Ada satu pemandangan baru di kantor saya hari ini. Saya melihat
satu kotak di lobby kantor saya. Kotak besar transparan dengan tulisan ‘Sumbangan untuk Muslim Rohingya’. Sudah ada
satu lembar seratus ribu dan dua lembar lima puluh ribuan. Karyawan front office dengan tersenyum berkata, “Silakan,
Mas, kalau mau bantu!” Saya melewatinya sambil tersenyum. Beberapa langkah
kemudian saya menggeleng-gelengkan kepala.
baca selengkapnya
Ya. Silakan saja kata-katai saya tidak manusiawi, pelit,
tidak punya perasaan, sok-sokan atau apapun karena bukannya buka dompet-ambil
uang-masukkan ke kotak, saya malah geleng-geleng kepala dan memutuskan untuk
menulis blog ini. Saya punya alasan, tentu saja yang, daripada saya katakan pada
petugas front office yang kemudian
akan mengganti lengkung senyumnya dengan lengkung cemberut, akan coba saya
tuliskan di sini.
Membantu sesama memang tidak ada salahnya. Mulia sekali,
justru. Tapi menolong dengan bijaksana itu menurut saya lebih penting. Saya memang
bukan orang bijak, bukan cita-cita juga menjadi orang bijak (cita-cita saya
adalah punya usaha sendiri, ongkang-ongkang kaki di rumah dan uang mengalir
dengan sendirinya, okay, itu mimpi, bukan cita-cita). Untuk kasus Kotak Sumbangan
Muslim Rohingya itu, bagi saya akan lebih bijak kalau diganti Kotak Amal Muslim
Ahmadiyah Indonesia atau Kotak Sumbangan untuk Anak Jalanan Jatinegara. Kenapa?
Apalagi jika kita langsung memberikan pada orangnya, isi kotak-kotak amal yang
saya sebutkan belakangan akan sampai di tujuan dengan jumlah yang relatif tetap.
Saya bilang relatif karena mungkin di perjalanan kita perlu beli bensin atau
membayar orang yang mengangkut uang-uang kita (ya kali, mau nyumbang berapa
truk gitu). Ok, sekarang jaman modern, tinggal transfer dan tak perlu truk. Oya,
dan tak perlu berburuk sangka juga kalau sekian persen uang-uang itu akan
berakhir di kantong siapa, maka saya perlu mengajukan alasan yang lebih logis.
Alasan yang saya maksud ini adalah justru akan
diawali dengan sebuah pertanyaan. Kenapa orang harus membantu orang lain?
Jawabannya akan sederhana dan cenderung PMP (atau PPKn) banget: karena sebagai
manusia berkewajiban untuk menolong sesama manusia! Oh, kurang terasa PMP (atau
PPKn)-nya ya? Karena sila kedua Pancasila berbunyi: Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab. Baik… baik… Itu yang dikatakan oleh orang tua kita di rumah, guru kita
di sekolah, pendeta kita di gereja, ustadz kita di mesjid dan teman kita yang
sedang merayu dapat pinjaman uang di akhir bulan.
Apa kita membuat prioritas saat akan membantu orang lain?
Tentu. Terdengar lebih masuk akal bukan kalau kita memberikan uang kita pada
adik tercinta yang mungkin akan menghabiskannya untuk beli pulsa agar bisa
bermesra-mesraan dengan pacarnya lewat telepon dibandingkan dengan
memberikannya kepada seorang ibu yang tak kita kenal yang kita temui di
pasar yang mungkin sedang kebingungan karena uangnya tak cukup untuk beli susu
sang anak. Kotak amal yang saya lihat siang tadi pun paham dengan prioritas
tersebut. Makanya perlu ditulis: Muslim Rohingya . Lupakan Rohingyanya dan tiba-tiba
anda (yang muslim) akan merasa punya ikatan yang sangat kuat sebagai satu umat
besar satu agama yang mewajibkan anda untuk menolong sesamanya.
Tidak ada yang salah, (biasanya
akan berlanjut dengan kata: tapi…) tapi (nah kan!) karena kotaknya berjudul Muslim Ronghiya maka saya ambil
Muslim saja sebagai contohnya, apa anda tidak merasa punya ikatan juga dengan
mereka yang tinggal di gubuk-gubuk kardus dan mereka juga sholat dan puasa
sebagaimana anda beribadah? Apakah kita tidak merasa punya ikatan saat
orang-orang Ahmadiyah itu dibakar rumahnya, diusir, bahkan dihajar dan dibunuh padahal mereka merasa sebagai orang Islam juga?
Ataukah memang jika diruntut garis keturunan, kita ternyata masih sepupuan
dengan orang-orang muslim di Rohingya sana dan tak ada garis penyambung dengan
orang-orang di Kuningan pengikut Ahmadiyah? Buat saya, ini tidak logis.
Apalagi lalu kita berteriak-teriak kalau pemerintah Myanmar
tidak becus menegakkan demokrasi, pemerintah Myanmar tidak mampu melindungi
warganya dan Pemerintah Republik Indonesia tercinta akan mengangkat isu ini dipertemuan OIC (Organization of Islamic Cooperation), Agustus nanti di Mekkah
(Pak Beye, seperti biasa, merasa prihatin dengan situasi di sana). Bravo!! Apa kabar
korban lumpur Lapindo? Sorry to say,
kalau saya jadi pemerintah Myanmar, saya akan bilang: Talk to my hand! Ngaca! Apalagi kita (kita? gw aja kali) tidak tahu
pasti apa yang sebenarnya terjadi, ada yang bilang orang-orang Rohingya itu
imigran dari Bangladesh yang masuk ke wilayah Rakhine yang mayoritas Buddha, beberapa
sumber menuturkan bahwa korban tidak hanya jatuh dari pihak Rokhingya saja,
Rohingya bakar vihara Rakhine, Rakhine hancurkan masjid Rohingya. Agenda untuk
menjatuhkan citra pemerintahan Suu Kyi? Atau perang antar etnis
berebut wilayah atas nama agama? Terserahlah. Yang pasti, di sana ada anak-anak
yang tak berdosa yang ikut-ikutan menderita dan jadi korban (aaah, masih juga pilih-pilih
mau bantu anak yang Islam, Buddha atau Kristen?).
Saya jadi bertanya-tanya, memang begitukah yang diajarkan? Mendahulukan membantu orang yang satu agama atau satu etnis dulu dan yang lain belakangan atau kalau perlu kita ikut-ikutan memusuhi?
Well, biar tidak terlalu buta-buta amat soal Rohingya versus
Rakhine, saya cari kronologisnya seperti apa. Ada yang tertarik? Silakan buka:
Saya hanya coba sekadar membaca saja untuk menetralkan otak saya dari bombardir
foto-foto korban kerusuhan di Myanmar yang menghiasi facebook saya. Terlalu
serius juga belum tentu benar. Malu aja kalau udah mati-matian bela salah satu
pihak sampai urat leher mau putus, eh ternyata pihak itu justru kompor masalahnya.
Lagipula, kalaupun saya merasa terikat dengan orang-orang di Myanmar itu karena
saya dan mereka sama-sama manusia. Sama seperti saya merasa terikat dengan
orang Ahmadiyah di Kuningan dan anak jalanan di Jatinegara. Perbedaan-perbedaan
itu tak lebih dari kotoran mata yang menghalangi penglihatan saya saat bangun
tidur. Sekian.