22 Juni 2011

Berdampingan Bersama Alam


Baru saja saya membaca berita bertajuk "Pawang dari Badui Tangani Hama Kera" di kompas edisi online (bisa buka di sini). Tulisan itu membuat saya berpikir tentang dua hal, soal lingkungan dan soal suku Badui.


Meskipun saya tidak yakin 100 persen apakah Badui yang akan dimintai tolong oleh Pemerintah Gunung Kidul, Yogyakarta, tersebut adalah suku Badui yang selama ini menetap di Banten, tapi pikiran saya langsung tertuju ke sebuah suku yang lebih suka disebut urang Kanekes itu. Sampai sekarang, keinginan saya untuk pergi ke sana belum terpenuhi juga. Saya masih ingat, saat saya duduk di kelas 1 SMA, kakak-kakak kelas saya yang di jurusan IPS melakukan study tour ke Badui. Beberapa minggu kemudian, sekolah kami digegerkan oleh kedatangan seseorang berikat kepala namun tanpa alas kaki: seorang Badui!


Sontak ia menjadi pusat perhatian satu sekolah. Selain penampilan sederhananya yang cukup unik di mata kami-kami para remaja yang sedang gandrung dengan trend saat itu, kami juga penasaran dengan bagaimana caranya dia bisa sampai ke sekolah kami dengan berjalan kaki. Menurut pengakuannya, ia hanya mengikuti jalur kereta api ke arah timur dan karena kota tempat saya tinggal tidak dilalui kereta, kemudian ia berjalan sambil tidak henti-hentinya bertanya pada orang-orang yang ia temui.


Kami memperhatikan ketika ia membuka bekalnya, nasi ikan pindang yang dibungkus daun jati. Saat itu saya menganggapnya aneh, kuno dan ya... sedikit jorok. Begitulah saya dulu memandang orang-orang Badui secara umum. Perubahan pada cara berpikir saya sekarang telah membuat saya berpandangan hampir 180 derajat terhadap mereka.


Saya bertemu beberapa orang asing yang mengagumi budaya-budaya lokal di Indonesia. Ironis memang, saya harus disadarkan oleh orang berada jauh dari budaya-budaya itu. Saya mulai juga mengagumi kearifan-kearifan lokal yang ada dalam tradisi di beberapa suku di Indonesia. Mungkin juga, modernitas telah membuat saya sedikit jemu. Modernitas telah mengikis tidak hanya keindahan alam, namun juga nilai-nilai humanis. Kita kehilangan sisi manusiawi dan tercerabut dari akar kita: alam.


Suku Badui memiliki sistem kepercayan yang dikenal dengan nama Sunda Wiwitan, sunda asli, walaupun nama ini tentu perlu dikonfirmasi apakah diberikan oleh orang luar atau muncul dari tutur mereka sendiri. Konsekuensi dari keyakinan mereka adalah pada bagaimana mereka mengelola alam sekitarnya. Alih-alih menundukkan alam agar menghasilkan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan, orang Badui justru memanfaatkan apa yang disediakan alam apa adanya. Misalnya dalam bertani atau membangun rumah, mereka tidak diperbolehkan mengubah struktur tanah. Tidak digunakannya sabun dan detergen untuk mandi dan mencuci, membuat alam tetap indah dan hijau. Kerinduan banyak manusia yang menghuni gedung-gedung dan dipengapi asap kendaraan setiap harinya.


Wajar jika kemudian mereka dianggap oleh Pemerintah Gunung Kidul mampu menangani kera yang dianggap hama karena mengganggu lahan pertanian penduduk. Suku Badui dididik untuk memiliki sense pada alam (karena saya percaya kalau rasa itu juga dikonstruksi oleh sosial). Mereka paham bagaimana berinteraksi dengan alam, bagaimana berkomunikasi dengan makhluk hidup lainnya. Bagi anda yang meyakini bahwa ada banyak macam kecerdasan manusia, mungkin ini yang disebut Howard Gardner sebagai Naturalist Intelligence, satu dari delapan konsep kecerdasan yang ia teorikan.


Saya justru ingin bertanya pada Pemerintah Gunung Kidul, apakah mereka bisa menganalisa kenapa sampai kera-kera berekor panjang itu menjarah lahan pertanian penduduk? Di berita itu dikatakan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan setempat mengakui habitat kera telah rusak. Lantas, apakah solusi yang sudah dilakukan bisa menjawab akar masalah itu?


Saya membayangkan saya sebagai kera-kera itu. Hutan tempat saya tinggal semakin sempit karena dijadikan pemukiman dan lahan pertanian oleh manusia. Bukan tidak mungkin juga beberapa manusia datang ke hutan untuk mengambil kekayaannya, yang sebetulnya adalah 'jatah' saya sebagai kera. Sebagai kera, saya tidak mau suudzon kalau ada manusia usil yang suka mengganggu kawanan saya, mungkin menangkapi, dijadikan hewan buruan atau apapun, yang menjadikan saya dan kawan-kawan semakin berang dengan makhluk bernama manusia.


Saya bersyukur karena Pemerintah Gunung Kidul masih punya rasa untuk tidak menembaki kera-kera itu karena kasihan dan khawatir kalau serangan kera-kera itu akan menjadi-jadi. Namun memanggil orang Badui untuk menjadi 'pawang' kera-kera itu mungkin hanya akan jadi solusi sementara saja jika akar masalahnya tidak coba dipahami secara serius. Tidak sebagai pawang, orang-orang Badui mungkin bisa dijadikan sebagai guru yang akan mengajari kita bagaimana agar bisa hidup berdampingan dengan alam. Sudah saatnya kita tidak lagi angkuh merasa diri sebagai makhluk yang paling dari semua makhluk, lantas menjadikan itu sebagai pembenaran untuk berbuat semaunya pada makhluk lain. Pun, sudah tidak sepantasnya mengaku beradab jika kita memicingkan mata pada orang-orang yang justru dari mereka kita bisa belajar tentang kehidupan.


Bacaan tentang Suku Badui (atau Baduy):

Tidak ada komentar:

Posting Komentar