21 April 2015

Kisah Kasih Bikin Paspor

Hari ini adalah hari pertama saya, secara resmi, bekerja di kantor baru. Dan saya menghabiskan hampir seharian di Kantor Imigrasi Jakarta Selatan. 

Belum. Belum ada keinginan jadi PNS, termasuk jadi pegawai kantor imigrasi. Kedatangan saya di kantor itu tak lain dan tak bukan untuk urus paspor. Singkatnya, saya diterima bekerja di sebuah organisasi yang cakupan kerjanya tidak hanya di Indonesia, jadi saya merasa perlu segera membuat paspor baru setelah yang lama kadaluarsa sejak Februari lalu.


Saya memulai kisah kasih saya dengan Kantor Imigrasi Jakarta Selatan sejak Senin kemarin. Dengan penuh percaya diri saya sampai di sana jam 8 lebih sedikit. Naik ke lantai dua, saya langsung menuju meja informasi. Mereka memberitahu kalau kuota pendaftaran paspor secara manual untuk hari itu sudah habis. Walah... Ternyata mereka sudah mulai proses sejak pukul 6 pagi untuk kuota 100 pendaftar setiap harinya! Baiklah.

Saya sempat cek untuk daftar secara online. Memang lebih sederhana, tak perlu antri berlama-lama (tapi tetap antri lho...). Sayangnya, jadwal yang diberikan oleh Kantor Imigrasi Jakarta Selatan untuk proses selanjutnya paling cepat adalah satu minggu setelah kita mengisi formulir online. Usut punya usut, kantor ini memang paling banyak peminatnya. Teman saya menyarankan saya untuk mencari kantor imigrasi lain. Di Jakarta Selatan sendiri sebetulnya ada dua unit yang khusus melayani pembuatan paspor, di Kebayoran Baru dan Cilandak. Saya cek juga kalau online di Kebayoran Baru itu jadwalnya bisa keesokan harinya. Tapi saya tetap melirik kantor imigrasi yang di Warung Buncit Raya karena searah dengan kantor. Biarlah daftar manual pun.

Pagi jam 6.30 saya sudah sampai di sana. Antrian sudah mengular di luar gedung, saudara-saudara! Saya tanya satpamnya apakah masih ada kuota, syukurlah masih. Berdirilah saya di antrian sekitar 1 jam sebelum kantor benar-benar membuka layanan. Setelah cek kilat berkas-berkas oleh petugas, saya lalu dapat formulir dengan nomor antrian 2-067. Kode 2 adalah kode pelamar 'biasa' saja. Yang kode 1 itu untuk lansia, anak dan diffable. Ok juga nih sistemnya, saya pikir. 

Entah berapa kursi sudah saya duduki, dengan posisi dari mulai duduk sopan sampai selonjoran nggak jelas. Sabar lah... Menjelang jam 12 siang terdengar pengumuman bahwa layanan akan tutup sampai jam 1. Yang bikin gemes adalah nomor antrian berhenti di 2-064. Dikit lagi, bro... Ya sudahlah, mau gimana lagi. Kasihan juga para pegawai itu ya mau makan. Jam 1 lewat 10 menit barulah antrian kembali dipanggil. 

Kalau memang hari sial itu benar adanya, mungkin ini hari sial buat saya. Saya dipanggil ke Counter 3. Petugasnya, yang ramah sama petugas lain tapi langsung pasang muka judes begitu menatap pendaftar (dan ini hampir semua lho, mungkin SOP nya begitu ya), segera mengecek kembali berkas-berkas saya. Dia tanya alamat saya dimana,

"Lha itu, saya udah tulis di formulir," jawab saya.

"Oh bukan KTP Jakarta ya. Ada surat pengantar dari kantor?"

Dueng! Saya baru ingat, dulu waktu saya bikin paspor di Jogja dengan KTP non-Jogja, saya bawa surat pengantar dari kantor. Tapi saya tidak mau rugi, masak iya sudah ngantri dari pagi terus harus balik lagi gara-gara nila setitik. Saya bilang,

"Lho, tadi waktu dicek di depan saya tidak dikasih tahu. Di web juga cuma dikasih tahu saya cuma harus bawa dokumen-dokumen ini." Asli, muka saya waktu itu pasti tidak kalah judes dengan si petugas. Si petugas akhirnya meminta saya membuat pernyataan tulis tangan bermaterai. Ya lebih baiklah daripada mengular dari pagi lagi. Eits, belum selesai. Giliran saya mau difoto, komputernya error. Nah lho. Dimintalah saya foto di Counter 2, dengan petugas bapak-bapak yang sibuk senyum-senyum gak jelas sama pendaftar perempuan muda. Dan lagi-lagi saya dapat jatah judesnya. Cih.

Selesai foto dan scan sidik jari, saya kembali ke Counter 3 untuk menerima tanda bukti yang akan digunakan untuk pembayaran dan pengambilan paspor. Komputernya masih error donk. Menunggulah lagi saya, sampai pendaftar lain tanya sama saya kenapa lama sekali. Saya cuma bilang,

"Tuh, teknologinya gak canggih."

Akhirnya, saya terbebas dari Kantor Imigrasi jam 2 lewat. Hore. Semoga saja pengambilan paspornya nanti, yang untungnya hanya 3 hari proses, tidak pakai ngantri dan nunggu lama.

Pelajaran apa yang bisa didapat dari kisah saya ini? Baiklah, jadi kalau Anda sedang akan membuat paspor:

  1. Proseslah jauh-jauh hari sebelum Anda berencana pergi ke luar negeri sehingga bisa memanfaatkan pendaftaran online
  2. Pakai agen juga bisa, tapi sediakan kocek lebih tentunya. Harga paspor 48 halaman plus administrasi itu Rp355.000 (bukan e-passport). Dulu saya di Jogja mesti bayar sekitar Rp500.000. Di Jakarta, info dari teman, berkisar Rp650.000 sampai Rp1.200.000
  3. Cari kantor imigrasi atau unit layanan paspor terdekat dengan rumah. Tanya dulu berapa kuota per harinya dan mulai antri jam berapa.
  4. Jika Anda akan mengurus paspor di provinsi yang tidak sesuai dengan KTP dan KK, minta surat pengantar dari kantor atau kampus. Kalau tidak, ya siap-siap mengarang indah seperti pengalaman saya di atas hehe...
  5. Dokumen yang harus disiapkan adalah KTP, KK, akte lahir (atau ijasah) dan paspor lama (untuk yang sudah punya). Semua dokumen asli dibawa plus fotokopiannya ukuran A4.
  6. Berpakaian rapi dan wajar. Begitu pengumuman yang ada di kantor imigrasi. Entah maksudnya wajar itu seperti apa, kalau dari pengamatan saya sih tidak ada yang pakai baju selam atau bikini pas daftar paspor. Tapi ini memang masuk akal karena sistem one stop service, pengambilan foto dilakukan di hari yang sama saat kita menyerahkan berkas (berposelah yang wajar!)
  7. Kalau kebetulan dapat kantor imigrasinya yang ramai naujubilah, perkuat iman dan takwa. Dan jangan lupa sarapan. 

Informasi lebih lengkap mengenai prosedur pembuatan paspor bisa diintip di http://www.imigrasi.go.id/


*foto dicomot dari http://tanjungperak.imigrasi.go.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar