14 Juni 2010

Siapa yang Porno?


Gatal juga rasanya tidak ikut mengomentari berita yang sedang panas belakangan ini. Video pribadi mirip Ariel, Luna dan Cut Tari yang dipublikasikan secara sembarangan oleh oknum tak bertanggung jawab telah menggeser sejumlah berita lain yang, sejujurnya, jauh lebih penting.


Dalam pemberitaan sejumlah media, seringkali disebutkan "Video porno yang dibintangi...". Menarik karena kata porno lantas menjadi tagline sendiri untuk menambah sensasi berita. Saya kok merasa agak gimana ya dengan istilah "video porno" dalam kasus Ariel. Saya bongkar ulang file UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi yang diskriminatif itu dan dapat jawaban soal perasaan saya yang agak-gimana-ya itu tadi. Masalahnya ternyata di definisi porno (grafi). Perlu digarisbawahi, ini menurut saya lho...


Saya kutipkan definisinya di pasal 1: Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.


Pertama, dalam pasal itu dijelaskan "... atau bentuk komunikasi lain..." artinya pornografi dikaitkan dengan sebuah proses komunikasi. Ada pengirim pesan, ada media, ada pesan, dan ada penerima pesan. Kalau itu koleksi saya pribadi yang saya contohkan di atas, saya rasa itu bukan bentuk komunikasi karena niat saya memang tidak ingin menyampaikan pada orang lain, tidak menargetkan siapa penerima pesannya. Tulisan yang saya buat tidak akan menjadi bentuk komunikasi jika saya hanya menyimpannya di hard disk. Kembali ke soal video adegan berhubungan seks, video tersebut menurut saya di-'porno'-kan oleh orang yang menyebar, membuatnya menjadi dapat dilihat oleh orang lain, menjadi ada penerima pesannya. Berarti, apanya atau siapanya yang porno?


Kedua, "...yang dapat membangkitkan hasrat seksual ...". Video yang tersebar itu ternyata tidak membangkitkan hasrat seksual saya, dan mungkin banyak orang juga merasakan hal yang sama. Mungkin sudah terbiasa dengan hal-hal seperti itu atau lebih fokus pada hal lain hehe... Soal nilai-nilai kesusilaan, mari pikirkan bersama, kalau melanggarnya tidak mengganggu orang lain apa ya tidak boleh? Orang bebas memilih mau berhubungan seks dengan siapa, dan beberapa orang tidak lagi menyekat diri kalau berhubungan seks harus dalam bingkai pernikahan saja. Asal tidak ada pemaksaan, dilakukan bertanggung jawab dan mempertimbangkan aspek kesehatan. Toh kita tidak akan bermimpi buruk di malam hari atau lantas tidak bisa bekerja hanya karena ada tetangga kita yang berhubungan seks di luar nikah.


Adegan hubungan seksnya juga dilakukan di dalam kamar tertutup. Melanggar nilai kesusilaan? Merekamnya sama saja seperti kita mendokumentasikan sedang plesir dimana, apa juga melanggar kesusilaan? Yang melanggar kesusilaan jelas yang menyebarkan video tersebut. Katakanlah saya seorang terkenal sedang bertelanjang di dalam rumah lalu iseng merekam kehidupan sehari-hari saya untuk koleksi saya pribadi, lalu ada orang iseng mengambil rekaman tersebut, itu sudah melanggar kesusilaan karena jelas mencuri. Apalagi sampai disebarkan di internet.


Saya berani bilang, media massa juga porno. Dengan pemberitaan yang berulang-ulang dan seakan tanpa henti, media massa telah memberikan akses kepada masyakarat bahwa ada video tersebut. Yang tadinya tidak tahu jadi tahu, yang awalnya biasa saja lama-lama jadi penasaran. Seakan-akan media massa menyapa "Hei, pemirsa, ada video anu lho..."


Latah 'porno' ini tidak hanya dilakukan media massa. Beberapa kalangan masyarakat yang merasa bertanggung jawab atas rusaknya tidaknya moral bangsa ini lantas melakukan aksi. Ada yang mengecam videonya. Ada pula yang menghujat artis-artis yang disinyalir ada dalam video. Kok ya tidak ada aksi yang mengecam penyebar videonya ya? Terakhir saya dengar berita beberapa sekolah sampai melakukan razia hp siswa-siswanya untuk memastikan video tersebut tidak ada dalam koleksi mereka. Beruntung Komnas Anak merespon bahwa hal tersebut melanggar hak siswa. Saat razia napza juga polisi sempat memeriksa hp orang-orang yang terkena razia. Walah... Coba dicek hp ibu bapak gurunya, ibu bapak polisinya ada videonya juga tidak?


Semua orang menjadi paranoid, moral bangsa ini akan rusak karena tiga video yang menyebar (bu, pak, coba koneksi internet... ada berapa banyak dan sudah dari kapan mendownload video apapun begitu mudahnya dilakukan). Mungkin ibu dan bapak yang lebih punya pengalaman soal seks ini merasa terangsang secara seksual saat melihat video tersebut, akhirnya mengategorikan video itu porno. Terus siapa dan apanya yang porno?


Racikan kisah selebritis dicampur dengan isu seksualitas yang meskipun banyak orang mencerca namun diam-diam menikmati, menjadi menu sempurna untuk ditayangkan di televisi atau dicetak sebagai headline di surat kabar. Semakin banyak orang menonton dan membaca, semakin laku medianya, semakin banyak orang ingin menaruh iklan, semakin banyak keuntungan. Menyenangkan. Kasus apapun, siapapun, jika dicampur dengan bumbu seksualitas pastilah diminati banyak orang. Ditambah dengan pro kontra yang kemudian muncul, jadilah kasus yang terus menerus menguntungkan untuk digali. Sudah lewat dari seminggu sejak video Ariel, Luna dan Cut Tari menyebar di internet, sampai sekarang beritanya masih saja hangat. Kalau hal berbau seksualitas dianggap porno oleh masyarakat, namun media massa menyajikan berita macam itu berulang-ulang karena tahu dapat menarik banyak peminat, lantas siapa yang porno?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar