Lima huruf: M-I-M-P-I
Hanya dari lima huruf itu, hidup manusia mungkin bisa berubah 180 derajat. Sering saya dengar orang sukses lantaran berani bermimpi. Bukan hanya mimpi di siang bolong, tapi mimpi yang berkeringat.
Saya seorang pemimpi. Sampai sekarang, belum selesai juga mimpi saya untuk menjadi seorang komikus. Tidak mau berusaha? Mungkin iya. Pertama, karena bakat gambar saya tidak terlalu mengagumkan, saya harus memiliki waktu ekstra untuk mengasahnya. Kedua, kegiatan saya yang lain harus saya kesampingkan, mengingat pengalaman membuat komik 2-3 halaman saja sudah cukup mencerabut saya dari realita kehidupan. "Ya sudah, jangan bermimpi!" teriak hati kecil saya. Untunglah, itu bukan mimpi saya yang menjadi prioritas. Masih ada mimpi lain yang ingin saya gapai dan sedang pelan-pelan saya wujudkan.
Saya ingat dulu saat lulus SMA, saya bermimpi ingin menjadi psikolog. Akan menyenangkan rasanya jika saya bisa membantu orang lain mencari solusi masalah (dan informasi tambahan dari sang ayah kalau pekerjaan itu juga menghasilkan uang yang cukup banyak, tapi untunglah itu hanya saya anggap bonus). Tidak tanggung-tanggung, saat ujian masuk universitas (saat itu masih berjudul UMPTN) saya daftar di dua universitas berbeda dengan fakultas yang sama: psikologi. Bimbingan belajar ekstra dua bulan sebelum seleksi pun saya ambil. Hasilnya? Tidak satupun diterima.
Saya lantas banting stir. Desain grafis. Sekalian menyalurkan hobi. Mendaftarlah saya di fakultas desain ITB. Hasilnya setali tiga uang, gagal. Beruntung ada universitas swasta yang bersedia menampung (dengan judul "kerjasama" ITB dengan beberapa universitas swasta). Ayah saya sempat memanggil saya di meja makan (hal yang jarang sekali dilakukan, kecuali ada kelakuan anak-anaknya yang perlu untuk ditegur). "Yakin kamu dengan pilihan kamu?" Bukan tanpa alasan beliau bertanya seperti itu, pertama, kuliah desain jelas butuh dana lebih besar. Kedua, soal masa depan yang mungkin bagi beliau kurang menjanjikan. Ketiga, beliau mungkin bisa membaca apa yang sebetulnya saya impikan. Saya jawab saja hanya untuk meyakinkan beliau, "Yakin!"
Semester pertama saya kuliah. Serius. Semua tugas saya kerjakan maksimal. Segera saya sadar, usaha saya ternyata masih jauh jika dibandingkan karya kawan-kawan saya yang lain. Mendaratlah keyakinan saya. Saya semakin merasa meskipun dunia itu saya suka, tapi bukan benar-benar yang ingin saya seriusi. Masuk semester dua, saya bilang pada ibu, "semester ini mama nggak usah bayar uang kuliahku. Aku nggak ngelanjutin." Beruntung sekali punya ibu bijak, bukannya diceramahi, beliau hanya bertanya rencana apa yang akan saya lakukan. "Daftar psikologi lagi!" kata saya. Beliau mengangguk.
Semester kedua di desain grafis hanya saya isi dengan kunjungan kampus. Datang ke kampus, membuat tugas seenak udel, kadang malah tidak mengerjakan sama sekali. Sisanya, saya habiskan untuk membuka kembali buku-buku pelajaran saya dan buku-buku contoh soal ujian seleksi masuk. Saya enggan mengambil bimbingan belajar lagi karena tahun lalu sudah terbukti tidak membantu saya.
Sebagai cadangan, saya juga ikut seleksi fakultas psikologi di universitas swasta di Bandung. Lolos. Tapi saya tetap fokus di seleksi negeri.
Saya belajar sendiri mati-matian. Saking niatnya, di hari terakhir seleksi, saya sempat mendengarkan siaran radio yang khusus membahas jawaban soal ujian masuk sekaligus menghitung hasilnya. Dari hitungan kasar, saya mungkin akan lolos di pilihan kedua saya: psikologi UGM.
Benar saja, saat pengumuman, tidak seperti tahun sebelumnya yang saya dan teman-teman seperjuangan rela bangun pagi untuk hunting koran, saya justru mendapatkan kabar dari sepupu kalau saya lolos. Lega.
Namun keinginan saya menjadi psikolog justru runtuh saat saya masih kuliah di psikologi. Saya suka psikologi, tapi tidak menjadi psikolog. Ayah saya lagi-lagi bingung dengan keinginan saya yang berubah-ubah. Tapi sepertinya beliau tahu kalau anaknya yang satu ini sekalinya memiliki sebuah keinginan sulit sekali untuk dibelokan. Sepertinya beliau juga tahu, saya tidak main-main dengan mimpi lain saya ini. Hanya bertahan tidak sampai 3 bulan beliau bertanya lamaran kerja kemana saja yang sudah saya kirim dan selalu saya jawab, "saya di LSM juga kerja."
Sekarang, saya sedang berusaha membuat nyata mimpi saya tersebut. Pelan-pelan saya persiapkan. Kegagalan sudah beberapa kali saya rasakan, justru membuat saya harus lebih mematangkan diri saya. Saya pernah gagal. Tapi saya juga pernah berhasil. Semua saya awali dengan bermimpi dan saya coba wujudkan dengan usaha.
"Saya tidak akan mengejar mimpi. Saya akan menciptakannya!"