21 Juli 2010

Bahasa Cinta


Saya punya kawan, seorang India. Cerdas. Dia terpilih sebagai ‘National Talent Search Scholar' dari pemerintah India dari 2001-2008. Tapi bukan soal kecerdasan intelektualnya yang ingin saya ceritakan. Selain otaknya encer, dia juga cerdas secara sosial.


Suatu sore, setelah penatnya mendapatkan materi ini itu soal pluralisme dan tetek bengeknya di sebuah acara, saya dan beberapa kawan, termasuk kawan saya itu, lantas memutuskan untuk mojok di sebuah warung kopi. Kebetulan sang bapak yang punya warung sedang sibuk mengecat pagar di belakang warungnya. Untunglah, mungkin karena melihat muka kami yang bagai musafir tersesat di padang pasir kehabisan persediaan air,dengan baik hati dia menghentikan kegiatannya dan membuka warung yang bahkan masih gembokan.


Ternyata, kawan India saya itu sudah pernah nangkring di sana juga sehari sebelumnya. Kata kawan saya, kemarin mereka sempat mengobrol. Cuma... sang bapak tidak bisa berbahasa Inggris dan kawan saya tidak bisa bicara Indonesia! Saya membayangkan kalau mereka berkomunikasi ala Tarzan. Kehadiran saya di sana ternyata dibutuhkan untuk mereview obrolan mereka kemarin. Yang membuat saya kagum adalah ternyata kawan saya bisa menangkap apa yang dibicarakan si bapak, tanpa paham arti per katanya. Dengan santai, kawan saya bilang,"Yang kita butuhkan adalah bahasa cinta."


Bahasa cinta. Klasik rasanya mendengar soal ini, namun entah kenapa, saya merinding saat mendengarnya (merinding sering saya rasakan bukan saat merasakan kehadiran makhluk halus, lebih sering karena terharu). Tapi, ya seperti biasa, masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Padahal modalnya ternyata cuma satu: kesabaran. Tanpa kata-kata, kita bisa paham apa yang ingin diutarakan orang lain. Beruntung, potensi ini dimiliki oleh bangsa kita yang seringkali enggan untuk mengatakan hal yang sebenarnya di muka umum, merasa apa yang hendak dikatakan kurang pantas atau bisa menyinggung perasaan orang lain (setidaknya begitu kata kawan saya dari Amerika). Masalahnya, kadang modalnya kita gak punya, kurang sabar.


Tapi tenang saja, urusan sabar nggak sabar nggak ada hubungannya dengan etnis atau suku bangsa tertentu. Buktinya,kawan saya yang lain yang datang dari negara yang sama dengan kawan yang saya ceritakan di awal, ternyata ya sama aja kurang sabarannya. Bukan apa-apa, bagi saya yang kemampuan bahasa inggrisnya cuma beda selapis sama anak kelas 3 SD, membutuhkan waktu agak lama untuk mencerna omongan bahasa inggris ala India yang super cepat.


Bahasa cinta ini adalah mungkin satu-satunya bahasa yang tidak punya grammar, berlaku universal (setidaknya secara geografis, saya belum tahu kalau secara historis). Tak perlu kamus atau kursus ini itu untuk bisa lancar berbahasa ini, karena pada dasarnya kita sudah punya kemampuan itu. Boleh saja orang di Amerika sarapannya roti, orang Afrika kulitnya gelap, orang Hindu percaya pada karma, namun bagaimanapun kita semua pada dasarnya sama: manusia. Makhluk paling egois yang ada di muka bumi ini, bahkan antara sesamanya. Gawatnya, egoisme ini lalu menjadi terkolektif dan digunakan untuk menyerang yang lain yang kita anggap berbeda: agama lain, bangsa lain, etnis lain, keyakinan politik lain, spesies lain bahkan bumi yang kita tinggali sendiri. (Lho malah jadi ceramah...).


Ya inti tulisan saya singkat aja, gak perlu repot-repot belajar apa itu pluralisme, multikulturalisme, human development dan sebagainya karena sejatinya bukan itu yang kita butuhkan. Kita hanya butuh satu hal untuk memahami yang kita anggap lain dengan kita: bahasa cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar