Alkisah, saya menulis status di facebook saya:
seseorang yang sangat percaya pada ayat-ayat agama berkata kepada saya sore ini, "orang percaya begitu saja kalau bumi ini bulat, bagaimana kalau ternyata tidak?" #saya bingung
Seperti biasa, karena kawan-kawan saya yang rada serius agak langka, komentar yang bermunculan pun nyeleneh-nyeleneh (malah ada yang nggak nyambung), tapi ada juga yang serius karena teringat pada abad pertengahan saat para ilmuwan mengeluarkan wacana bumi itu bulat dan langsung disikat kaum gereja.
Gagal sudah saya mendapatkan jawaban (jelas saya katakan di status tersebut kalau saya sedang bingung), maka dengan ajian pamungkas saya kunci status itu dengan comment:
beberapa orang tidak percaya pada sesuatu yang buktinya jelas-jelas ada di depan mata, tapi lebih percaya pada sesuatu yang tak pernah dapat dibuktikan
(kali ini dengan embel-embel: #nglindur)
Kebingungan saya sebetulnya bukan pada orang yang berkata kepada saya di sore itu. Kebingungan saya adalah pada cara berpikir manusia. Orang bisa sangat percaya pada satu hal tapi bisa sangat tidak percaya pada hal lain, meskipun kedua-duanya tak ada bukti sama sekali. Karena saya masih menganggap diri saya ini manusia, saya contohkan saja saya sendiri.
Saya percaya kalau bumi itu bulat. Meskipun saya belum pernah pergi ke luar angkasa dan menyaksikan dengan kepala saya sendiri bagaimana bentuk bulatnya, tapi saya belajar dari sekolah, dari tivi, dari 'katanya' orang-orang. Semua sepakat kalau bumi itu bulat, kalau saya menentang, nasib saya bisa berujung di rumah sakit jiwa. Jadi, saya tidak akan percaya kalau ada orang tiba-tiba berteori kalau bumi ini berbentuk kerucut.
Saya tidak percaya kalau saya bukan anak kandung dua orang yang saya anggap ayah dan ibu saya sekarang. Meskipun saya tidak menyaksikan dengan kepala saya sendiri saat ayah saya memberikan sel spermanya pada ibu, pun tidak melihat ketika ibu saya berjuang mati-matian mengeluarkan badan saya dari rahimnya. Wajah saya dibilang identik dengan ibu tidak, dengan bapakpun tidak. Ukuran badan saya saja tidak seperti mereka. Tapi sampai detik ini tidak ada pasangan istri suami yang tiba-tiba datang membawa bukti-bukti kalau saya ini anak kandung mereka. Jadi saya percaya saja kalau orangtua kandung saya ya yang sekarang ini.
Soal percaya atau tidak itu agaknya tidak ada sangkut pautnya dengan logika. Tidak satu tambah satu sama dengan dua. Mungkin ya masih ada kaitannya, tapi faktor X lain sepertinya jauh lebih berperan. Awalnya saya pikir faktor X itu adalah rasa, dalam arti sense. Sang rasa itu yang kemudian justru mencari logika sebagai alibi untuk memperkuat apa yang ingin kita percaya. Rumit? Saya juga bingung. Begini, saat saya percaya bumi itu bulat, saya cari logika kalau bumi ini datar, entah sudah berapa kapal yang jatuh di lembah hitam, nyatanya mereka bisa kembali ke tempat asalnya. Saat saya meragukan siapa orangtua kandung saya, saya coba cari kemiripan sekecil apapun dengan orangtua saya sekarang. Ah, ternyata bentuk kuku jari saya mirip kuku jari ibu.
Bicara soal percaya atau tidak percaya, ujung-ujungnya bicara soal keyakinan, soal agama. Saya tidak percaya dengan konsep surga dan neraka yang dikisahkan kitab-kitab suci. Bukan karena tidak ada bukti atau saksi (agak seram juga kalau saya mesti bikin investigasi di kuburan), tapi karena ada hal lain, faktor X tadi, yang meyakinkan saya kalau mungkin konsep surga dan neraka yang dulu coba ayah saya tawarkan ada benarnya. Saya bilang mungkin karena saya juga tidak percaya begitu saja. Saya sedang berada di antaranya, percaya atau tidak. Meragukan, itu bahasa yang tepat.
Meragukan sesuatu, bagi saya bukan hal yang terlarang. Namun saya tersindir sendiri soal ragu dan meragukan ini. Saya bisa jadi sangat meragukan ketika ada orang datang dengan jurus-jurus dalil, namun mudah percaya pada apa yang saya baca dan sesuai dengan konteks kekinian. Saya sedang tebang pilih? Faktor 'rasa' itu tadi yang membuat saya melakukan tebang pilih. Saya saring hanya yang bisa menguatkan kepercayaan saya saja. Mau berbuih-buih seorang motivator bicara di depan saya, tapi kalau saya tahu nilai yang dia miliki berbeda dengan saya, motivasi yang dia berikan hanya akan jadi olok-olok saya. Bahasa facebooknya, saya akan 'like' status yang sesuai dengan saya, kalau perlu ikutan comment, tapi saya akan melewati begitu saja rombongan status yang memenuhi homepage karena menurut saya, itu bukan bagian dari saya.
Adanya saat meragukan menjadikan percaya atau tidak percaya sebagai sesuatu yang bukan hitam atau putih. Saya orang yang percaya kalau ada banyak tone abu-abu antara hitam dan putih. Sayangnya, kebanyakan orang menganggap meragukan dan mempertanyakan sesuatu yang sakral itu haram hukumnya. Bagi saya justru itu awal yang baik. Saat kita mulai meragukan sesuatu, kita akan mencari-cari, dan kecenderungannya mencari hal-hal yang mendukung apa yang sebelumnya kita percaya. Kita tidak akan terjebak pada apa yang ada di depan mata saja. Bukankah hidup itu melulu soal berproses? Kalau ternyata hasil pencarian kita berujung pada bukti-bukti yang justru menyangkal kepercayaan kita, bagaimana? Mungkin akan semakin kuat kepercayaan itu dan menganggap bukti-bukti yang ada itu palsu. Mungkin akan berpaling seratus delapan puluh derajat dari kepercayaan sebelumnya. Atau mungkin, memilih untuk percaya atau tidak percaya atau antara percaya dan tidak percaya.
#saya makin bingung