17 Juni 2011

Lupa


Urusan lupa sudah jamak kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Hampir tidak ada manusia yang tidak pernah mengalami kelupaan. Saya bilang hampir karena saya belum yakin anak-anak 'cerdas' yang bisa menghapal nama-nama pemimpin negara seluruh dunia, bisa menghapal rumus fisika dan kimia,  juga bisa lupa menaruh kaos kakinya dimana.


Saya sendiri boleh dibilang pelupa. Saya hampir (lagi-lagi hampir, karena kadang saya ingat) tidak bisa mengingat kata per kata buku yang baru saja saya baca. Sering takjub saya, jika ada teman yang bisa dengan lancar menceritakan cerita film komplit dari awal sampai akhir bahkan sambil mengutip beberapa dialog. Saya tidak mampu! Jangan ditanya berapa kali saya bertemu orang yang mukanya saya ingat tapi sampai akhir perbincangan saya tidak ingat siapa namanya. Tapi saya bersyukur karena masih ada ikan mas yang, katanya, daya ingatnya cuma 3 detik. Saya nggak parah-parah banget...


Perkara ingat-mengingat mungkin jadi kocak kalau misalnya ada orang yang memberikan kejutan ulang tahun pada kawan di hari yang bukan ulang tahunnya. Namun bisa juga jadi bencana kalau ada orang lupa mematikan api kompor dan berujung pada kebakaran satu kampung. Bisa juga jadinya biasa-biasa saja kalau lupa password email saking banyaknya akun. Ada juga orang yang pura-pura lupa sudah ambil uang rakyat lalu pergi ke luar negeri dengan alasan berobat, entah mengobati lupanya, hatinya atau hidung yang terlalu pesek.


Nah, yang ingin saya ceritakan ini soal lupa yang lain. Lupa yang dipaksakan. Meskipun seringnya kita tak ingin melupakan sesuatu: mandi, makan, dapat gaji dan sebagainya, namun ada kondisi tertentu yang membuat kita ingin sekali melupakan sesuatu.


"Kenapa orang seringnya justru tidak bisa melupakan sesuatu yang ingin dia lupakan? Saat sakit hati misalnya?" kata seorang kawan, sore ini, di akhir jam kantor. 


Saya yang sedang buru-buru menyelesaikan pekerjaan karena ada undangan makan-makan sepulang kantor, menjawab, "mungkin karena dia sebetulnya menikmati mengingat sakit hatinya itu." Anda geleng-geleng kepala? Saya juga. Tapi saya bicara karena ada kasus seorang kawan yang saya kira seperti itu. Sisi melankolisnya justru menjebak dia pada situasi dimana dia menikmati atmosfer saat dia sakit hati (bukan menikmati sakit hatinya lho).


"Atau mungkin karena memang sebenarnya dia tidak benar-benar ingin melupakan," tambah saya.


"Atau karena masih ada dendam," kawan saya yang lain menimpali, ketika ada seorang kawan yang dengan lantang memprotes kalau dia benar-benar ingin melupakan bayangan mantannya tapi masih saja ingat.


Masih ada "atau-atau" lainnya karena kemungkinan-kemungkinan seseorang gagal untuk melupakan sesuatu dalam hidupnya terentang mungkin melebihi Sabang sampai Merauke. Lalu ketika saya sampai rumah, saya baru ingat pada satu kemungkinan yang selama ini cukup saya percaya tapi sayangnya penyakit lupa saya kambuh saat percakapan dengan kawan-kawan, yaitu: tidak bisa melupakan justru karena kita terlalu berusaha untuk melupakan.


Begini teorinya: ketika kita berusaha untuk melupakan sesuatu, sebetulnya secara tidak langsung, otak kita memunculkan sesuatu tersebut, dan dengan bantuan jembatan keledai, merembet ke ingatan-ingatan lain yang berkaitan dengan sesuatu tersebut. Dan begitu terus dan begitu terus. Saya contohkan, saya ingin melupakan seorang DIA. Ketika saya berusaha sekuat tenaga, menanamkan dalam otak saya, "Saya harus lupakan DIA... saya harus lupakan DIA." Apa yang terjadi? Dua kali DIA muncul lagi di otak saya. Bukan hanya kata DIA, sosok dan bentuk DIA juga digambarkan oleh otak, pun dengan memori ketika saya disakiti DIA, ketika saya belum disakiti DIA, ketika saya nonton konser bareng DIA, ketika saya pertama bertemu DIA, terus dan terus. Lalu bagaimana saya bisa melupakan DIA?


Karena itu, sebagai seorang yang mudah melupakan, saya bisa sarankan untuk just let move on. Lanjutkan kehidupan dan membuka hati. Tampak klise. Ya memang. Tapi kunci untuk tidak lagi terlalu berusaha sekuat tenaga melupakan bisa jadi mujarab jika, ini kata kawan saya, kita bisa dengan lapang dada menerima keadaan, yang bagi saya, bisa tercapai kalau segala urusan sudah diselesaikan. No more unfinished business. Katakan apa yang ingin terakhir kali dikatakan. Urusan pantas atau tidak, balik lagi ke nilai-nilai yang kita miliki.


Terus terang, saran saya cenderung menggampangkan. Selain kawan saya yang melankolis yang saya ceritakan di atas, saya juga pernah berhubungan dengan orang yang pendendam luar biasa. Untuk orang seperti ini, melupakan kesalahan yang telah orang lain lakukan terhadapnya bisa jadi mustahil. Masalah melupakan akhirnya bukan menjadi masalah kunci yang harus diselesaikan. Ada faktor X yang harus dibenahi dulu dalam dirinya. Oh, tunggu, kenapa lama-lama saya kayak motivator?


Satu yang pasti, bagi saya, melupakan secara total masa-masa suram adalah satu kerugian. Saya bisa belajar untuk memperbaiki diri dari masa-masa sulit itu, saya bisa bersyukur dengan keadaan saya yang lebih baik dari masa-masa itu dan mungkin, saya bisa menceritakan pengalaman bagaimana saya menghadapi masa-masa penuh kerikil itu pada orang yang sedang menghadapi masa-masa yang serupa dengan yang pernah saya alami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar