12 Februari 2010

KTP Oh KTP


Sekitar dua mingguan lalu, saya mengikuti launching sebuah  laporan mengenai kehidupan keberagamaan di Indonesia. Satu hal  yang menarik adalah ketika salah satu pembicara menjelaskan bahwa  Undang-undang Administrasi Kependudukan No. 23 tahun 2006  membolehkan warga Negara Indonesia untuk mengosongkan alias tidak  mengisi kolom agama di KTP. Kemajuan nih, pikir saya. Pasalnya,  selama ini beberapa penganut keyakinan di luar agama resmi di  Indonesia (Islam, Protestan, Katolik, Buddha, Hindu dan Konghucu)  dan juga penganut agama selain yang resmi-resmi itu, biasanya  mengisi kolom ini asal saja, yang penting terisi. Buat Negara,  jelas ini berkontibusi pada tidak akuratnya data kependudukan di  Indonesia. Bagi warga negara,ini bentuk pemaksaan halus yang  dilakukan Negara karena Negara seakan-akan tidak mau mengakui  bahwa ada penganut agama selain yang dianggap resmi.

Indonesia, seperti kita tahu, bukan Negara agama. Apalagi Negara  Islam. Namun, secara bijaksana, para pendiri Negara telah  mendasarkan pondasi-pondasi Negara pada nilai-nilai keagamaan.  Niat mulia, memang. Karena toh, ruh agama yang sebenarnya juga  mulia. Sayangnya, beberapa pihak, mungkin yang terlalu agamis  sampai melupakan ketuhanan dan kemanusiaan atau yang meraup  untung dari affair antara agama dan kebijakan Negara, mencoba  membuat daftar agama resmi yang diakui di Indonesia. Di luar  agama itu berarti tidak diakui. Bisa dibayangkan jika Yahudi  kemudian diakui sebagai agama resmi di Indonesia yang mayoritas  penduduknya Muslim dan kebanyakan sudah diracuni ayat-ayat yang  mengibarkan bendera perang terhadap Yahudi. Politik juga yang  menempatkan Konghucu, misalnya, awalnya diakui, kemudian tidak, dan pada era Gus Dur kembali diangkat sebagai sebuah identitas dan dijamin hak-haknya untuk beribadah.

Saya tidak mau panjang lebar lagi membahas soal agama dan kuasa  Negara. Ceritanya, minggu lalu saya pulang untuk mengurus KTP.  Masalahnya, saya hendak membuat passport dan gawatnya, KTP saya  masih ikut orang tua kemudian orang tua saya pindah rumah, alamat  saya di KTP dan di Kartu Keluarga berbeda. Beginilah nasib warga  negara Indonesia, kebanyakan kartu identitas! Belum ngurusnya  yang ribet minta ampun. Sempat saya update status facebook  tentang KTP ini dan banyak kawan berpendapat serupa dengan saya:  ribet!

Singkat cerita, saya sampai ke kantor kelurahan dengan niat  membuat KTP dan mencoba bisa tidak mengosongkan kolom agama saya.  Ketika saya bilang mau bikin KTP, pegawai di sana meminta saya  membawa KK. Saya pulang lagi membawa KK. Setelah catat ini itu  (pegawainya hanya menyalin dari KK saya), dapat tanda tangan,  saya diminta mengurusnya di kantor kecamatan. Sesampainya di  kecamatan, saya serahkan fotocopy KK dan surat sakti dari  kelurahan, tanpa ditanyai apapun. Sekitar satu jam saya menunggu.  Saya pikir sedang diproses, ternyata saya keliru. Meskipun tidak  banyak yang mengantri, rupanya bagian per-KTP-an sudah disibukan  dari pagi. Saya bunuh waktu dengan membaca harian lokal, sebuah  berita tentang pembuatan KTP yang seharusnya gratis ternyata  tetap dipungut biaya di suatu daerah di kota saya. Dasar, pegawai  pemerintah.. Nama saya lalu dipanggil.

“Mas pernah buat KTP di sini?”
“Iya, tapi alamatnya sudah pindah, Pak,” kata saya.
“Saya bisa minta KTP lamanya?”

Lalu saya serahkan KTP saya yang usianya masih 2 tahun lagi dan  saya kembali disuruh menunggu. Hanya selang kurang dari lima  menit, saya tiba-tiba dipanggil lagi. Hah? KTP saya sudah jadi?  Sial.. saya tidak punya kesempatan untuk mengetes aplikasi UU  Adminduk. Semua kolom terisi sesuai dengan yang tertera di KK  yang diisi oleh ibu saya. Saya lihat di kantor kecamatan juga  tidak ada pengumuman tentang UU Adminduk itu (di ruang tunggu  hanya ada sofa, meja, koran, tivi, penampang peta kota, dan  penampang jumlah pajak daerah). Bagaimana ini.. sudah tidak ada  sosialisasi, pegawainya juga bersikap yang-penting-beres.

Terinspirasi dari koran yang saya baca, kali ini saya ngetes  pegawainya soal gratisan KTP. Saya harap sang pegawai dengan  bijak akan mengatakan, “gratis kok” yang menegaskan bahwa aturan  itu memang demikian, alih-alih malah menjawab dengan nada lemas:

“Seikhlasnya saja...”

Jawaban tidak pasti yang bagi beberapa orang yang tidak tahu soal  aturan KTP gratis atau tahu tapi kurang cukup tega melihat  pegawai yang notabene sudah digaji untuk pekerjaannya itu,  akhirnya memberikan uang ala kadarnya. Huh, mentalnya ini...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar