Hari ini saya diajak seorang kawan ke Ragunan. Ya, Ragunan yang kebun binatang itu. Saya langsung mengiyakan tawaran teman saya itu karena saya belum pernah mengunjungi kebun binatang yang terletak di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, tersebut. Dan terakhir saya ke mengunjungi kebun binatang adalah saat saya SMP, study tour ke Yogyakarta, dan mampir ke Gembira Loka. Plus, saya juga penasaran dengan Pusat Primata Schmutzer yang dimiliki kebun binatang ini.
Awalnya saya pikir tidak akan banyak orang yang datang ke sana. Saya pikir, kebanyakan orang Jakarta pada hari Minggu memilih untuk tinggal di rumah atau pergi ke pusat perbelanjaan yang lebih mudah dijangkau dari rumah mereka. Rupanya dugaan saya salah besar. Sampai-sampai saya berkomentar pada kawan saya:
"Ini sih bukan kebun binatang. Ini kebun orang!" saking banyaknya pengunjung! Segera saya sadar saat membeli tiket masuk yang harganya Rp. 4.000,- per orang, pastinya banyak warga Jakarta yang memanfaatkan wisata murah meriah, apalagi lingkungan tempat wisata tersebut hijau dan sejuk. Cocok untuk menghilangkan kepenatan setelah lima hari beraktivitas, sekalian mengajak keluarga mengenal lebih dekat dunia fauna.
Setelah berkeliling di Pusat Primata melalui gua buatan yang sangat panjang, saya dan kawan saya berkeliling melihat koleksi binatang yang dilindungi oleh kebun binatang tersebut. Ketika kami tiba di area harimau, kami melihat beberapa Harimau Sumatra yang ditempatkan dalam kandang yang terpisah-pisah. Segera saya mengagumi loreng-lorengnya yang cantik sekaligus menunjukkan kekuatan. Ironis sekali dengan nasibnya yang sekarang dikategorikan sebagai hewan yang terancam punah. Seekor harimau tampak berkeliling-keliling di kandangnya yang, menurut saya, sempit jika dibandingkan dengan hutan sebagai habitat aslinya. Sesekali ia menggulingkan badannya di atas rumput dan bermain dengan pelepah pisang kering. Di kandang lain, seekor harimau sedang asyik berendam di sungai buatan. Ada rasa kasihan saya rasakan. Juga sedikit mengernyitkan dahi, sama seperti saat saya melihat sebuah poster orang utan dengan tulisan: "Ragunan Rumah Kami." Benarkah?
Kebun binatang memang konsep yang masih menjadi pertanyaan yang berputar-putar dalam kepala saya. Sebetulnya saya cenderung tidak sepakat dengan konsep pengandangan binatang. Tempat hidup mereka jelas bukan di dalam kandang. Itu pula yang membuat saya saat dulu memelihara kucing, tidak pernah menaruhnya di dalam kandang, tapi melepasnya begitu saja, membiarkan dia bebas berkeliaran di dalam rumah, bahkan ke rumah tetangga juga hehe... Bagi saya, mencintainya bukan dengan mengagumi bulu-bulunya, memberinya makan dan melihat tingkah lucunya saja, tapi juga memberikannya kebebasan.
Kondisinya tentu berbeda dengan beberapa hewan yang ada di kebun binatang. Habitat mereka sudah sedemikian rupa berubah sehingga alih-alih memberikan penghidupan, tapi justru mengancam keberadaan mereka. Harimau Sumatera ini misalnya. Hewan dengan nama latin Panthera Tigris Sumatrae ini, semakin terdesak oleh manusia, entah itu karena alasan perluasan lahan bangunan dan perkebunan di Sumatera, ataupun kelakuan oknum yang mengincar bulu cantiknya. Di alam liar, jumlahnya diperkirakan tinggal 400-an ekor saja. Masih lebih baik nasibnya dibandingkan saudara mereka, Harimau Bali dan Harimau Jawa yang sudah dinyatakn punah pada tahun 40-an dan 80-an. Harimau Sumatera yang tersisa tersebut kebanyakan tinggal di hutan-hutan lindung. Sayangnya, kadang perlindungan diterobos juga, lagi-lagi oleh oknum yang mengincar hewan ini.
Kebun binatang atau taman margasatwa mungkin bisa menjadi salah satu alternatif usaha untuk menyelamatkan keberadaan mereka. Itu terjadi juga di Ragunan. Setiap tahunnya, ada bayi harimau yang menjadi penghuni baru kebun binatang ini atau yang dilahirkan di tempat lain dari induk penghuni Ragunan. Untuk alasan ini, saya setuju dengan keberadaan kebun binatang dan taman margasatwa asalkan persiapan bagi bayi-bayi ini untuk masuk ke habitat mereka perlu direncanakan dengan matang, termasuk bagaimana membuat kondisi yang lebih kondusif bagi mereka, tak ada lagi ketakutan akan menjadi mangsa para pemburu liar. Boleh saya ibaratkan kalau kebun binatang hanya berfungsi sebagai shelter, bukan akan menjadi tempat tinggal mereka selamanya. Alasan demi melindungi mereka namun tanpa menyelesaikan akar permasalahan (pembalakan dan perburuan liar, pembangunan yang tanpa perencanaan matang dengan menghiraukan alam), hanya akan menjadi alasan belaka untuk mengecilkan keberadaan mereka dengan menempatkannya dalam etalase-etalase jeruji, menjadikannya sebagai tontonan saja. Hal seperti ini juga penting untuk diinformasikan kepada pengunjung kebun binatang dan taman margasatwa, bagaimana agar tidak hanya menonton saja keelokan rupa dan corak hewan-hewan yang ada, namun apa yang bisa mereka lakukan untuk membantu menyelamatkan eksistensi mereka.
Satu hal yang saya sesalkan dari Ragunan adalah perilaku pengunjung yang membuang sampah sembarangan di lingkungan kebun binatang. Saya lihat memang jumlah tempat sampah tidak terlalu banyak untuk area seluas 140 hektar tersebut. Selain itu, kurangnya pengawasan dan aturan juga agaknya menjadikan pengunjung merasa bebas saja membuang sampah dimana pun. Ah, masih banyak yang harus kita lakukan untuk menyadarkan diri kita bahwa kita membutuhkan alam ini.
baca selengkapnya
Awalnya saya pikir tidak akan banyak orang yang datang ke sana. Saya pikir, kebanyakan orang Jakarta pada hari Minggu memilih untuk tinggal di rumah atau pergi ke pusat perbelanjaan yang lebih mudah dijangkau dari rumah mereka. Rupanya dugaan saya salah besar. Sampai-sampai saya berkomentar pada kawan saya:
"Ini sih bukan kebun binatang. Ini kebun orang!" saking banyaknya pengunjung! Segera saya sadar saat membeli tiket masuk yang harganya Rp. 4.000,- per orang, pastinya banyak warga Jakarta yang memanfaatkan wisata murah meriah, apalagi lingkungan tempat wisata tersebut hijau dan sejuk. Cocok untuk menghilangkan kepenatan setelah lima hari beraktivitas, sekalian mengajak keluarga mengenal lebih dekat dunia fauna.
Setelah berkeliling di Pusat Primata melalui gua buatan yang sangat panjang, saya dan kawan saya berkeliling melihat koleksi binatang yang dilindungi oleh kebun binatang tersebut. Ketika kami tiba di area harimau, kami melihat beberapa Harimau Sumatra yang ditempatkan dalam kandang yang terpisah-pisah. Segera saya mengagumi loreng-lorengnya yang cantik sekaligus menunjukkan kekuatan. Ironis sekali dengan nasibnya yang sekarang dikategorikan sebagai hewan yang terancam punah. Seekor harimau tampak berkeliling-keliling di kandangnya yang, menurut saya, sempit jika dibandingkan dengan hutan sebagai habitat aslinya. Sesekali ia menggulingkan badannya di atas rumput dan bermain dengan pelepah pisang kering. Di kandang lain, seekor harimau sedang asyik berendam di sungai buatan. Ada rasa kasihan saya rasakan. Juga sedikit mengernyitkan dahi, sama seperti saat saya melihat sebuah poster orang utan dengan tulisan: "Ragunan Rumah Kami." Benarkah?
Kebun binatang memang konsep yang masih menjadi pertanyaan yang berputar-putar dalam kepala saya. Sebetulnya saya cenderung tidak sepakat dengan konsep pengandangan binatang. Tempat hidup mereka jelas bukan di dalam kandang. Itu pula yang membuat saya saat dulu memelihara kucing, tidak pernah menaruhnya di dalam kandang, tapi melepasnya begitu saja, membiarkan dia bebas berkeliaran di dalam rumah, bahkan ke rumah tetangga juga hehe... Bagi saya, mencintainya bukan dengan mengagumi bulu-bulunya, memberinya makan dan melihat tingkah lucunya saja, tapi juga memberikannya kebebasan.
Kondisinya tentu berbeda dengan beberapa hewan yang ada di kebun binatang. Habitat mereka sudah sedemikian rupa berubah sehingga alih-alih memberikan penghidupan, tapi justru mengancam keberadaan mereka. Harimau Sumatera ini misalnya. Hewan dengan nama latin Panthera Tigris Sumatrae ini, semakin terdesak oleh manusia, entah itu karena alasan perluasan lahan bangunan dan perkebunan di Sumatera, ataupun kelakuan oknum yang mengincar bulu cantiknya. Di alam liar, jumlahnya diperkirakan tinggal 400-an ekor saja. Masih lebih baik nasibnya dibandingkan saudara mereka, Harimau Bali dan Harimau Jawa yang sudah dinyatakn punah pada tahun 40-an dan 80-an. Harimau Sumatera yang tersisa tersebut kebanyakan tinggal di hutan-hutan lindung. Sayangnya, kadang perlindungan diterobos juga, lagi-lagi oleh oknum yang mengincar hewan ini.
Kebun binatang atau taman margasatwa mungkin bisa menjadi salah satu alternatif usaha untuk menyelamatkan keberadaan mereka. Itu terjadi juga di Ragunan. Setiap tahunnya, ada bayi harimau yang menjadi penghuni baru kebun binatang ini atau yang dilahirkan di tempat lain dari induk penghuni Ragunan. Untuk alasan ini, saya setuju dengan keberadaan kebun binatang dan taman margasatwa asalkan persiapan bagi bayi-bayi ini untuk masuk ke habitat mereka perlu direncanakan dengan matang, termasuk bagaimana membuat kondisi yang lebih kondusif bagi mereka, tak ada lagi ketakutan akan menjadi mangsa para pemburu liar. Boleh saya ibaratkan kalau kebun binatang hanya berfungsi sebagai shelter, bukan akan menjadi tempat tinggal mereka selamanya. Alasan demi melindungi mereka namun tanpa menyelesaikan akar permasalahan (pembalakan dan perburuan liar, pembangunan yang tanpa perencanaan matang dengan menghiraukan alam), hanya akan menjadi alasan belaka untuk mengecilkan keberadaan mereka dengan menempatkannya dalam etalase-etalase jeruji, menjadikannya sebagai tontonan saja. Hal seperti ini juga penting untuk diinformasikan kepada pengunjung kebun binatang dan taman margasatwa, bagaimana agar tidak hanya menonton saja keelokan rupa dan corak hewan-hewan yang ada, namun apa yang bisa mereka lakukan untuk membantu menyelamatkan eksistensi mereka.
Satu hal yang saya sesalkan dari Ragunan adalah perilaku pengunjung yang membuang sampah sembarangan di lingkungan kebun binatang. Saya lihat memang jumlah tempat sampah tidak terlalu banyak untuk area seluas 140 hektar tersebut. Selain itu, kurangnya pengawasan dan aturan juga agaknya menjadikan pengunjung merasa bebas saja membuang sampah dimana pun. Ah, masih banyak yang harus kita lakukan untuk menyadarkan diri kita bahwa kita membutuhkan alam ini.