29 September 2009

Kondom Sang Kontroversi


KONDOM2


Kondom. Tidak sulit menemukannya di apotek, toko, bahkan warung pinggir jalan. Benda berbahan latex -beberapa terbuat dari polyurethane- itu kini tersedia juga dengan warna beragam, aroma buah, bahkan dengan aneka aksesoris. Kelebihan lainnya adalah mudah digunakan, efek samping yang sedikit, murah harganya, juga tidak hanya efektif sebagai alat kontrasepsi namun juga ampuh dalam mencegah penularan beberapa infeksi menular seksual, termasuk HIV.
Namun, kehebatan alat yang sudah digunakan manusia sejak 400 SM itu ternyata memicu kontroversi tiada henti karena beberapa pihak menganggap kondom justru dapat meningkatkan angka hubungan seksual di luar nikah. Masih hangat di ingatan kita bagaimana Paus Benediktus XVI mengecam pemakaian kondom saat berkunjung ke Afrika, Maret 2009 silam. Paus mengatakan bahwa kondom bukan solusi untuk kasus HIV & AIDS tapi justru akan menambah persoalan. Tak ayal, pernyataannya ini menuai kritik tidak hanya dari para aktivis yang giat mengkampanyekan penggunaan kondom untuk mencegah penularan HIV, tapi juga dari petinggi negara-negara Eropa.

Kondom dan HIV & AIDS
Saat ini kondom memang menjadi alternatif pencegahan penularan HIV, jika memang seseorang tidak bisa tidak aktif secara seksual, plus tidak bisa melakukan hubungan seksual hanya setia dengan satu pasangan. Efektivitas kondom dalam pencegahan transmisi HIV ini mencapai 60.0 sampai 95.8% (Family Planning Perspectives, 1999). Pun demikian WHO dan UNAIDS melaporkan bahwa kondom efektif memberikan perlindungan dari penularan HIV sebesar 90%, tentu dengan syarat digunakan secara benar dan konsisten.

Pihak yang tidak menyetujui kampanye kondom biasanya datang dari kaum fundamentalis agama yang menganggap kondom adalah alat yang bisa disalahgunakan untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama: zina. Mereka yang lebih fanatik bahkan meyakini penggunaan kondom, pada fungsi kontrasepsi, adalah haram sama seperti penggunaan alat kontrasepsi lain karena dianggap menolak berkah dari Tuhan. Pola pikir magis ini juga terkait dengan persepsi bahwa HIV & AIDS adalah kutukan yang diberikan kepada orang-orang yang dianggap melakukan perbuatan dosa. Tidak heran memang, karena di awal sejarahnya, HIV & AIDS seringkali dikaitkan dengan isu homoseksual, pekerja seks, dan NAPZA yang tidak bisa ditolerir dalam agama.

Mereka melakukan serangan dengan memberikan alibi bahwa selain bisa merusak mental generasi muda, kondom juga dianggap tidak efektif mencegah penularan HIV karena pori-pori kondom yang bisa ditembus HIV dan kemungkinan kondom bocor. Aktivis HIV & AIDS tentu memberikan jawaban atas hal ini. Pertama, kampanye kondom jelas bukan solusi final dari pencegahan penularan HIV. Prinsip ABCDE menempatkan kondom di urutan ketiga (C = condom use). Ini mengindikasikan bahwa hal yang pertama kali didorong kepada masyarakat agar terhindar dari penularan HIV adalah dengan Abstinence (A) alias tidak melakukan hubungan seksual, yang tentu saja sejalan dengan apa yang diajarkan oleh agama. Prinsip Be Faithful (B), atau saling setia dengan pasangan, juga diyakini tidak keluar dari dogma agama. Namun kita tentu tidak bisa menutup mata berapa banyak orang yang dengan teguh menjalankan iman pada agamanya dan berapa yang tidak.

Isu bahwa kondom berpori dan mungkin saja bocor memang bukan sekadar mitos. Kondom berpori adalah kondom yang terbuat dari bahan alami (usus domba). Sementara kondom berbahan latex tetap mampu memberikan perlindungan terhadap mikroorganisme, seperti HIV dan sperma (Centers for Disease Control and Prevention, USA, 2000). Beberapa peneliti juga melaporkan bahwa HIV harus masuk melalui perantara cairan untuk bisa masuk ke tubuh orang lain. Sementara kebocoran kondom mungkin saja terjadi karena kesalahan penyimpanan dan penggunaan.

Tanpa mengesampingkan statistik kasus HIV & AIDS yang terus meningkat karena kemungkinan tumbuhnya kesadaran untuk melakukan VCT, sebenarnya sudah berhasilkah kampanye kondom di Indonesia mengingat jumlah kumulatif kasus AIDS menurut faktor risiko hubungan seksual (heteroseksual, homo-biseksual) dari tahun ke tahun justru meningkat. Pada 2005, penularan karena hubungan seksual sebesar 44.2% menjadi 44.5% pada 2006, 45.8% pada 2007, 51.7% pada 2008, dan data terakhir sampai Maret 2009 mencapai 52.1%. Bandingkan dengan penularan karena penggunaan napza yang menunjukan penurunan dari 50.3% pada 2006 menjadi 42.1% pada Maret 2009 (Ditjen PPM & PL Depkes RI). Mungkin kesimpulan yang tergesa-gesa jika kita hanya melihat angka-angka tersebut, tanpa adanya analisa yang lebih dalam.

Kondom dan Perempuan
Program distribusi kondom kepada pekerja seks di Bali telah meningkatkan penggunaan kondom dari 18% hingga 75% di satu daerah studi dan dari 29% hingga 62% di daerah lain (Population Reports,1999). Sementara itu, bercermin dari negara tetangga, Program 100% Kondom di Thailand dianggap sebagai program kampanye kondom paling sukses di dunia. Dari 1989 hingga 1994, penggunaan kondom di kalangan pekerja seks telah meningkat 25-90% dan berhasil mengurangi angka penularan HIV hingga 83%. Pemerintah Thailand telah berhasil mendorong pekerja seks untuk mampu melakukan negosiasi kondom kepada klien, jika klien menolak maka pekerja seks berhak menolak dan mengembalikan uangnya. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah bahkan menutup tempat lokalisasi yang menolak program tersebut.

Setelah lebih dari dua dekade isu HIV & AIDS ramai diperbincangkan, kini banyak pihak yang mulai menyadari bahwa isu ini tidak hanya berkutat pada masalah medis-biologis, namun lebih luas meliputi sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Keberhasilan kampanye kondom di Thailand perlu dilihat bukan hanya dari bagaimana sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga yang peduli pada isu HIV & AIDS, namun juga kemampuan negosiasi yang dilakukan oleh pekerja seks kepada kliennya. Memang belum ada temuan apakah hal tersebut dimudahkan oleh pola relasi gender ataukah ada intervensi lain kepada laki-laki di Negeri Gajah Putih tersebut?

Mitos yang berkembang di masyarakat, terutama di kelompok laki-laki, bahwa penggunaan kondom dapat mengurangi kenikmatan hubungan seksual membuat kampanye kondom seperti jalan di tempat. Iklan-iklan kondom kemudian dibuat sedemikian rupa untuk mendobrak secara halus mitos tersebut alih-alih mengkampanyekan secara tegas upaya pencegahan penularan HIV. Tapi, ketabuan masyarakat Indonesia mengenai seksualitas masih menjadi tembok bagi kampanye anti-mitos seputar kondom. Bisa dibayangkan bagaimana reaksi masyarakat yang kontra terhadap kondom jika iklan yang ditayangkan lebih eksplisit menonjolkan efek nikmat dari penggunaan kondom walaupun tujuan sebenarnya untuk mendongkrak pemakaian kondom bagi upaya pencegahan penularan HIV.

Selain itu, program-program kampanye kondom seringkali menembak perempuan pekerja seks sebagai targetnya karena dianggap beresiko tinggi dari penularan HIV. Budaya patriarki jugalah yang akhirnya memainkan peran besar yang menyebabkan posisi tawar perempuan pekerja seks ini menjadi rendah untuk meminta kliennya memakai kondom. Kondisi-kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia dan karena itulah pada 1990 Badan Kesehatan Dunia, WHO, mengkampanyekan kondom perempuan (femidom) sebagai alternatif solusi bagi perlindungan terhadap tubuh perempuan dari penularan HIV.
Meskipun data yang dilaporkan sampai Maret 2009 jumlah kasus AIDS yang dialami oleh perempuan hanya sekitar 25%, namun trend dari tahun ke tahun ternyata menunjukkan adanya peningkatan. Pada 2005, perempuan AIDS sebanyak 18%, kemudian meningkat pada 2006 sebanyak 18.66%, pada 2007 sebanyak 19.88% dan pada 2008 sebanyak 24.64%.

Nafsiah Mboi, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional mengatakan pada 2007 bahwa tingkat kerentanan remaja putri usia 15-19 tahun terhadap penularan HIV adalah empat sampai enam kali lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Nafsiah menuding peningkatan penularan HIV pada perempuan dan anak-anak disebabkan oleh ketimpangan gender dan faktor ekonomi. Beberapa pihak yang lain menganggap struktur tubuh biologis perempuan menjadikan mereka lebih rentan terhadap penularan HIV.
Perempuan memang seringkali diabaikan dalam sistem kesehatan sosial. Statistik kasus HIV & AIDS selama ini bisa saja merepresentasikan bahwa selama ini perempuan tidak mendapatkan akses, baik layanan maupun informasi mengenai HIV & AIDS, sehingga mereka tidak melakukan VCT. Lantas, apakah kondom perempuan memang bisa memperbaiki keadaan?

Kontroversi (Lagi): Kondom PerempuanKondom perempuan memang menawarkan solusi baik itu fungsinya sebagai pencegah penularan HIV maupun sebagai fungsi kontrasepsi. Gampangnya, ya jika laki-laki memang susah disuruh memakai kondom, perempuan juga bisa! Harganya yang mahal agaknya bisa menjadi alasan beberapa orang untuk tidak memilih kondom jenis ini selain cara pakainya yang dianggap lebih ribet dan ketersediaannya yang terbatas dibandingkan dengan kondom laki-laki.

Beberapa kalangan feminis lalu bersuara bahwa kondom perempuan menunjukkan adanya dan bisa memunculkan bentuk baru pola ketimpangan gender. Kondom perempuan dianggap sebagai alat kontrol agar perempuan tidak hanya bisa menjaga tubuhnya sendiri tapi juga tubuh pasangannya. Dampak pertama, tanggung jawab laki-laki akan semakin hilang. Pemakaian alat kontrasepsi selama ini lebih banyak dilakukan oleh perempuan. Jika kita bandingkan alat-alat kontrasepsi seperti susuk, pil, IUD, tubektomi, vasektomi dari sisi ekonomi maupun cara pakai, kondomlah yang paling mudah dan murah tanpa kehilangan efektifitasnya. Untuk itu saja, laki-laki tetap enggan memakainya dan lebih memilih merogoh kocek lebih dalam agar pasangannya mendapatkan alat kontrasepsi lain sambil seakan-akan tidak mau tahu dampaknya pada perubahan hormon, alergi, dan sebagainya yang dialami perempuan.

Lebih jauh, jika kondom perempuan ini memang bisa didistribusikan secara luas dan merata, namun ternyata kasus HIV & AIDS tetap tinggi, kesalahan akan dituduhkan kepada perempuan. Laki-laki bisa melemparkan tanggung jawab jika terjadi penularan HIV dengan menuding perempuannya tidak mau memakai kondom. Kondisi saat ini saja masih sering memposisikan perempuan pekerja seks sebagai penular HIV padahal mereka sudah dibekali informasi HIV & AIDS, termasuk cara pemakaian kondom, namun harus mengalah karena posisi laki-laki.

Agaknya akan menjadi PR kita bersama agar kondom perempuan bisa berfungsi maksimal dalam upaya pencegahan penularan HIV namun tetap meminimalisir dampak sosial yang lebih besar bagi perempuan. Kondom perempuan bisa menjadi alternatif, pilihan dengan penuh kesadaran akan hak milik tubuh perempuan, jika ketimpangan gender dapat kita hancurkan terlebih dahulu.

Kondom, si karet kecil multi fungsi, masih akan menjadi kontroversi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar