11 Maret 2015

PHP itu Mematikan


Ya, saya memang mau cerita soal PHP yang singkatan Pemberi Harapan Palsu itu. Tapi sayang sekali harus saya katakan kalau ini tidak ada hubungannya dengan urusan percintaan. Karena selain saya tidak punya cukup pengalaman di bidang per-PHP-an dalam ranah asmara (sungguh saya minta maaf jika selama ini ada kata dan tindakan saya yang menjurus pada PHP, sama sekali tak ada niatan), apa yang hendak saya tulis ini didasarkan pada kisah nyata meskipun nama dan identitas tertentu sengaja dikaburkan agar tidak menyulut perkara di kemudian hari. Kendati demikian, saya rasa inti PHP yang akan saya ceritakan ini dapat pula diterapkan dalam  bidang-bidang kehidupan manusia lainnya, termasuk bidang asmara.

Alkisah, saya mengajukan lamaran pekerjaan pada suatu organisasi yang lumayan besar. Sebut saja PermenKaret. Tidak sampai seminggu, saya sudah ditelpon, diundang untuk wawancara. Kaget campur senang, tapi saya tidak langsung besar kepala. Toh siapa tahu memang PermenKaret ini punya cara rekruitmen seperti itu. Lolos administrasi, wawancara, lolos administrasi, wawancara, tidak perlu tumpuk CV pelamar beribu-ribu.

Lewat seminggu paska wawancara, saya mulai pasrah. Apalagi setelah tahu ada kandidat lain yang punya pengalaman lebih dari saya. Benar saja, setelah hampir dua minggu saya ditelpon HRD-nya PermenKaret. Dia bilang, untuk posisi yang saya lamar, mereka butuh orang yang lebih senior (saya tidak sempat tanya maksudnya ini dari perspektif usia ataukah pengalaman). Kepada saya, ditawarkan posisi lain. Oh jangan senang dulu, ini bukan tawaran untuk langsung menempati posisi tersebut. Ditawarkan kepada saya kira-kira saya tertarik atau tidak untuk ikut proses wawancara lagi, ya semacam final interview. Saya lalu minta dikirimkan deskripsi kerjanya untuk saya pelajari. Besoknya, saya terima undangan untuk wawancara.

Hanya satu orang yang mewawancarai saya, ‘bosnya’ PermenKaret di Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan standar yang diakhiri dengan, “Kami butuh posisi itu secepatnya (tiga minggu setelah dinyatakan lolos harus ikut workshop) dengan gaji yang kami tawarkan bla…bla…bla…” Terdengar positif ya? Belum. Ini belum masuk bagian per-PHP-an. Saya diberi tahu akan mendapatkan kabar besoknya. Dan dimulailah…

Sampai besok sorenya saya bolak-balik cek email. Siapa tahu nyasar ke spam dan saya tidak mendapatkan notifikasi. Tidak ada kabar sama sekali sampai saya tidur. Masuk hari selanjutnya, belum ada kabar juga hingga akhirnya saya beranikan diri untuk menelepon si HRD. Saya bilang kalau saya perlu kabar agar saya bisa berdiskusi dengan tempat saya kerja sekarang untuk negosiasi waktu yang tepat saya bisa mundur. Sebagai informasi, kontrak pekerjaan saya sekarang berakhir awal April, yang artinya kalau PermenKaret ingin saya mulai bekerja, kalau saya diterima, pada akhir Maret, saya harus berdiskusi dulu, bukan? Jadi saya tekankan kalau saya menunggu sekali kabar yang seharusnya saya terima kemarin.

Jawaban dari sang HRD mengagetkan saya. Selain tidak tahu kalau saya seharusnya dikabari kemarin itu, dia juga belum tahu bagaimana hasilnya. Dia bilang akan mengabari saya hari itu juga. Saya jawab kalau saya paham jika PermenKaret butuh waktu untuk mempertimbangkan, tapi setidaknya saya diberi tahu kapan saya akan mendapat kepastian. Sang HRD keukeuh akan mengabari saya hari itu juga dengan alasan dia akan cuti panjang. Ok, baiklah. Dan sampai berhari-hari hingga detik ini tak ada satu pun kabar saya terima.

Sebelumnya, di mata saya PermenKaret adalah organisasi besar yang profesional. Walaupun kadang dengar berita ini itu yang agak kurang sedap tentangnya, saya merasa hal itu lumrah-lumrah saja. Toh tidak ada gading yang tak retak. Selama tidak fatal. Tapi dari proses rekruitmen yang saya alami, saya merasa ini benar-benar sudah di luar batas kewajaran. Saya merasa sudah di-PHP-in, hal yang sepatutnya tidak dilakukan organisasi sebesar itu. Memang saya dengar desas-desus soal posisi yang ditawarkan itu, tapi apapun yang terjadi ini tak ada kaitannya dengan kewajiban mereka untuk memberikan kepastian kepada orang yang sudah mereka wawancara. Mungkin akan berbeda kisah jika saya tidak diberi tahu, “Akan kami kabari besok” dan “Hari ini juga akan kami kabari”. Perkara saya tidak terima, kecewa pastinya. Tapi mendapat kabar, sekalipun lewat email, tentang penolakan itu jauh lebih baik rasanya. Saya bisa konsentrasi pada hal lain.

Memberi harapan kepada orang lain itu perlu komitmen yang besar. Seperti kita membuat janji. Pasalnya, kebanyakan dari kita yang diberi harapan akan segera menyusun rencana, jaga-jaga agar jika harapan itu benar-benar diberikan kita sudah tahu apa yang harus dilakukan. Dan jika tidak, tindakan apa pula yang harus diambil. Menyusun agenda supaya hal-hal lain dalam hidupnya tetap berjalan sebagaimana mestinya. Walaupun kita tidak hidup dalam satu dimensi melulu soal hal yang diharapkan itu saja, pecahan-pecahan hidup kita yang lainnya saling terkait. Satu ketidakpastian bisa berdampak pada hal lain dalam hidup kita. Meski kadang sesaat, ketidakpastian mematikan rencana dan agenda yang sudah kita susun. Tidak jarang pula justru ‘sesaat’ itulah waktu yang sangat krusial dalam hidup kita, maka matilah kita karena setitik PHP. (Ok, anak kalimat terakhir itu memang terdengar berlebihan)

Ngomong-ngomong, gak ada yang lagi PHP-in orang kan?


4 komentar:

  1. Mas galink, aku sering banget denger cerita beginian dari temen2ku yang lagi jobseeking beberapa waktu lalu, persis! di PHP in sama korporasi yg punya 'nama' lah di Indonesia. Kadang kesel juga ya dan sepertinya aku juga harus menyiapkan mental untuk menghadapi dunia PHP semacam ini hahahahah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Entahlah dimana etika... (sing: dimanaa... etikaa... *logika wooy*) para institusi 'besar' itu. Pengalamanku memang banyak institusi yang setelah wawancara terus gak ngasih kabar blas. Apalagi kalo cuma kirim aplikasi, mana pernah mereka respon. Tapi ada juga yang santun kirim email atau telepon ngasi keputusan paska wawancara. Suka pengen bandingin, di negara lain, bahkan kalau kita baru kirim aplikasi saja dan kita tidak lolos, mereka akan ngasih kabar via email

      Hapus
  2. bener banget! Aku malah mikir (selama berkali2 kirim lamaran kemarin), 'Oh mungkin tidak direspon itu = penolakan ya buat beberapa korporasi/lembaga) Tapiii.... kok aku malah merasa kaya' monolog gitu, ga ada komunikasi 2 arah.. jadi berasa aku dicuekin kan kan kan :(( syedih deh barbie :3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, akhirnya kita bikin deadline sendiri: sebulan gak ada kabar = ah sudahlah.. Sini sini barbie, nonton haji lulung biar gak syedih

      Hapus