9 Februari 2012

Saung Angklung Udjo, Oase Budaya Sunda

Minggu kemarin, saya pergi ke Bandung. Awalnya hanya ingin jalan-jalan di Braga atau tempat lain yang bangunan kunonya bisa dinikmati. Tapi beruntung, saat mengontak teman saya, kebetulan dia sedang berada di Bandung dan punya rencana untuk mengunjungi satu tempat yang bisa mendekatkan saya pada budaya Sunda: Saung Angklung Udjo. Terus terang baru pertama kali saya dengar namanya. Sang teman membela saya dengan mengatakan bahkan orang Bandung sendiri pun banyak yang tidak tahu tempat itu. Teman saya pernah mengantar tamu kantornya ke tempat tersebut beberapa tahun lalu dan yang dia temukan justru turis-turis asing. Di Saung Angklung Udjo, kita bisa menyaksikan pertunjukan angklung dan kesenian Sunda lainnya setiap sore. Untuk pertunjukan itulah kami datang.


Kami datang agak terlambat karena macetnya jalanan Bandung, dipenuhi mobil-mobil plat B yang berburu suasana menyenangkan di Kota Kembang sekalian belanja-belanja di factory outlet. Letak Saung Angklung Udjo dekat dengan terminal Cicaheum, cukup mudah diakses. Begitu masuk pekarangan, suasana sejuk terasa karena bangunan-bangunan kayu dan bambu khas Sunda  masih dirimbuni pepohonan. Nama Udjo sendiri diambil dari pendiri sekaligus pemilik tempat tersebut, Udjo Ngalagena, yang sudah wafat pada 2001 silam kemudian usahanya dilanjutkan oleh keturunan-keturunannya.


Beruntung, pertunjukan belum berjalan lama. Saat kami sampai, sejumlah anak-anak dengan pakaian tradisional warna-warni yang cerah sedang mempersembahkan pertunjukan Helaran, yang biasanya dimainkan untuk mengiringi upacara tradisional khitanan atau panen padi. Sesuai dengan nama tempat, anak-anak tersebut bernyanyi sambil memainkan angklung. Meskipun ada koreografi yang sudah dipersiapkan, anak-anak tersebut tampak berkespresi tanpa beban, khas anak-anak. Menyenangkan! Dunia anak-anak dengan alat musik tradisional, bukan dengan gadget canggih yang seringkali membuat mereka tercerabut dari lingkungan sosial mereka sendiri. 


Hal yang mengasyikan adalah di tengah-tengah pertunjukan, para penonton dibagikan masing-masing angklung yang berbeda. Kemudian seorang laki-laki, anak Mang Udjo, pemilik Saung, memberikan petunjuk bagaimana cara memainkan angklung dan kemudian dia memberi beberapa aba-aba agar kami, penonton, bisa memainkannya bersama-sama. Dengan aba-aba gerakan tangan, mulailah kami menjadi pemusik angklung dadakan!


Gelaran paling menakjubkan adalah pertunjukan angklung di bagian terakhir. Sejumlah remaja memainkan angklung masing-masing bisa sampai 10 angklung. Dengan cantik, mereka menutup pertunjukan dengan menampilkan Bohemian Rhapsody versi angklung. Hebat pisan, euy!


Selesai pertunjukan, saya dan teman-teman memutuskan untuk makan malam di salah satu cafe, masih di Saung Angklung Udjo. Teman saya, yang juga Sunda, lalu mengutarakan rasa irinya pada budaya Jawa dan Bali yang masih lestari sampai sekarang. Setidaknya, lebih mudah menemukan tempat-tempat yang berkomitmen pada budaya lokal di Yogyakarta, Solo atau Denpasar dibandingkan dengan mencari tempat semacam itu di kota-kota di Jawa Barat.


Saya juga tertegun. Orang tua saya asli Sunda. Saya pun lahir dan dibesarkan di Majalengka yang masih berbau Sunda meskipun ada sedikit pengaruh dari Jawa-Cirebon. Tapi jujur saja, dan saya harus malu, saya kurang nyunda. Pertama, mungkin karena saat saya kecil, saya memang berbicara bahasa Sunda dan mendapatkan pelajaran bahasa Sunda dari SD sampai SMP, tapi saya tidak pernah ikut kegiatan yang kental nilai-nilai Sundanya, mungkin karena di lingkungan tempat saya tinggal juga hampir tidak ada kegiatan seperti itu. Bisa jadi karena letak geografis kota kelahiran saya bukan di jantung budaya Sunda lahir dan dilestarikan. Seni budaya Sunda hanya saya kenal sedikit di sekolah dan saat upacara pernikahan. Itu saja.


Saat saya pindah ke Jogja untuk kuliah dan kemudian bekerja di sana, saya menemukan satu atmosfer yang berbeda. Ada nilai-nilai lokal yang saya temukan dalam keseharian dan masih sangat kental, hal yang tidak saya temukan saat saya tinggal di Majalengka ataupun Bandung. Meminjam istilah teman saya yang asli Tasikmalaya namun sudah menancapkan akarnya di Kota Gudeg itu, saya mungkin menjadi orang sunda murtad jawa laknat, sama seperti dia. Separuh-separuh. Tapi justru, dengan dekatnya saya pada kebudayaan Jawa malah membuat saya ingin tahu lebih banyak tentang budaya Sunda. Saya ingat, di kantor saya di Jogja, saya kadang memutar lagu-lagu Sunda, hal yang sebelumnya tidak pernah saya lakukan. Sama seperti saat saya ke Belanda walaupun cuma beberapa hari, tapi saya merasa saya sangat Indonesia di sana, hal yang tidak pernah saya rasakan saat saya di sini. Entah, mungkin harus begitu dulu ya bagi orang-orang yang selama ini kurang peka dengan budayanya sendiri seperti saya.


Saya lalu penasaran soal keberadaan budaya Sunda yang, saya dan teman saya setuju, mulai langka. Kalau kambing hitamnya modernisasi, hipotesisnya luntur karena ternyata efek modernisasi tidak sehebat itu di tanah Jawa. Mesti ada hal lain yang menyumbang, apakah misalnya modernisasi lebih bisa diterima masyarakat Sunda sehingga kemudian perlahan-lahan meninggalkan budaya lokalnya? Seperti biasa, Abah Google jadi andalan saya dan saya menemukan satu tulisan menarik di blog milik Moeflich Hasbullah (mangga sok tiasa di-klik didieu). Singkat saja saya berikan ilustrasi tulisannya. Kondisi kebudayaan Sunda sekarang ini tidak bisa lepas dari sejarah yang terjadi di tanah Sunda. Pertama, karakteristik kerajaan-kerajaan Sunda di masa lampau yang tidak ekspansionis, malah justru banyak dikalahkan oleh kerajaan-kerajaan lain, terutama dari Jawa. Hal ini menyebabkan fokus sejarah Nusantara tidak pada kerajaan-kerajaan Sunda. Demikian juga dengan sejarah kemerdekaan dan politik yang didominasi oleh orang-orang dengan latar belakang budaya Jawa. Secara psikologis, hal ini menimbulkan satu kebanggaan tersendiri, mungkin, pada masyarakat Jawa tentang identitas dan budaya mereka. Melestarikan kebudayaannya adalah satu hal yang bisa mereka lakukan untuk menunjukkan bahwa budaya mereka memang benar-benar ada dan bernilai.


Tapi jika itu saja penyebabnya, saya lalu bertanya soal budaya Bali yang juga masih kental tapi secara historis pun kerajaan Bali bukan termasuk kerajaan besar. Ini hanya dugaan saya saja, mungkin akulturasi tidak terjadi cukup cantik di tanah Sunda, sementara di daerah lain akulturasi bisa berjalan cukup manis seperti yang terjadi antara ajaran Islam dan Jawa yang menghasilkan budaya Kejawen yang pengikutnya masih banyak atau akulturasi antara ajaran Hindu dengan penduduk lokal Bali yang menghasilkan Hindu khas Bali. Ah, sepertinya saya masih harus banyak belajar soal sejarah, terutama sejarah tentang tanah dimana saya dilahirkan!


Kembali ke Saung Angklung Udjo, saya pastikan anda tidak akan kecewa mengunjungi tempat tersebut. Saya blak-blakan saja promosi, sekaligus mempromosikan budaya sendiri tidak ada salahnya, bukan? Di sana, selain bisa menyaksikan pertunjukan yang sudah saya sebutkan di atas, masih ada pertunjukan lain seperti Wayang Golek, Tari Topeng, Tari Merak dan Calung, dan melihat cara pembuatan angklung. Cukup merogoh kocek Rp.50.000 (atau Rp. 80.000 untuk turis asing), datang pada sore hari jam setengah 4, kita bisa merasakan suasana kota Bandung yang nyunda, yang asri. Setelah penat dengan macetnya Bandung di akhir pekan, kenyang mencicipi kulinernya yang unik-unik, bosan berbelanja di FO dan distro, datang ke Saung Angklung Udjo ibarat menemukan oase di tengah gerusan modernisasi di Kota Kembang.

4 komentar: