17 Maret 2011

Solusi Semacet Jalanannya


Alamak, postingan terakhir saya tertanggal 2 Januari 2011. Tidak heran sebetulnya karena sebulan kemarin saya disibukkan oleh proses rekruitmen (merekrut dan direkrut, walaah.. apapula ini?), sampai akhirnya saya diterima di kantor baru di Jakarta. Ya, sejak awal bulan ini saya resmi berkontribusi menambah padat jumlah volume manusia di ibukota. Karena ini adalah tulisan perdana saya setelah saya meninggalkan kota gudeg tercinta -yang saya ingin sekali suatu saat bisa kembali tinggal di sana- maka saya ingin sekali menuangkan uneg-uneg saya soal carut marut ibukota.


Sebelumnya saya beberapa kali ke Jakarta, tapi tak pernah lama dan tak pernah ingin tinggal lama atau sekedar berkeliling. Kota yang angkuh, rumit dan pengap, itu yang ada dalam benak saya. Tinggal di sini adalah pilihan kesekian hanya jika para astronom sudah menyerah tak bisa menemukan planet lain untuk tempat hidup alternatif bangsa manusia. Tapi ya, pilihan juga yang akhirnya membuat saya hijrah, mencoba keluar dari zona nyaman dan berharap akan mendapatkan yang lebih baik (Uh.. oh.. bukankah itu mimpi setiap orang yang mengadu nasib ke ibukota?)


Saya sampai di Jakarta di hari terakhir bulan Februari. Sore hari. Bagus sekali karena tepat saat jam macet. Beruntunglah si sopir taksi yang mengantar saya cukup ramah dan berbincanglah kami soal kemacetan di Jakarta.
"Untung, Mas, demonya udah rampung. Tadi macet banget, belum lagi ada kebakaran di Wisma Antara," katanya.


Saya cuma manggut-manggut. Wisma Antara itu dimana, saya tak paham. Singkat cerita, sampailah saya di kos baru. Letaknya tak terlalu jauh dari kantor saya, kira-kira hanya 10 menit naik bis, dengan catatan: tidak macet! Sejak awal, saya memang tidak ingin berkendara pribadi di Jakarta. Syukur kalau dapat kos yang dengan jalan kaki saja saya bisa mencapai kantor. Alasan saya pada orang yang terheran-heran kenapa saya mengirim balik motor ayah saya adalah saya takut dengan jalanan di Jakarta hehe... Rumit kalau saya harus bilang saya tidak ingin menambah asap, selain dari asap rokok, di kota yang sudah sesak.


Kawan saya yang baik memberi tahu jalur bis yang bisa saya naiki. Ok, hari pertama tidak ada masalah, tidak ada macet. Saya senang karena artinya saya tidak harus buru-buru ke kantor karena cuma 10 menit itu tadi. Hari-hari berikutnya: musibah. Radio Dalam, tempat kos saya, ternyata adalah jalan yang sehari-harinya macet. Bisa 15 menit sendiri dipanggang di dalam bis! Dengan ongkos dua ribu perak, saya tidak tahu harus bersyukur atau mencaci dengan wujud bis yang lebih mirip kaleng sarden karatan, kursi yang bikin pantat pegal, plus sopir ugal-ugalan (bahkan pernah sekali saya naik bis yang sopirnya ternyata berkemampuan lebih, mengumpat setiap kendaraan di depannya).


Minggu pertama bekerja, saya harus menghadiri workshop di sebuah universitas. Untuk ke sana, saya harus dua kali naik bis. Senang rasanya karena saya tak harus naik kaleng besar lagi dari terminal, bisa naik transjakarta yang adem. Dengan riang gembira saya keluar dari bis 72 di Blok M, beli tiket trans dan... harus mengantri sekitar 10 menit untuk naik bis di dalam shelter yang juga mirip kaleng sarden: panas.


Saya berusaha untuk tidak mengeluh (Oya? Lalu paragraf-paragraf di atas apa namanya?). Saya cuma bingung dengan sistem transportasi umum di Jakarta. Apa memang masalah ini tidak jadi prioritas ya? Pada 2011 ini, pemerintah rencananya akan memberlakukan pajak progresif bagi mereka yang memiliki kendaraan lebih dari satu atas nama dan alamat yang sama.


"Masalahnya, Ling, lo tau sendiri orang sini kayak gimana ngakalin aturan. Kalo orang kaya mah gampang, beli mobil lagi atas nama suaminya, istrinya, anak-anaknya, atau mungkin siapanya gitu. Alamat juga bisa diatur lah," kata kawan saya yang jurnalis.


Sama saja! Wajar jika orang memilih untuk beli kendaraan pribadi jika melihat sistem transportasi amburadul seperti ini. Kalau punya uang, kenapa juga harus berkeringat-keringat di jalanan. Toh masih bisa beli mobil ber-AC, bahkan pasang TV juga bisa. Tak usahlah ngomongin kesadaran warga yang tidak peduli terhadap lingkungan, kalau ada sistem yang lebih baik untuk mengatasinya sebetulnya lama kelamaan perilaku orang juga bisa diubah. Terkesan memaksa memang, tapi kalau untuk kepentingan orang yang lebih banyak, kenapa tidak?


Saya teringat teman saya di Belanda yang cerita saat aturan dilarang merokok baru ditetapkan di seluruh negara bahkan sampai di cafe pun tidak boleh. Perokok 'dipaksa' untuk merokok di luar, atau smoking area yang sempit. Nyatanya, sekarang mereka akhirnya terbiasa (hehe... jujur saja, sangat menyiksa harus mematuhi aturan itu saat musim salju!). Aturan tersebut dibuat untuk melindungi kepentingan orang lain (yang tidak merokok) dari efek racun rokok.


Kembali ke soal transportasi, meskipun saya sangat tidak yakin akan ada orang pemerintah yang baca tulisan saya ini, saya ingin berkomentar saja. Syukur kalau ada yang merespon. Pembangunan jalan layang jelas bukan solusi (saya lihat ada proyek jalan layang non tol Antasari-Blok M). Alih-alih mengurangi kemacetan, tetap saja tak dapat membendung hasrat orang untuk membeli kendaraan baik karena alasan konsumerisme ataupun sudah angkat bendera putih untuk naik angkutan umum. Saran saya buat pemerintah sih, kalau memang mau serius dengan pajak progresif itu, lakukanlah dengan benar. Cuma ya angkutan umum juga pelayanan dan fasilitasnya diperbaiki.


Soal rencana dipindahkannya ibukota ke Jonggol mungkin juga bisa menjadi sedikit solusi. Jujur saja saya pesimis kalau itu bisa memperbaiki keadaan jika tidak didukung oleh hal lainnya seperti yang saya contohkan sebelumnya. Tapi ya setidaknya, berkuranglah volume kendaraan sang presiden beserta iringannya, menteri-menteri beserta iringannya, pejabat lain beserta iringannya, yang bukan hanya menambah asap dan macet, tapi juga cuma menambah jengkel (dan mungkin iri) rakyat biasa yang berpeluh berdesak-desakan menggelantung di kaleng besar beroda empat melihat para pengemban amanat warga negara enak-enakan di mobil mewah dengan fasilitas bebas macet. Setidaknya saya sebagai rakyat, merasakan hal tersebut, maaf bukan bermaksud menggeneralisir, saya cuma curhat atas nama saya sebagai seorang rakyat biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar