Kemarin sore saya bertemu seorang mahasiswa S2 yang akan bikin workshop untuk guru-guru SMP dan meminta bantuan saya untuk menjadi salah satu fasilitator di workshop tersebut. Ada satu materi yang akan diberikan dalam workshop, tentang ruang personal, yang mengingatkan saya pada status seorang kawan di Facebook yang saya tengok pagi harinya. Saya lupa pasti kata-katanya (malas juga mau nyari-nyari lagi), tapi intinya tentang password semua akun yang bagi beberapa pasangan penting buat saling mengetahui. Saya komentari singkat,
"Fenomena yang menarik"
Fenomena karena terjadi belakangan ini saja, bukan? Ya tentu saja, saat ibu dan ayah saya pacaran dulu, tidak mungkin mereka tuker-tukeran password facebook, twitter, skype dan sebagainya. Oh... sederhananya hidup...
Menarik buat saya karena mengetahui password pasangan bukan sesuatu yang gue banget. Mungkin ada yang tujuannya hanya untuk fun. Okelah kalau yang itu. Tapi kalau tujuannya untuk memata-matai pasangan? Walah... mau berpasangan atau main intel-intelan? Bukannya dasar sebuah hubungan adalah saling percaya? Kalau sudah tidak ada kepercayaan lagi, kenapa juga hubungannya mesti dilanjutkan sih? Lagipula, dan ini diakui kawan lain yang dalam hubungan sebelumnya berbagi password dengan pasangannya (untunglah mereka sudah putus), kalau memang mau niat nakal, selingkuh dan sebagainya, cuma orang yang otaknya dari dodol yang mengekspresikannya lewat jejaring sosial mereka. Itu pendapat saya. Kenapa soal ruang personal mengingatkan saya pada fenomena berbagi password ini adalah karena ada beragam tipe orang dalam menjalin hubungan. Berbedanya 'zona nyaman individu' setiap manusia bisa jadi punya sumbangan untuk menentukan mau memberikan password kita ke pasangan, 'memaksa' pasangan memberikan passwordnya kepada kita, atau sebodo amat pasangan kita mau jungkir balik di akun mereka.
Dalam psikologi, ruang personal diperkenalkan pertama kali oleh Edward T. Hall (1966), meskipun pemakaian istilah tersebut digunakan juga dalam bidang lain seperti arsitektur. Ruang personal adalah ruang ilusi soal privasi dan kenyamanan, satu di antara konsep-konsep ruang lain dalam konteks hubungan interpersonal manusia. Ruang lain adalah ruang intim, ruang sosial dan ruang publik. Secara teori, ruang-ruang itu meskipun tak kasat mata, ada ukurannya masing-masing yang berbeda untuk setiap individu yang dipengaruhi oleh banyak faktor dan bisa jadi berubah pada kondisi tertentu atau pada orang-orang tertentu. Saya misalnya, saya bukan orang yang cukup nyaman ketika harus melakukan kontak fisik dengan orang lain, kecuali orang tersebut sudah saya anggap sangat dekat. Berbeda dengan kawan saya yang jalan-jalan di mall dengan teman saja bisa sambil pegang tangan.
Kalau teori tentang ruang personal tersebut berbicara tentang ukuran fisik soal kenyamanan, perkara berbagi password itu adalah hal yang ukurannya tidak lagi dalam inchi atau sentimeter. Lebih ilusioner, mungkin. Atau lebih tepat itu adalah perkara privasi? Keduanya bicara soal zona nyaman individu. Di ruang intim, kita bisa dengan leluasa membuka privasi kita, menceritakan kisah yang terlalu memalukan untuk diberitahukan pada orang lain, bahkan sampai (mungkin) tidak segan menunjukkan isi celana dalam kita. Beberapa dari kita tidak memberikan password akun-akunnya kepada pasangan bukan soal privasi ini. Toh, justru ada banyak hal yang tidak dibagi dalam akun-akun kita yang malah kita ceritakan dengan pada pasangan.
Lagi, itu soal kenyamanan. Kalau memang keduanya sepakat dan sama-sama nyaman dengan berbagi password, ya silakan saja. Kadarnya juga mungkin berbeda ya. Ada yang boleh cuma nengok saja, ada yang bisa sampai upload foto dan berbalas komentar dengan temannya pasangan. Demikian juga dengan ruang personal. Agak gegabah rasanya kalau kita menganggap semua teman kita punya ruang personal yang sama. Atau parahnya, punya ruang personal yang sama dengan kita. Terus terang, sangat menganggu bagi saya kalau saat ruang personal saya melebar untuk satu orang karena suatu alasan, eh orang itu ruang personalnya cuma selebar kuku jempol kaki. Haduh! Kita bisa saja kok mengidentifikasi mana teman-teman kita yang ruang personalnya lebar dan mana yang sempit. Bahasa tubuh adalah hal yang bisa jadikan salah satu indikasi. Misalnya seperti saya tadi, saya yang tidak suka gelendotan atau pegang-pegang tangan teman, bisa jadi sinyal kalau ruang personal dan ruang intim saya tidak selebar daun kelor. Tapi tenang, kawan, ruang tersebut ibarat karet gelang, semakin sering direndam minyak tanah, semakin lentur. Dan tulisan saya semakin ngawur. Selamat malam.
baca selengkapnya
"Fenomena yang menarik"
Fenomena karena terjadi belakangan ini saja, bukan? Ya tentu saja, saat ibu dan ayah saya pacaran dulu, tidak mungkin mereka tuker-tukeran password facebook, twitter, skype dan sebagainya. Oh... sederhananya hidup...
Menarik buat saya karena mengetahui password pasangan bukan sesuatu yang gue banget. Mungkin ada yang tujuannya hanya untuk fun. Okelah kalau yang itu. Tapi kalau tujuannya untuk memata-matai pasangan? Walah... mau berpasangan atau main intel-intelan? Bukannya dasar sebuah hubungan adalah saling percaya? Kalau sudah tidak ada kepercayaan lagi, kenapa juga hubungannya mesti dilanjutkan sih? Lagipula, dan ini diakui kawan lain yang dalam hubungan sebelumnya berbagi password dengan pasangannya (untunglah mereka sudah putus), kalau memang mau niat nakal, selingkuh dan sebagainya, cuma orang yang otaknya dari dodol yang mengekspresikannya lewat jejaring sosial mereka. Itu pendapat saya. Kenapa soal ruang personal mengingatkan saya pada fenomena berbagi password ini adalah karena ada beragam tipe orang dalam menjalin hubungan. Berbedanya 'zona nyaman individu' setiap manusia bisa jadi punya sumbangan untuk menentukan mau memberikan password kita ke pasangan, 'memaksa' pasangan memberikan passwordnya kepada kita, atau sebodo amat pasangan kita mau jungkir balik di akun mereka.
Dalam psikologi, ruang personal diperkenalkan pertama kali oleh Edward T. Hall (1966), meskipun pemakaian istilah tersebut digunakan juga dalam bidang lain seperti arsitektur. Ruang personal adalah ruang ilusi soal privasi dan kenyamanan, satu di antara konsep-konsep ruang lain dalam konteks hubungan interpersonal manusia. Ruang lain adalah ruang intim, ruang sosial dan ruang publik. Secara teori, ruang-ruang itu meskipun tak kasat mata, ada ukurannya masing-masing yang berbeda untuk setiap individu yang dipengaruhi oleh banyak faktor dan bisa jadi berubah pada kondisi tertentu atau pada orang-orang tertentu. Saya misalnya, saya bukan orang yang cukup nyaman ketika harus melakukan kontak fisik dengan orang lain, kecuali orang tersebut sudah saya anggap sangat dekat. Berbeda dengan kawan saya yang jalan-jalan di mall dengan teman saja bisa sambil pegang tangan.
Kalau teori tentang ruang personal tersebut berbicara tentang ukuran fisik soal kenyamanan, perkara berbagi password itu adalah hal yang ukurannya tidak lagi dalam inchi atau sentimeter. Lebih ilusioner, mungkin. Atau lebih tepat itu adalah perkara privasi? Keduanya bicara soal zona nyaman individu. Di ruang intim, kita bisa dengan leluasa membuka privasi kita, menceritakan kisah yang terlalu memalukan untuk diberitahukan pada orang lain, bahkan sampai (mungkin) tidak segan menunjukkan isi celana dalam kita. Beberapa dari kita tidak memberikan password akun-akunnya kepada pasangan bukan soal privasi ini. Toh, justru ada banyak hal yang tidak dibagi dalam akun-akun kita yang malah kita ceritakan dengan pada pasangan.
Lagi, itu soal kenyamanan. Kalau memang keduanya sepakat dan sama-sama nyaman dengan berbagi password, ya silakan saja. Kadarnya juga mungkin berbeda ya. Ada yang boleh cuma nengok saja, ada yang bisa sampai upload foto dan berbalas komentar dengan temannya pasangan. Demikian juga dengan ruang personal. Agak gegabah rasanya kalau kita menganggap semua teman kita punya ruang personal yang sama. Atau parahnya, punya ruang personal yang sama dengan kita. Terus terang, sangat menganggu bagi saya kalau saat ruang personal saya melebar untuk satu orang karena suatu alasan, eh orang itu ruang personalnya cuma selebar kuku jempol kaki. Haduh! Kita bisa saja kok mengidentifikasi mana teman-teman kita yang ruang personalnya lebar dan mana yang sempit. Bahasa tubuh adalah hal yang bisa jadikan salah satu indikasi. Misalnya seperti saya tadi, saya yang tidak suka gelendotan atau pegang-pegang tangan teman, bisa jadi sinyal kalau ruang personal dan ruang intim saya tidak selebar daun kelor. Tapi tenang, kawan, ruang tersebut ibarat karet gelang, semakin sering direndam minyak tanah, semakin lentur. Dan tulisan saya semakin ngawur. Selamat malam.