Saya sudah menerima hasil basisexamen inburgering. Hasilnya? Memuaskan donk. Yang penting sih lulus jadi nggak harus tes ulang. Maka perjuangan untuk pindah Belanda pun berlanjut. Selain formulir dari IND yang harus diisi, saya juga harus menyiapkan beberapa dokumen yang harus diterjemahkan dan dilegalisir. Dokumen pertama adalah akte lahir, yang akan saya butuhkan saat saya lapor diri di gementee di Belanda. Tapi pengalaman saya saat kuliah di sana, pihak gementee di Diemen tidak meminta akte lahir. Nyesek juga sih soalnya udah bayar translasi dan legalisir eh taunya gak dipake. Untunglah untuk legalisir dokumen yang satu ini masih bisa dipakai tanpa ada validity period, tidak seperti surat keterangan belum kawin yang legalisirnya hanya diakui jika dibuat tidak lebih dari 6 bulan.
Nah, ngomong-ngomong soal surat keterangan belum kawin, hari Senin kemarin saya ngurus dokumen ini. Karena Kartu Keluarga saya masih jadi satu dengan orang tua, maka saya harus pulang kampung. Hasil browsing di internet memberikan saya informasi kalau surat ini bisa didapatkan dengan mengajukan permintaan dulu ke RT/RW lalu diproses di Kantor Kelurahan dan dilegalisir di Kantor Urusan Agama, jika pemohon tercatat beragama Islam (untuk agama lain bisa diurus di Kantor Catatan Sipil). Dari pengalaman beberapa orang yang bisa langsung ke Kantor Kelurahan, saya juga memutuskan untuk langsung ke Kantor Kelurahan yang hanya berjarak 300 meter dari rumah. Ibu saya ikut menemani. Bener, bukan saya yang minta lho! (gak mau banget dianggap anak mami). Alasan beliau, biar urusannya cepet, yang terbukti benar.
Sampai di Kantor Kelurahan, ibu saya langsung disapa oleh beberapa pegawai, tampaknya ibu saya cukup dikenal. Lalu ditanyakan ada keperluan apa. Salah satu pegawainya mengonfirmasi bahwa surat keterangan belum kawin bisa dibuatkan di sana, tanpa harus melewati RT/RW. Dengan sigap, sang pegawai langsung mengerjakan surat tersebut, dengan sebelumnya meminta fotokopi Kartu Keluarga. Saya dan ibu saya menunggu sekitar 10 menitan. Tidak ada biaya sama sekali untuk mengurus surat ini, tapi ibu saya merasa harus memberikan amplop terima kasih kepada pegawai yang telah membantu. Mungkin kebiasaan dari jaman dulu ya.
Dari Kantor Kelurahan, kami meluncur ke Kantor Urusan Agama (lebih tepat disebut Kantor Urusan Agama Islam, nggak sih?). Di ruang depan kantor tersebut, seorang warga sedang berbincang dengan petugas perempuan, dalam Bahasa Sunda, tentu saja. Saya terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, kira-kira seperti ini:
“Jadi gimana? Gimana?” tanya sang petugas.
“Saya udah mendaftar untuk menikah bulan depan. Tapi saya mau pinjam dulu dokumennya untuk difotokopi karena tempat kerja saya minta,” terang si warga.
“Jadi udah daftar? Tapi mau fotokopi?” sang petugas sepertinya belum yakin dengan apa yang diinginkan si warga.
“Iya, surat keterangannya mau saya pinjam untuk difotokopi,” kata si warga.
Saya dan ibu saya hanya berpandang-pandangan. Walaupun saya tidak terlalu paham dengan apa yang mereka bicarakan, dan saya yakin ibu saya juga demikian, tapi sepertinya kami sama-sama merasakan kalau urusan di KUA ini akan sedikit ribet.
“Iya, Ibu ada urusannya apa?” kata sang pegawai kepada ibu saya, setelah menyuruh si warga untuk menunggu hingga ada pegawai lain yang bisa memahami maksudnya.
“Ini anak saya butuh legalisir surat,” jawab ibu saya sambal menyerahkan map yang tidak pernah lepas dari genggamannya. Sang petugas menerima map tersebut dan membaca sekilas isinya.
“Memangnya ini harus dilegalisir di sini ya, Bu?” tanya si petugas.
Lha…
Kemudian datang petugas lain, seorang laki-laki, menghampiri kami. Si petugas perempuan bertanya kepada si petugas laki-laki soal legalisir surat tersebut. Yang ditanya tampaknya juga tidak punya jawaban dan memberikan solusi agar kami menunggu sampai kepala KUA-nya datang, yang saat itu sedang ke luar kantor untuk menikahkan warga. Si petugas laki-laki lalu mengajak ibu saya berbincang, rasa-rasa pernah kenal sebelumnya. Eh ternyata iya, petugas ini saudaranya temannya bla bla... ibu saya. Dan dimulailah percakapan si A dimana sekarang, si B dimana, sampai HIJKLMN. Si petugas pamit untuk urusan lain sambil mengatakan kalau legalisir surat aja bisa cepat kok.
Kini tinggal saya dan ibu saya duduk di ruang depan mengamati petugas yang hilir mudik dan serombongan orang yang akan melakukan akad nikah di KUA. Ibu saya tiba-tiba bilang,
“Tenang aja, mama tau kok kepalanya ini. Dia itu saudaranya saudara mama dari bla… bla… bla…” Yang sekarang saya tidak bisa ingat lagi simpul-simpul keluarga mana yang mempertemukan ibu saya dengan sang kepala KUA.
Setelah sekitar setengah jam kami menunggu, sang kepala KUA akhirnya datang. Dengan gesit, ibu saya langsung menghampiri dan tak lupa mengeluarkan jurus ‘ingat-gak-sama-saya’. Sang kepala KUA mengenali ibu saya, menanyakan kabar dan maksudnya datang ke KUA. Setelah membaca surat dari Kantor Kelurahan, dia menggangguk,
“Ah ya, ini dilegalisir di sini,” katanya sambal menyerahkan suratnya ke bawahannya. Beberapa petugas yang ada di sana mengangguk-angguk ‘Oh-I-see’ yang membuat saya semakin yakin kalau mereka mungkin tidak pernah menerima permintaan untuk melegalisir surat keterangan belum kawin sebelumnnya.
Lega rasanya karena urusan selesai. Jasa besar lagi diberikan oleh ibu untuk saya. Membuat urusan perbirokrasian ini menjadi lebih cepat. Eh, tapi cara-cara seperti ini termasuk nepotisme nggak sih? Hahaha…
Saya coba cek di KBBI, hasilnya:
nepotisme/ne·po·tis·me/ /népotisme/ n 1 perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat; 2 kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; 3 tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.
So, mungkin saya dan ibu saya mengambil keuntungan dari koneksi ibu saya di kantor-kantor pemerintahan untuk urusan surat ini. Kalau yang minta legalisir itu misalnya orang yang sama sekali tidak punya kenalan di KUA, apakah akan semudah kami mendapatkan legalisir? Tapi kok saya punya pembenaran ya. Toh para pegawai kantornya aja pada nggak paham apa yang diperlukan warganya. Jadi ya kita maen tembak aja prosedurnya gimana. Ya nggak?
baca selengkapnya
Nah, ngomong-ngomong soal surat keterangan belum kawin, hari Senin kemarin saya ngurus dokumen ini. Karena Kartu Keluarga saya masih jadi satu dengan orang tua, maka saya harus pulang kampung. Hasil browsing di internet memberikan saya informasi kalau surat ini bisa didapatkan dengan mengajukan permintaan dulu ke RT/RW lalu diproses di Kantor Kelurahan dan dilegalisir di Kantor Urusan Agama, jika pemohon tercatat beragama Islam (untuk agama lain bisa diurus di Kantor Catatan Sipil). Dari pengalaman beberapa orang yang bisa langsung ke Kantor Kelurahan, saya juga memutuskan untuk langsung ke Kantor Kelurahan yang hanya berjarak 300 meter dari rumah. Ibu saya ikut menemani. Bener, bukan saya yang minta lho! (gak mau banget dianggap anak mami). Alasan beliau, biar urusannya cepet, yang terbukti benar.
Sampai di Kantor Kelurahan, ibu saya langsung disapa oleh beberapa pegawai, tampaknya ibu saya cukup dikenal. Lalu ditanyakan ada keperluan apa. Salah satu pegawainya mengonfirmasi bahwa surat keterangan belum kawin bisa dibuatkan di sana, tanpa harus melewati RT/RW. Dengan sigap, sang pegawai langsung mengerjakan surat tersebut, dengan sebelumnya meminta fotokopi Kartu Keluarga. Saya dan ibu saya menunggu sekitar 10 menitan. Tidak ada biaya sama sekali untuk mengurus surat ini, tapi ibu saya merasa harus memberikan amplop terima kasih kepada pegawai yang telah membantu. Mungkin kebiasaan dari jaman dulu ya.
Dari Kantor Kelurahan, kami meluncur ke Kantor Urusan Agama (lebih tepat disebut Kantor Urusan Agama Islam, nggak sih?). Di ruang depan kantor tersebut, seorang warga sedang berbincang dengan petugas perempuan, dalam Bahasa Sunda, tentu saja. Saya terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, kira-kira seperti ini:
“Jadi gimana? Gimana?” tanya sang petugas.
“Saya udah mendaftar untuk menikah bulan depan. Tapi saya mau pinjam dulu dokumennya untuk difotokopi karena tempat kerja saya minta,” terang si warga.
“Jadi udah daftar? Tapi mau fotokopi?” sang petugas sepertinya belum yakin dengan apa yang diinginkan si warga.
“Iya, surat keterangannya mau saya pinjam untuk difotokopi,” kata si warga.
Saya dan ibu saya hanya berpandang-pandangan. Walaupun saya tidak terlalu paham dengan apa yang mereka bicarakan, dan saya yakin ibu saya juga demikian, tapi sepertinya kami sama-sama merasakan kalau urusan di KUA ini akan sedikit ribet.
“Iya, Ibu ada urusannya apa?” kata sang pegawai kepada ibu saya, setelah menyuruh si warga untuk menunggu hingga ada pegawai lain yang bisa memahami maksudnya.
“Ini anak saya butuh legalisir surat,” jawab ibu saya sambal menyerahkan map yang tidak pernah lepas dari genggamannya. Sang petugas menerima map tersebut dan membaca sekilas isinya.
“Memangnya ini harus dilegalisir di sini ya, Bu?” tanya si petugas.
Lha…
Kemudian datang petugas lain, seorang laki-laki, menghampiri kami. Si petugas perempuan bertanya kepada si petugas laki-laki soal legalisir surat tersebut. Yang ditanya tampaknya juga tidak punya jawaban dan memberikan solusi agar kami menunggu sampai kepala KUA-nya datang, yang saat itu sedang ke luar kantor untuk menikahkan warga. Si petugas laki-laki lalu mengajak ibu saya berbincang, rasa-rasa pernah kenal sebelumnya. Eh ternyata iya, petugas ini saudaranya temannya bla bla... ibu saya. Dan dimulailah percakapan si A dimana sekarang, si B dimana, sampai HIJKLMN. Si petugas pamit untuk urusan lain sambil mengatakan kalau legalisir surat aja bisa cepat kok.
Kini tinggal saya dan ibu saya duduk di ruang depan mengamati petugas yang hilir mudik dan serombongan orang yang akan melakukan akad nikah di KUA. Ibu saya tiba-tiba bilang,
“Tenang aja, mama tau kok kepalanya ini. Dia itu saudaranya saudara mama dari bla… bla… bla…” Yang sekarang saya tidak bisa ingat lagi simpul-simpul keluarga mana yang mempertemukan ibu saya dengan sang kepala KUA.
Setelah sekitar setengah jam kami menunggu, sang kepala KUA akhirnya datang. Dengan gesit, ibu saya langsung menghampiri dan tak lupa mengeluarkan jurus ‘ingat-gak-sama-saya’. Sang kepala KUA mengenali ibu saya, menanyakan kabar dan maksudnya datang ke KUA. Setelah membaca surat dari Kantor Kelurahan, dia menggangguk,
“Ah ya, ini dilegalisir di sini,” katanya sambal menyerahkan suratnya ke bawahannya. Beberapa petugas yang ada di sana mengangguk-angguk ‘Oh-I-see’ yang membuat saya semakin yakin kalau mereka mungkin tidak pernah menerima permintaan untuk melegalisir surat keterangan belum kawin sebelumnnya.
Lega rasanya karena urusan selesai. Jasa besar lagi diberikan oleh ibu untuk saya. Membuat urusan perbirokrasian ini menjadi lebih cepat. Eh, tapi cara-cara seperti ini termasuk nepotisme nggak sih? Hahaha…
Saya coba cek di KBBI, hasilnya:
nepotisme/ne·po·tis·me/ /népotisme/ n 1 perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat; 2 kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; 3 tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.
So, mungkin saya dan ibu saya mengambil keuntungan dari koneksi ibu saya di kantor-kantor pemerintahan untuk urusan surat ini. Kalau yang minta legalisir itu misalnya orang yang sama sekali tidak punya kenalan di KUA, apakah akan semudah kami mendapatkan legalisir? Tapi kok saya punya pembenaran ya. Toh para pegawai kantornya aja pada nggak paham apa yang diperlukan warganya. Jadi ya kita maen tembak aja prosedurnya gimana. Ya nggak?