8 September 2009

Gila!


Saya dikenalkan dengan seorang perempuan, pada suatu sore di kantor saya. Awalnya ia hanya ingin mencari informasi tentang seseorang yang kebetulan saya sedikit tahu track record-nya. Berbalut celana jeans dan kaos longgar, serta jaket jeans yang kebesaran membuat saya terbayang sosok Kugy di Perahu Kertas, hanya yang ini versi tinggi dan nyata. Gaya bicara dan penampilannya sangat santai, kalau tidak saya sebut gila. Sesekali ia menghisap rokok, yang membuat suaranya terdengar berat.


Ia sahabat lama kawan saya. Entah profesi atau hobby, dari ceritanya saya menyimpulkan ia tergila-gila melukis. Setelah urusan soal track-record seseorang itu selesai, mereka lalu terlibat perbincangan seru soal masa lalu mereka, kegilaan mereka. Otomatis, saya hanya jadi pendengar. Cerita-cerita menarik termasuk soal basecamp mereka, sebuah garasi yang disulap menjadi kamarnya, namun nuansa yang muncul malah seperti gudang, lengkap dengan kasur butut, botol-botol kosong, sepeda yang dipasang di dinding, dan lebih gila lagi, lengkap dengan peliharaan: kecoa, tikus, dan kawan-kawan.


Satu cerita yang membuat saya tertarik sekaligus tertegun adalah, karena keterbukaannya, banyak orang yang sering menginap di kamar-gudang nya itu. Teman atau saudara sudah biasa, bahkan sampai tinggal berbulan-bulan. Yang luar biasa adalah tukang becak dan orang (yang dianggap) gila juga sempat ikut-ikutan menghuni kamar itu. Gila!


“Eh, ternyata kalau diajak ngobrol ya masih nyambung tuh! Walau kadang-kadang sih... Malah kamarku dia bersihin, sambil ngenasehatin aku biar gak males hahaha...” katanya polos.


Saya segera paham, teman saya sama sekali tidak punya bekal pengetahuan soal gangguan psikis. Tapi justru itu membuat saya semakin miris. 


Perempuan ini luar biasa gila. Saya belajar gila-gilaan dan lulus dari psikologi, tapi tetap saja masih takut-takut jika berhadapan dengan orang yang karena entah mengalami gangguan psikis apa sampai orang lain menyebutnya gila. Mungkin teman-teman saya juga sebelas dua belas. Sementara teman saya itu, dia malah mendekati orang yang terganggu mentalnya (istilah ini walau agak panjang, tapi buat saya lebih sopan dibandingkan orang gila). Diajaknya mengobrol, sampai-sampai ia tahu sejarah singkat orang itu.


Kemanusiaan. Mungkin itu yang ia miliki dalam jumlah gila. Rasa kemanusiaan saya saat bertemu orang yang terganggu mentalnya paling menthok ya cuma rasa kasihan tho. Iba dengan keadaannya. Malah kadang agak memalingkan muka jika saya merasa jijik dengan penampilannya. Namun tak mampu menggiring saya untuk mendekatinya, bahkan mengajaknya berbicara.


Saya ingat betul saat mengambil mata kuliah psikiatri waktu kuliah dulu. Karena sang dosen adalah psikiater yang bekerja di rumah sakit, maka kuliah tersebut pun diadakan di rumah sakitnya, tepatnya di bangsal jiwa, selama satu semester. Pengalaman yang tidak bisa saya lupakan adalah ketika seorang residen membawa salah satu pasiennya ke dalam kelas. Kemudian ia diminta menceritakan pengalamannya. Di tengah-tengah cerita, tiba-tiba sang residen memotong: “Stop! Ya, apa yang ia katakan barusan adalah gejala gangguan bla bla bla...”, yang intinya ingin menunjukan bahwa apa yang diceritakan pasien tidak sama dengan kenyataan yang ada. Gila! Apa-apaan ini? Pikir saya. Kok tidak manusiawi ya... bagaimana kalau si pasien bisa menangkap kata-kata sang residen? Bagaimana coba rasanya harus berdiri di depan sekian banyak kepala, diminta bercerita, lalu ceritanya dipatahkan begitu saja sambil dicap mengalami gangguan ini itu? Ternyata, tidak hanya saya yang merasakan itu, temen-teman saya juga mengatakan pendapatnya setelah kelas berakhir.


Saya memang tidak memiliki kemampuan untuk menangani gangguan mental seberat itu. Toh saya juga tidak ingin betul-betul punya kemampuan itu. Saya hanya ingin punya empati seperti teman perempuan saya. Empati yang juga bisa saya ungkapkan dalam tindakan. Tidak hanya kepada orang yang dianggap sehat mentalnya, seperti apa yang selama ini saya usahakan. Bisa nggak ya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar