Ramai diperbincangkan berita terkait hukuman mati yang akan
diberikan kepada dua terpidana duo Bali Nine yang warga negara Australia. Tony
Abbott, Perdana Menteri Australia, meminta Pemerintah Indonesia membatalkan
hukuman tersebut. Wajar tentu saja bagi suatu pemerintah memberikan
perlindungan maksimal bagi warganya. Sayangnya, Abbott menyinggung bantuan yang
pernah diberikan pemerintahnya saat tsunami menerjang beberapa daerah di
Indonesia pada 2004 silam. Seolah Abbott ingin mengingatkan, ‘Berterima kasihlah
sedikit…”
Ini jelas memicu reaksi kemarahan dari warga Indonesia. Beberapa
lantas membuat gerakan pengumpulan koin yang
kemudian akan diserahkan kepada kedutaan Australia untuk mengembalikan bantuan
yang pernah diberikan. Saya pribadi juga tersinggung dengan pernyataan Abbott.
Tapi ini bukan berarti saya mendukung apa yang dilakukan Pemerintah Indonesia atas hukuman mati yang akan segera diberikan kepada pengedar dan bandar narkoba.
Lalu apakah ini artinya saya mendukung peredaran dan
penyalahgunaan narkoba? Tidak. Garis bawahi bahwa ketidaksetujuan saya bukan
karena kasusnya. Sekalipun itu teroris yang dijatuhi hukuman, saya tetap dengan
pendirian saya, hukuman mati bukan solusi. Hukuman mati hanya mengajarkan satu
hal, yaitu bahwa menghabisi nyawa seseorang itu diperbolehkan, dengan alasan
tertentu. Ini yang saya tidak dapat setujui. Dengan alasan apapun, tak ada yang
berhak mengambil nyawa seseorang.
Saya tidak begitu peduli bagaimana Indonesia akan dilihat
oleh dunia internasional karena masih memberlakukan hukuman mati. Saya juga tak
begitu peduli bagaimana nantinya hubungan Indonesia dengan Australia, Brazil, Belanda
atau negara lain yang warga negaranya tertangkap di Indonesia dan dijatuhi
hukuman mati. Ini bukan soal saya melihat bagaimana hak asasi manusia
ditegakkan di Indonesia. Ini murni perkara hati.
Beberapa orang yang mendukung diberikannya hukuman mati
beralibi, toh para terpidana itu juga tidak berpikir dua kali saat melakukan
kejahatan mereka. Berapa orang yang harus meregang nyawa karena overdosis narkoba? Berapa banyak anak yang kehilangan orang tua, orang tua kehilangan anak, sahabat kehilangan kawan karena penyalahgunaan narkoba? Jika penjahatnya teroris, berapa nyawa yang telah mereka habisi dari satu ledakan bom?
Saya jadi bertanya, apakah itu yang namanya keadilan? Mata dibalas dengan mata dan membuat kita lebih baik
dari mereka? Siapa kita? Jika ini soal balas dendam, kenapa hukuman untuk
pencuri sandal tidak dengan mencuri balik barang yang dimiliki si pencuri? Bukankah dari kecil pun kita diajari untuk tak mendendam?
Jika tidak dengan hukuman mati, mereka tidak akan
kapok-kapok, datang ke Indonesia mengedarkan narkoba! Begitu mungkin alibi
selanjutnya dari pendukung hukuman mati. Apakah membuat kapok harus dengan
hukuman mati? Sadari saja kalau penegakkan hukum di Indonesia itu ibarat pisau
yang tak kenal asahan berpuluh-puluh tahun. Tumpul. Karatan. Ini yang
seharusnya diperbaiki. Mengasah kembali pisaunya. Bukan dengan menggasakkan pisau tumpul pada leher-leher bernyawa.
Soal nyawa ini, saya jadi ingat satu kawan di jejaring sosial. Ia teman sekolah yang lama tak
berkomunikasi, tapi kembali terkoneksi berkat internet. Ia salah satu yang
postingannya saya sukai karena isinya menyejukkan, beberapa ia buat dengan
gaya berkisah. Satu cerita menarik saya comot di sini untuk mengingatkan kita
betapa berharganya nyawa makhluk hidup:
Aku diam. Tiba-tiba kurasakan
geli di lengan kiriku. Saat kulihat ada semut hitam tengah berjalan di sana,
refleks kubeberkan telapak tangan kanan. Hendak kutepuk semut itu.
“Hei! Hati-hati, Nak!
Tepukanmu bisa membunuhnya!” teriak ibu.
Aku menengok ke arah Ibu.
Telapak tanganku tertahan di udara.
“Tak usah ditepuk. Pegang saja
pelan-pelan, lalu pindahkan. Kecil-kecil gitu bernyawa lo..! Emang kamu bisa
bikin nyawa?”**
*Judul dan Gambar diambil dari
http://nobodycorp.org/portfolio/anti-hukuman-mati/#jp-carousel-1737
**Thanks, Kang Idim!