31 Januari 2009

Masih tentang Isu Perempuan

Saya baru pulang dari Jakarta, mengikuti sebuah workshop. Tapi bukan  workshopnya yang ingin saya ceritakan. Pada malam terakhir saya di Jakarta, kawan-kawan mengajak makan di daerah Kemang. Karena background kami semua dari NGO, obrolan pun tidak lepas dari topik hak azasi manusia, isu universal yang mengaitkan perbedaan ranah juang masing-masing lembaga. Perbincangan bergulir dari isu orang (di)hilang(kan), homoseksualitas, layanan kesehatan, dan macam-macam. Sampai pada topik yang sangat menarik, karena bagi beberapa orang, termasuk saya, informasi tersebut tergolong baru.


Seorang kawan dari Stigma, lembaga yang concern pada isu harm reduction NAPZA, menceritakan pengalamannya saat bekerja di lembaga lain. Job desc nya adalah mengunjungi lapas-lapas yang ada di Jakarta. Sudah rahasia umum (atau hanya beberapa gelintir orang saja yang tahu?) peredaran NAPZA di dalam penjara justru didukung oknum sipir yang mencari keuntungan dari para tahanan.


"Temen gw sampai ada yang nyolong sendal jepit terus ngotot minta dikasusin. Setelah gw tanya, alasan dia adalah: kan lebih enak di penjara, nyari barangnya gampang!" Penjara akhirnya menjadi solusi dari pengguna NAPZA untuk mendapatkan 'barang' dengan cara yang mudah! Gila! Itu alasan mengapa penjara memang tidak menjadi solusi bagi para korban pengguna NAPZA.


Perlakuan oknum polisi, yang katanya mengabdi pada masyarakat, jangan ditanya bagaimana bejatnya, terutama bagi para korban NAPZA. Korban NAPZA laki-laki (masih beruntung) mendapatkan kekerasan fisik dan verbal. Dipukul. Disulut rokok. Macem-macem..  Yang perempuan? Tragis.. Kawan saya menceritakan kisahnya sendiri ketika ia ditangkap polisi atas tuduhan pengguna NAPZA. Ia ditelanjangi di sebuah lapangan terbuka dan tidak boleh menutupi bagian tubuhnya. Selesai dipermalukan di depan banyak orang, ia digiring ke kantor polisi, ditelanjangi lagi!  Vaginanya dikorek-korek karena dianggap menjadi tempat menyembunyikan barang bukti. Punggungnya jadi asbak. Belum pukulan dan serangkaian kata-kata 'mutiara' dari mulut sang polisi. Polwan? Bukan. Polisi laki-laki. Polwan ada, hanya duduk-duduk. Dan tidak ada satupun yang mengenakan badge nama di bajunya, kecuali polisi yang bertugas membuat laporan. Aparat yang jelas-jelas perpanjangan tangan Negara kan seharunya menjamin hak azasi ya? Lha ini kok...


Kasus kawannya lebih parah lagi. Sang kawan tertangkap bersama pacar laki-lakinya. Sang polisi lalu menawarkan solusi: tukar badan alias, "lo mau cowok lo bebas,  lo harus berhubungan seks sama gw." Kasus ini kemudian dibawa ke Komnas Perempuan, yang kemudian hanya ditanggapi angin-anginan ("Malah diceramahi..") Perempuan rupanya masih dilihat parsial bahkan oleh orang atau lembaga yang mengaku peduli pada isu perempuan.


Masuk penjara, tahanan perempuan di lapas khusus perempuan nasibnya tambah ngenes. Contohnya untuk masalah pembalut. Di sebuah lapas, tahanan perempuan hanya mendapatkan handuk kecil (oya.. masih dipotong dibagi dua) sebagai pembalut saat mereka menstruasi. Handuk itu yang dipakai selama mereka dalam tahanan. Tidak diganti. Lho, memang tidak ada pembalut? Ada, harganya 3 kali lipat dari harga di luar lapas. Untuk urusan hubungan seksual, di lapas laki-laki biasanya diberikan waktu khusus bagi mereka yang sudah memiliki istri untuk melakukan hubungan seksual di dalam penjara. Di lapas perempuan? Tidak ada aturan itu. Perempuan masih dianggap aseksual, objek seksual.


Selipan aja, ada kasus juga belum lama ini di Jogja ketika seorang remaja jalanan perempuan yang hamil di luar nikah, meminta perlindungan hukum dari lembaga yang katanya concern pada isu perempuan. Hasilnya: ditolak karena dia tinggal di jalanan


Huff.. hanya ingin mengetuk orang-orang yang katanya pejuang isu perempuan.. Lesbian, korban NAPZA, perempuan jalanan, perempuan pekerja seks, perempuan difabel, transseksual male to female, buruh perempuan, perempuan Tionghoa, apakah harus dipisah-pisahkan jika memang terjadi kekerasan terhadap mereka?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar