketiga) diharapkan mampu berjuang lebih banyak demi kesejajaaran perempuan.

Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa gerakan kesetaraan gender bukan sebuah gerakan untuk menolak kodrat perempuan dan bukan berarti perempuan akhirnya menjadi jenis kelamin spesial. Kesetaraan gender berarti laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan segala perbedaan antara laki-laki dan perempuan (biologis) sebaiknya dapat disikapi secara lebih bijaksana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar