Sudah agak lama sebetulnya ingin menulis tentang ini, tapi seringnya muncul ide lain yang tak kalah menarik. Barulah saat saya mengintip status teman-teman saya di jejaring sosial, saya menemukan salah satu kawan memasang landscape Jakarta di sore hari. Fotonya memang bagus, tapi yang lebih menarik perhatian saya adalah status teman saya untuk mengomentari foto tersebut, "senja yang ganteng". Saya tidak tahu alasan sang pemilik status tidak mengikuti arus yang memadankankan senja dengan kata cantik atau indah, kata-kata yang sebetulnya bermakna mirip dengan ganteng, namun dianggap lebih feminin, tapi ini menggelitik saya untuk menulis tentang kaitan isu gender dan bahasa.
Saya memang bukan pakar di isu gender, tapi ada beberapa hal menarik yang saya pelajari terkait isu ini. Salah satunya adalah bahasa dan makna yang punya peran penting dalam sosialisasi peran gender dalam masyarakat (ah, saya juga bukan ahli semiotika, saya tidak tahu apa istilah untuk ini). Dalam isu gerakan sosial, bahasa adalah salah satu alat yang digunakan untuk mereproduksi nilai-nilai. Bahasa bisa menunjukkan perspektif kita dan atau bagaimana kita menyusun strategi yang sesuai dengan idealisme yang diusung. Contohnya, kalau langsung dikaitkan dengan isu gender, adalah penggunaan istilah untuk perempuan yang ada dalam prostitusi. Bagi mereka yang melihat perempuan-perempuan tersebut sebagai manusia asusila dan semacamnya istilah yang dipakai biasanya WTS (Wanita Tuna Susila). Sementara bagi mereka yang ingin menunjukkan keberpihakannya kepada perempuan-perempuan ini, ada dua istilah yang dipakai, perempuan pekerja seks (dengan perspektif bahwa setiap orang memiliki kedaulatan penuh atas tubuh dan seksualitasnya) atau perempuan yang dilacurkan (berangkat dari fakta bahwa perempuan-perempuan ini 'dilacurkan' oleh sistem yang tidak berpihak). Subjeknya tetap sama, perempuan dalam prostitusi, tapi bahasa yang digunakan berbeda untuk menunjukkan cara pandang dan sikap kita terhadap mereka.
Para aktivis dan lembaga yang peduli dan berpihak pada hak-hak perempuan, biasanya menggunakan kata perempuan alih-alih wanita apalagi betina. Bagi beberapa orang, mungkin ini perkara sepele, tapi tidak bagi sebagian lain yang menganggap istilah perempuan dan wanita punya nilai politis dan historis di dalamnya. Anda bisa googling dan menemukan banyak artikel dan blog yang menjelaskan tentang ini (saya link-kan satu yang singkat tapi padat). Itu baru contoh istilah-istilah. Kalau kembali ke status teman saya itu, yang saya ingat adalah saat saya ikut diskusi dengan seorang aktivis gender dan saat saya berguru sambil membuat panduan membuat tulisan berperspektif gender.
Pembakuan peran gender disosialisasikan juga lewat bahasa, selain melalui alat budaya lain, dimulai bahkan saat kita pertama kali diajarkan membaca di sekolah dasar. Ya, pelajaran Bahasa Indonesia telah cukup sukses menanamkan nilai-nilai keperempuanan dan kelelakian (semoga kurikulum sekarang sudah lebih baik). Masih ingatkah kalimat-kalimat ini: "Bapak pergi ke kantor", "Ibu memasak di dapur"? Ada yang salah dengan kalimat ini? Salah mungkin tidak, tapi secara tidak langsung telah berhasil mengajarkan kepada kita kalau bapak -yang notabene laki-laki- itu tempatnya di kantor, bekerja di luar rumah. Sedangkan ibu, yang perempuan, ya memasak di dapur. Demikian saat kita diajarkan tentang macam-macam pekerjaan, masih ingat bagaimana gambar yang ditampilkan untuk orang yang bekerja sebagai suster, insinyur, pilot?
Kemudian soal penempatan urutan. Mungkin ini sepele bagi sebagian orang, tapi tidak bagi yang lain. Contoh yang paling sering ditemukan adalah dalam istilah suami-istri. Kenapa suami selalu diletakkan di awal? Juga saat menyebutkan dalam kalimat "...laki-laki dan perempuan..." Kalau kita berpendapat 'toh tidak ada bedanya menulis mana yang pertama duluan', tidak sulit untuk sedikit mengubah kebiasaan tersebut, bukan?
Ada juga istilah-istilah terkait profesi dengan akhiran -wan atau -wati atau akhiran -a dan -i pada kata-kata benda tertentu. Seperti sudah kita ketahui, akhiran-akhiran tersebut menunjukkan jenis kelamin si empunya. Ada wartawan dan karyawan, ada wartawati dan karyawati. Ada mahasiswa dan pemuda, ada mahasiswi dan pemudi. Sayangnya, yang berakhiran -wati dan -i lebih sering tidak digunakan. Bahkan untuk beberapa istilah tertentu terdengar tidak lazim (atau memang tidak ada?), seperti hartawati, bangsawati, jutawati, seniwati? Istilah jurnalis kemudian digunakan oleh beberapa orang untuk lebih menetralkan istilah yang menunjukkan orang yang bekerja mencari dan menulis berita. Istilah pekerja seni juga digunakan untuk menggeser istilah seniman. Apa lagi ya contohnya? Di Bahasa Inggris, penetralan istilah juga mulai digunakan seperti mengganti istilah cameraman dengan camera person, stewardess dengan flight attendant, bellboy dengan bellhop atau room service (bisa klik di sini untuk lebih banyak istilah)
Beruntung, Bahasa Indonesia bisa dibilang lebih netral gender dibandingkan bahasa lain. Misalnya, kita punya kata penunjuk orang ketiga tunggal tanpa spesifikasi gender: dia atau ia. Bandingkan dengan Bahasa Inggris dengan she dan he (jika subjeknya tidak pasti, beberapa pengguna Bahasa Inggris yang kritis pada isu gender kadang menggunakan s/he). Pun kita menyebut manusia dan orang, yang juga netral. Sementara dalam Bahasa Inggris, seringkali kata man digunakan untuk menunjuk manusia secara umum. Sekarang, beberapa orang mulai menggunakan istilah yang lebih netral: human, person, human being. Bahasa Perancis agaknya yang paling ribet soal gender ini karena mereka punya genderisasi kata benda bukan hanya karena jenis kelamin yang ditunjuk oleh kata tersebut namun semata karena pelekatan sifat maskulin dan femininpada kata-kata benda tersebut. (Silakan yang jago Bahasa Perancis mungkin bisa lebih menjelaskan hal ini hehe...)
Terakhir yang menjadi sorotan saya adalah di media massa paling sering kita temukan dalam pemberitaan kriminal perkosaan terhadap perempuan yang mengaliaskan korban dengan nama Mawar, Melati atau nama bunga lainnya. Kesan yang muncul adalah, bunga itu identik dengan perempuan. Beberapa feminis bahkan mengkritisi bahwa hal ini bisa menimbulkan persepsi lebih lanjut: karena perempuan itu bunga, menjadi maklum untuk 'menikmati'nya, memaklumkan tindak perkosaan yang terjadi.
Mungkin itu baru sedikit hubungan antara bahasa dan gender. Ya, mungkin juga kita menganggap ini adalah hal yang sepele. Tapi bagi yang percaya bahwa bahasa itu adalah kesepakatan umum, sementara kita menggugat beberapa kesepakatan umum yang cenderung bias dan merugikan pihak tertentu, maka mengubah kebiasaan kita berbahasa adalah juga merupakan alat untuk menunjukkan gugatan kita pada kesepakatan umum tersebut.
Bacaan menarik:
Bahasa Indonesia Bahasa Lelaki? Telaah Ketimpangan Gender dalam Bahasa Indonesia
baca selengkapnya
Saya memang bukan pakar di isu gender, tapi ada beberapa hal menarik yang saya pelajari terkait isu ini. Salah satunya adalah bahasa dan makna yang punya peran penting dalam sosialisasi peran gender dalam masyarakat (ah, saya juga bukan ahli semiotika, saya tidak tahu apa istilah untuk ini). Dalam isu gerakan sosial, bahasa adalah salah satu alat yang digunakan untuk mereproduksi nilai-nilai. Bahasa bisa menunjukkan perspektif kita dan atau bagaimana kita menyusun strategi yang sesuai dengan idealisme yang diusung. Contohnya, kalau langsung dikaitkan dengan isu gender, adalah penggunaan istilah untuk perempuan yang ada dalam prostitusi. Bagi mereka yang melihat perempuan-perempuan tersebut sebagai manusia asusila dan semacamnya istilah yang dipakai biasanya WTS (Wanita Tuna Susila). Sementara bagi mereka yang ingin menunjukkan keberpihakannya kepada perempuan-perempuan ini, ada dua istilah yang dipakai, perempuan pekerja seks (dengan perspektif bahwa setiap orang memiliki kedaulatan penuh atas tubuh dan seksualitasnya) atau perempuan yang dilacurkan (berangkat dari fakta bahwa perempuan-perempuan ini 'dilacurkan' oleh sistem yang tidak berpihak). Subjeknya tetap sama, perempuan dalam prostitusi, tapi bahasa yang digunakan berbeda untuk menunjukkan cara pandang dan sikap kita terhadap mereka.
Para aktivis dan lembaga yang peduli dan berpihak pada hak-hak perempuan, biasanya menggunakan kata perempuan alih-alih wanita apalagi betina. Bagi beberapa orang, mungkin ini perkara sepele, tapi tidak bagi sebagian lain yang menganggap istilah perempuan dan wanita punya nilai politis dan historis di dalamnya. Anda bisa googling dan menemukan banyak artikel dan blog yang menjelaskan tentang ini (saya link-kan satu yang singkat tapi padat). Itu baru contoh istilah-istilah. Kalau kembali ke status teman saya itu, yang saya ingat adalah saat saya ikut diskusi dengan seorang aktivis gender dan saat saya berguru sambil membuat panduan membuat tulisan berperspektif gender.
Pembakuan peran gender disosialisasikan juga lewat bahasa, selain melalui alat budaya lain, dimulai bahkan saat kita pertama kali diajarkan membaca di sekolah dasar. Ya, pelajaran Bahasa Indonesia telah cukup sukses menanamkan nilai-nilai keperempuanan dan kelelakian (semoga kurikulum sekarang sudah lebih baik). Masih ingatkah kalimat-kalimat ini: "Bapak pergi ke kantor", "Ibu memasak di dapur"? Ada yang salah dengan kalimat ini? Salah mungkin tidak, tapi secara tidak langsung telah berhasil mengajarkan kepada kita kalau bapak -yang notabene laki-laki- itu tempatnya di kantor, bekerja di luar rumah. Sedangkan ibu, yang perempuan, ya memasak di dapur. Demikian saat kita diajarkan tentang macam-macam pekerjaan, masih ingat bagaimana gambar yang ditampilkan untuk orang yang bekerja sebagai suster, insinyur, pilot?
Kemudian soal penempatan urutan. Mungkin ini sepele bagi sebagian orang, tapi tidak bagi yang lain. Contoh yang paling sering ditemukan adalah dalam istilah suami-istri. Kenapa suami selalu diletakkan di awal? Juga saat menyebutkan dalam kalimat "...laki-laki dan perempuan..." Kalau kita berpendapat 'toh tidak ada bedanya menulis mana yang pertama duluan', tidak sulit untuk sedikit mengubah kebiasaan tersebut, bukan?
Ada juga istilah-istilah terkait profesi dengan akhiran -wan atau -wati atau akhiran -a dan -i pada kata-kata benda tertentu. Seperti sudah kita ketahui, akhiran-akhiran tersebut menunjukkan jenis kelamin si empunya. Ada wartawan dan karyawan, ada wartawati dan karyawati. Ada mahasiswa dan pemuda, ada mahasiswi dan pemudi. Sayangnya, yang berakhiran -wati dan -i lebih sering tidak digunakan. Bahkan untuk beberapa istilah tertentu terdengar tidak lazim (atau memang tidak ada?), seperti hartawati, bangsawati, jutawati, seniwati? Istilah jurnalis kemudian digunakan oleh beberapa orang untuk lebih menetralkan istilah yang menunjukkan orang yang bekerja mencari dan menulis berita. Istilah pekerja seni juga digunakan untuk menggeser istilah seniman. Apa lagi ya contohnya? Di Bahasa Inggris, penetralan istilah juga mulai digunakan seperti mengganti istilah cameraman dengan camera person, stewardess dengan flight attendant, bellboy dengan bellhop atau room service (bisa klik di sini untuk lebih banyak istilah)
Beruntung, Bahasa Indonesia bisa dibilang lebih netral gender dibandingkan bahasa lain. Misalnya, kita punya kata penunjuk orang ketiga tunggal tanpa spesifikasi gender: dia atau ia. Bandingkan dengan Bahasa Inggris dengan she dan he (jika subjeknya tidak pasti, beberapa pengguna Bahasa Inggris yang kritis pada isu gender kadang menggunakan s/he). Pun kita menyebut manusia dan orang, yang juga netral. Sementara dalam Bahasa Inggris, seringkali kata man digunakan untuk menunjuk manusia secara umum. Sekarang, beberapa orang mulai menggunakan istilah yang lebih netral: human, person, human being. Bahasa Perancis agaknya yang paling ribet soal gender ini karena mereka punya genderisasi kata benda bukan hanya karena jenis kelamin yang ditunjuk oleh kata tersebut namun semata karena pelekatan sifat maskulin dan femininpada kata-kata benda tersebut. (Silakan yang jago Bahasa Perancis mungkin bisa lebih menjelaskan hal ini hehe...)
Terakhir yang menjadi sorotan saya adalah di media massa paling sering kita temukan dalam pemberitaan kriminal perkosaan terhadap perempuan yang mengaliaskan korban dengan nama Mawar, Melati atau nama bunga lainnya. Kesan yang muncul adalah, bunga itu identik dengan perempuan. Beberapa feminis bahkan mengkritisi bahwa hal ini bisa menimbulkan persepsi lebih lanjut: karena perempuan itu bunga, menjadi maklum untuk 'menikmati'nya, memaklumkan tindak perkosaan yang terjadi.
Mungkin itu baru sedikit hubungan antara bahasa dan gender. Ya, mungkin juga kita menganggap ini adalah hal yang sepele. Tapi bagi yang percaya bahwa bahasa itu adalah kesepakatan umum, sementara kita menggugat beberapa kesepakatan umum yang cenderung bias dan merugikan pihak tertentu, maka mengubah kebiasaan kita berbahasa adalah juga merupakan alat untuk menunjukkan gugatan kita pada kesepakatan umum tersebut.
Bacaan menarik:
Bahasa Indonesia Bahasa Lelaki? Telaah Ketimpangan Gender dalam Bahasa Indonesia