Kaki-kaki saya sedang sibuk mengayuh pedal sepeda di daerah Klitren, menuju rumah, ketika lampu motor di belakang saya mengisyaratkan sang pengendara sedang berusaha mendekati saya. Mengurangi laju motornya dan lebih menepi. Tenang dulu, ini bukan berita kriminal apalagi cerita horor. Saya pikir, si pengendara adalah orang yang saya kenal yang mungkin hendak menyapa. Saya tengok, tak saya kenali wajahnya.
“Pameran buku dimana?” tanya sang pengendara motor, tanpa basa-basi. Ia laki-laki muda yang dari logatnya saya perkirakan bukan orang Jogja.
“Hah?” respon saya. Gelagapan juga tiba-tiba ada orang asing di jalan yang tanpa ba-bi-bu main tanya saja. Saya juga tidak tahu sedang ada pameran buku di Jogja. Kalaupun ada, pameran buku yang mana, yang dimana? Saya berhentikan sepeda saya yang segera ia ikuti. Saya bilang, kalau pameran buku saya tidak tahu, tapi kalau sebut nama gedungnya mungkin saya paham dan bisa bantu. Yang ditanya malah bingung. Untunglah, otak saya yang tidak seberapa segera memberi sinyal, ‘sebutkan saja nama gedung-gedung yang biasa dijadikan tempat pameran, mungkin dia bisa sedikit tercerahkan’. Dan berhasil.
Kejadian ini mengingatkan saya pada saat saya dan seorang kawan tersesat di daerah Kulon Progo. Waktu itu kami bermaksud mendatangi kader-kader desa yang akan bekerja sama membuat fotonovela. Niat hati mencari jalan dengan pemandangan alam yang lebih indah, maklum, kawan saya fotografer, kami malah tersesat di jalanan kecil di antara rerimbunan pohon-pohon tua yang, memang, indah. Beruntung kami menemukan sebuah warung dimana beberapa orang bapak sedang duduk-duduk santai. Kawan saya segera menghentikan motornya dan menanyakan arah tujuan kami. Jawab salah satu bapak,
“Mas, kalau mau nanya, mbok ya turun dulu dari motor.”
Entah seperti apa muka kami berdua ditampar kalimat itu. Turun dari motor, kawan saya mengulang pertanyaannya dan kali ini si bapak memberikan jawaban nyambung.
Adat istiadat. Tata krama. Etika. Entah apalagi namanya. Menjadi hal penting dalam pergaulan sehari-hari manusia. Ia yang menentukan apakah kita termasuk orang yang cukup punya adab atau malah tidak tahu aturan. Pada kasus saya tersesat di hutan Kulon Progo, “cara” bertanya akan menentukan nasib kami. Beruntung, si bapak yang menegur kami masih berbaik hati. Tidak seperti tokoh antagonis dalam sinetron yang api dendamnya mudah dinyalakan. Setelah saya tahu, begitulah cara bertanya di sini, lalu kenapa saya tidak melakukan hal yang sama dengan si bapak saat pengendara motor, memintanya turun dulu dari motor?
Alasannya sederhana, kami berdua sedang berada di jalan. Saya tidak ada waktu juga menunggunya turun dari motor, menurunkan standar motor, membungkukkan sedikit badannya, memasang senyum, baru bertanya. Saya juga mungkin akan kikuk.
Kawan saya yang lain beberapa hari lalu baru curhat colongan soal persiapan pernikahannya. Bisa terbayang bukan akan seperti apa jadinya dia yang disebut orang tuanya sebagai ‘anak jaman sekarang’ harus berhadapan dengan adat kebiasaan pernikahan ‘jaman baheula’ yang dipegang orang tuanya? Ribet pastinya.
Perkara etika, adat, tata krama ini pada beberapa kasus kadang malah jadi biang masalah. Yaitu saat ada pihak yang mulai mempertanyakan apa maksud di balik adat dan kebiasaan tersebut dan melihat lebih banyak tidak manfaatnya jika kebiasaan atau adat tersebut tetap dilakukan. Contohnya ya kasus numpang tanya dan pernikahan tadi. Kawan saya yang tidak turun dari motor berpikir akan lebih efektif jika numpang tanya tanpa harus turun dari motor. Kawan saya yang akan menikah inginnya bikin acara sesederhana mungkin, tapi sang orang tua keukeuh menggenggam apa yang mereka yakini sebagai budaya.
Atau contoh lain, karena saya bertahun-tahun bekerja di isu seksualitas, adalah ketika membicarakan seksualitas di depan banyak orang. Adanya tabu untuk mendiskusikan seksualitas justru membuat lebih banyak orang yang mencari informasi dari sumber entah berantah: mulut teman yang dapatnya juga entah dari berantah mana, situs di internet yang entah mengutip dari berantah mana, atau malah video dan majalah porno, atau malah pasrah mengikuti naluri badan. Hasilnya? Bukannya tambah pinter malah keblinger.
Tapi ya, untuk beberapa hal, kebiasaan dan adat memang sebaiknya tetap kita jaga, terutama yang bisa mempererat persaudaraan, mengangkat martabat manusia. Bertanya alamat dan mengawalinya dengan kalimat, “Permisi, saya mau tanya.” adalah salah satunya. Selain diterima universal, akan dianggap tidak sopan jika orang tahu-tahu menembakkan pertanyaan pada orang asing yang ditemui di jalan tanpa bilang permisi, kalimat pembuka ini juga bisa mengkondisikan calon penjawab kalau yang mendatanginya bukan akan menagih utang atau malak receh.
baca selengkapnya
“Pameran buku dimana?” tanya sang pengendara motor, tanpa basa-basi. Ia laki-laki muda yang dari logatnya saya perkirakan bukan orang Jogja.
“Hah?” respon saya. Gelagapan juga tiba-tiba ada orang asing di jalan yang tanpa ba-bi-bu main tanya saja. Saya juga tidak tahu sedang ada pameran buku di Jogja. Kalaupun ada, pameran buku yang mana, yang dimana? Saya berhentikan sepeda saya yang segera ia ikuti. Saya bilang, kalau pameran buku saya tidak tahu, tapi kalau sebut nama gedungnya mungkin saya paham dan bisa bantu. Yang ditanya malah bingung. Untunglah, otak saya yang tidak seberapa segera memberi sinyal, ‘sebutkan saja nama gedung-gedung yang biasa dijadikan tempat pameran, mungkin dia bisa sedikit tercerahkan’. Dan berhasil.
Kejadian ini mengingatkan saya pada saat saya dan seorang kawan tersesat di daerah Kulon Progo. Waktu itu kami bermaksud mendatangi kader-kader desa yang akan bekerja sama membuat fotonovela. Niat hati mencari jalan dengan pemandangan alam yang lebih indah, maklum, kawan saya fotografer, kami malah tersesat di jalanan kecil di antara rerimbunan pohon-pohon tua yang, memang, indah. Beruntung kami menemukan sebuah warung dimana beberapa orang bapak sedang duduk-duduk santai. Kawan saya segera menghentikan motornya dan menanyakan arah tujuan kami. Jawab salah satu bapak,
“Mas, kalau mau nanya, mbok ya turun dulu dari motor.”
Entah seperti apa muka kami berdua ditampar kalimat itu. Turun dari motor, kawan saya mengulang pertanyaannya dan kali ini si bapak memberikan jawaban nyambung.
Adat istiadat. Tata krama. Etika. Entah apalagi namanya. Menjadi hal penting dalam pergaulan sehari-hari manusia. Ia yang menentukan apakah kita termasuk orang yang cukup punya adab atau malah tidak tahu aturan. Pada kasus saya tersesat di hutan Kulon Progo, “cara” bertanya akan menentukan nasib kami. Beruntung, si bapak yang menegur kami masih berbaik hati. Tidak seperti tokoh antagonis dalam sinetron yang api dendamnya mudah dinyalakan. Setelah saya tahu, begitulah cara bertanya di sini, lalu kenapa saya tidak melakukan hal yang sama dengan si bapak saat pengendara motor, memintanya turun dulu dari motor?
Alasannya sederhana, kami berdua sedang berada di jalan. Saya tidak ada waktu juga menunggunya turun dari motor, menurunkan standar motor, membungkukkan sedikit badannya, memasang senyum, baru bertanya. Saya juga mungkin akan kikuk.
Kawan saya yang lain beberapa hari lalu baru curhat colongan soal persiapan pernikahannya. Bisa terbayang bukan akan seperti apa jadinya dia yang disebut orang tuanya sebagai ‘anak jaman sekarang’ harus berhadapan dengan adat kebiasaan pernikahan ‘jaman baheula’ yang dipegang orang tuanya? Ribet pastinya.
Perkara etika, adat, tata krama ini pada beberapa kasus kadang malah jadi biang masalah. Yaitu saat ada pihak yang mulai mempertanyakan apa maksud di balik adat dan kebiasaan tersebut dan melihat lebih banyak tidak manfaatnya jika kebiasaan atau adat tersebut tetap dilakukan. Contohnya ya kasus numpang tanya dan pernikahan tadi. Kawan saya yang tidak turun dari motor berpikir akan lebih efektif jika numpang tanya tanpa harus turun dari motor. Kawan saya yang akan menikah inginnya bikin acara sesederhana mungkin, tapi sang orang tua keukeuh menggenggam apa yang mereka yakini sebagai budaya.
Atau contoh lain, karena saya bertahun-tahun bekerja di isu seksualitas, adalah ketika membicarakan seksualitas di depan banyak orang. Adanya tabu untuk mendiskusikan seksualitas justru membuat lebih banyak orang yang mencari informasi dari sumber entah berantah: mulut teman yang dapatnya juga entah dari berantah mana, situs di internet yang entah mengutip dari berantah mana, atau malah video dan majalah porno, atau malah pasrah mengikuti naluri badan. Hasilnya? Bukannya tambah pinter malah keblinger.
Tapi ya, untuk beberapa hal, kebiasaan dan adat memang sebaiknya tetap kita jaga, terutama yang bisa mempererat persaudaraan, mengangkat martabat manusia. Bertanya alamat dan mengawalinya dengan kalimat, “Permisi, saya mau tanya.” adalah salah satunya. Selain diterima universal, akan dianggap tidak sopan jika orang tahu-tahu menembakkan pertanyaan pada orang asing yang ditemui di jalan tanpa bilang permisi, kalimat pembuka ini juga bisa mengkondisikan calon penjawab kalau yang mendatanginya bukan akan menagih utang atau malak receh.