Lagi-lagi saya (akan) sok tau soal agama… tapi ya bagaimanapun, saya tercekat begitu membuka koran pagi ini. Ada aksi bagi-bagi 1000 jilbab di kota Yogyakarta (sayang, saya sendiri tidak sempat melihat). Aksi itu dilakukan untuk memperingati Hari Jilbab Internasional tanggal 4 September 2008. Saya baru tahu ada peringatan macam itu. Katanya, peringatan ini untuk mengenang kejadian di Perancis beberapa tahun silam.
Pada tahun 2004, pemerintah Perancis sempat mengeluarkan larangan pemakaian jilbab dan atribut agama ke sekolah. Kebijakan ini lalu ditentang oleh banyak orang di banyak negara, tidak hanya oleh kaum muslim, tapi juga para aktivis HAM.
“Lha iya kalau yang dibagiin terus mau pake jilbabnya, kalau nggak?” komentar saya pertama kali. Teman saya yang membaca koran berbeda namun dengan berita yang sama hanya tersenyum. ”Aneh-aneh aja ya...” komentarnya singkat.
Saya merasa ada salah paham dalam hal jilbab berjilbab ini. Pertama, untuk peringatan hari jilbabnya itu. Bagus memang, dilakukan untuk memperingati hak azasi manusia dalam berperilaku sesuai keyakinan masing-masing. Setahu saya, hak azasi manusia itu adalah hak yang individual. Artinya, setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan atau melakukan sesuatu. Salah satunya adalah hak untuk memeluk agama. Konsekuensinya adalah hak untuk beribadah, bertutur, dan berperilaku sesuai agamanya tersebut. Pelanggaran terhadap HAM jika ada sebuah sistem atau golongan yang tidak menghargai hak tersebut. Contohnya ya kebijakan di Perancis itu. Peringatan International Hijab Muslimah Solidarity lalu dilakukan untuk menunjukkan kepedulian terhadap kebebasan beragama serta mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran serupa di kemudian hari.
Dari situ saja sudah berbeda tujuannya. Yang satu sisi memperjuangkan bagaimana agar setiap orang dihormati atas segala perbedaan dan kebebasan yang dimiliki, kok ya di sisi lain (dalam aksi 1000 jilbab itu maksudnya) malah memperjuangkan berdirinya sebuah nilai. Malah promosi keseragaman.
Saya coba analogikan. Misalnya, pada suatu pemilihan walikota, saya tidak diperbolehkan mencalonkan diri. Setelah ditelusuri, alasannya ternyata karena saya kidal, dan ke-kidal-an tidak bisa diterima di kota saya karena dianggap tidak sopan. Setelah perjuangan mati-matian, menggalang massa, melakukan negosiasi segala macam, akhirnya saya lolos seleksi. Mungkin setelah itu akan diperingati Hari Kidal di kota saya. Nah, apakah peringatannya adalah dengan mengajak semua orang untuk bisa menulis dengan tangan kiri? Tentu tidak. Bayangan saya, bentuk peringatannya adalah dengan menekankan: hormati hak-hak orang kidal, orang kidal juga punya kesempatan sama. Saya tidak bisa memaksakan orang lain untuk jadi kidal juga. Hak setiap orang untuk kidal atau tidak kidal. Itulah hak azasi manusia.
Saya jadi teringat ketika saya mengobrol di suatu sore dengan teman-teman Youth Forum yang masih berseragam putih abu-abu. Beberapa teman perempuan mengenakan jilbab hanya di sekolah, karena memang peraturan di sekolah demikian. Ada sekolah yang mewajibkan (karena memang sekolah berbasis Islam), ada yang ’menghimbau’ dengan tekanan-tekanan tertentu dari guru. Dan itu terjadi di sekolah negeri! Sekolah yang notabene milik umum, siapapun, mau Islam, Hindu, Jawa, Sunda, kidal.
”Iya mas, kita kalau tidak pakai jilbab biasanya diceramahi guru ’udah dikasih kuping, dikasih mata, tinggal pake. Eh disuruh pake jilbab aja susah!’ Disindir-sindir gitu. Kalau yang non muslim sih emang nggak disuruh pakai jilbab.” Berbeda 180 derajat dengan kasus di Perancis. Di sana, ada siswi mendapatkan kekerasan dengan dilarang memakai jilbab ke sekolah. Sementara di kota ini, banyak siswi yang justru mendapatkan kekerasan karena tidak memakai jilbab! Jika kasus yang pertama kemudian menang atas nama hak azasi manusia, lantas bagaimana hak azasi manusia diterapkan untuk kasus siswi-siswi sekolah negeri yang ’diwajibkan’ berjilbab? Untuk kasus pertama berarti negosiasinya adalah, meskipun berjilbab, juga bisa bersekolah dengan nyaman. Nah, untuk kasus kedua, meskipun tidak berjilbab, bisakah bersekolah dengan nyaman?
Salah paham kedua soal jilbab berjilbab ini adalah penafsiran atas agama Islam yang masih bias dengan budaya Arab (entah berapa kali saya menyinggung soal ini). Kita tentu tahu bagaimana orang Arab berpakaian. Lantas itu yang banyak orang Islam tiru. Sepanjang pemahaman saya, kewajiban berhijab pada awalnya diperuntukan bagi istri-istri Nabi Muhammad. Saya kutip tulisan Siti Musdah Mulia yang memang lebih berkompeten soal urusan Islam dibanding saya:
-- Satu-satunya ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit menggunakan istilah jilbab adalah ayat 59 surah al-Ahzab: “Wahai Nabi, katakanlan kepada para isterimu dan anak-anak perempuanmu, serta para perempuan mukmin agar mereka mengulurkan jilbabnya. Sebab, yang demikian itu akan membuat mereka lebih mudah dikenali sehingga terhindar dari perlakuan tidak sopan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”
Para ulama sepakat bahwa ayat tersebut merespon tradisi perempuan Arab ketika itu yang terbiasa bersenang ria. Mereka membiarkan muka mereka terbuka seperti layaknya budak perempuan, mereka juga membuang hajat di padang pasir terbuka karena belum ada toilet. Para perempuan beriman juga ikut-ikutan seperti umumnya perempuan Arab tersebut. Kemudian mereka diganggu oleh kelompok laki-laki jahat yang mengira mereka adalah perempuan dari kalangan bawah. Mereka lalu datang kepada Nabi mengadukan hal tersebut. Lalu turunlah ayat ini menyuruh para isteri Nabi, anak perempuannya dan perempuan beriman agar memanjangkan gaun mereka menutupi sekujur tubuh.
Memakai jilbab bukanlah suatu kewajiban bagi perempuan Islam. Itu hanyalah ketentuan Al-Quran bagi para istri dan anak-anak perempuan Nabi, dan semua perempuan beriman di masa itu untuk menutup tubuh mereka atau bagian dari tubuh mereka sedemikian rupa sehingga tidak mengundang kaum munafik untuk menghina mereka. Jadi illat hukumnya adalah perlindungan terhadap perempuan. Jika perlindungan itu tidak dibutuhkan lagi karena sistem keamanan yang sudah demikian maju dan terjamin, tentu perempuan dapat memilih secara cerdas dan bebas apakah ia masih mau menggunakan jilbab atau tidak--
Beberapa kalangan, terutama dari arus feminis, menganggap jilbab adalah salah satu bentuk kontrol atas tubuh perempuan. Lagi-lagi dalangnya adalah budaya patriarki. Para patriark ketakutan jika perempuan tidak menutupi tubuhnya, banyak laki-laki yang akan tergoda. Lha... yang nafsu siapa, yang jadi korban siapa.
Saya dulu punya kucing. Nalurinya kucing ya kalau ada ikan, mesti langsung diembat. Mana dia mau mikir itu ikan buat siapa. Tiap ada ikan saya sembunyikan. Tapi kok ya dia tau saja di mana saya menyimpannya. Ditaruh di atas lemari, si kucing naik. Ditutup pakai tudung saji, si kucing bisa membuka dengan kuku-kukunya. Beruntung kalau saya sembunyikan dalam lambung, si kucing tidak mencakar-cakar perut saya. Akhirnya daripada pusing mikirin gimana memperlakukan ikan, saya lebih baik melatih si kucing. Tiap dia mendekati ikan yang bukan miliknya, saya jewer kupingnya. Begitu terus. Lama kelamaan, cukup dengan menujukkan tanda jeweran, si kucing diam tak berkutik. Oya, saya juga harus memastikan perut si kucing selalu terisi jadi dia tidak perlu repot-repot mencari cara mendapatkan makanan lewat nyolong ikan.
Saya tidak bermaksud merendahkan perempuan dengan menganalogikannya dengan ikan. Sungguh. Perempuan bukan pemuas nafsu seperti ikan, nasi, atau semacamnya. Fokus cerita saya lebih pada sang kucing. Tentu tidak ada juga laki-laki yang terima begitu saja disamakan dengan kucing. Kecuali kalau memang masih butuh jeweran untuk mengendalikan nafsu kita.