Sekitar dua mingguan lalu, saya mengikuti launching sebuah laporan mengenai kehidupan keberagamaan di Indonesia. Satu hal yang menarik adalah ketika salah satu pembicara menjelaskan bahwa Undang-undang Administrasi Kependudukan No. 23 tahun 2006 membolehkan warga Negara Indonesia untuk mengosongkan alias tidak mengisi kolom agama di KTP. Kemajuan nih, pikir saya. Pasalnya, selama ini beberapa penganut keyakinan di luar agama resmi di Indonesia (Islam, Protestan, Katolik, Buddha, Hindu dan Konghucu) dan juga penganut agama selain yang resmi-resmi itu, biasanya mengisi kolom ini asal saja, yang penting terisi. Buat Negara, jelas ini berkontibusi pada tidak akuratnya data kependudukan di Indonesia. Bagi warga negara,ini bentuk pemaksaan halus yang dilakukan Negara karena Negara seakan-akan tidak mau mengakui bahwa ada penganut agama selain yang dianggap resmi.
Indonesia, seperti kita tahu, bukan Negara agama. Apalagi Negara Islam. Namun, secara bijaksana, para pendiri Negara telah mendasarkan pondasi-pondasi Negara pada nilai-nilai keagamaan. Niat mulia, memang. Karena toh, ruh agama yang sebenarnya juga mulia. Sayangnya, beberapa pihak, mungkin yang terlalu agamis sampai melupakan ketuhanan dan kemanusiaan atau yang meraup untung dari affair antara agama dan kebijakan Negara, mencoba membuat daftar agama resmi yang diakui di Indonesia. Di luar agama itu berarti tidak diakui. Bisa dibayangkan jika Yahudi kemudian diakui sebagai agama resmi di Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim dan kebanyakan sudah diracuni ayat-ayat yang mengibarkan bendera perang terhadap Yahudi. Politik juga yang menempatkan Konghucu, misalnya, awalnya diakui, kemudian tidak, dan pada era Gus Dur kembali diangkat sebagai sebuah identitas dan dijamin hak-haknya untuk beribadah.
Saya tidak mau panjang lebar lagi membahas soal agama dan kuasa Negara. Ceritanya, minggu lalu saya pulang untuk mengurus KTP. Masalahnya, saya hendak membuat passport dan gawatnya, KTP saya masih ikut orang tua kemudian orang tua saya pindah rumah, alamat saya di KTP dan di Kartu Keluarga berbeda. Beginilah nasib warga negara Indonesia, kebanyakan kartu identitas! Belum ngurusnya yang ribet minta ampun. Sempat saya update status facebook tentang KTP ini dan banyak kawan berpendapat serupa dengan saya: ribet!
Singkat cerita, saya sampai ke kantor kelurahan dengan niat membuat KTP dan mencoba bisa tidak mengosongkan kolom agama saya. Ketika saya bilang mau bikin KTP, pegawai di sana meminta saya membawa KK. Saya pulang lagi membawa KK. Setelah catat ini itu (pegawainya hanya menyalin dari KK saya), dapat tanda tangan, saya diminta mengurusnya di kantor kecamatan. Sesampainya di kecamatan, saya serahkan fotocopy KK dan surat sakti dari kelurahan, tanpa ditanyai apapun. Sekitar satu jam saya menunggu. Saya pikir sedang diproses, ternyata saya keliru. Meskipun tidak banyak yang mengantri, rupanya bagian per-KTP-an sudah disibukan dari pagi. Saya bunuh waktu dengan membaca harian lokal, sebuah berita tentang pembuatan KTP yang seharusnya gratis ternyata tetap dipungut biaya di suatu daerah di kota saya. Dasar, pegawai pemerintah.. Nama saya lalu dipanggil.
“Mas pernah buat KTP di sini?”
“Iya, tapi alamatnya sudah pindah, Pak,” kata saya.
“Saya bisa minta KTP lamanya?”
Lalu saya serahkan KTP saya yang usianya masih 2 tahun lagi dan saya kembali disuruh menunggu. Hanya selang kurang dari lima menit, saya tiba-tiba dipanggil lagi. Hah? KTP saya sudah jadi? Sial.. saya tidak punya kesempatan untuk mengetes aplikasi UU Adminduk. Semua kolom terisi sesuai dengan yang tertera di KK yang diisi oleh ibu saya. Saya lihat di kantor kecamatan juga tidak ada pengumuman tentang UU Adminduk itu (di ruang tunggu hanya ada sofa, meja, koran, tivi, penampang peta kota, dan penampang jumlah pajak daerah). Bagaimana ini.. sudah tidak ada sosialisasi, pegawainya juga bersikap yang-penting-beres.
Terinspirasi dari koran yang saya baca, kali ini saya ngetes pegawainya soal gratisan KTP. Saya harap sang pegawai dengan bijak akan mengatakan, “gratis kok” yang menegaskan bahwa aturan itu memang demikian, alih-alih malah menjawab dengan nada lemas:
“Seikhlasnya saja...”
Jawaban tidak pasti yang bagi beberapa orang yang tidak tahu soal aturan KTP gratis atau tahu tapi kurang cukup tega melihat pegawai yang notabene sudah digaji untuk pekerjaannya itu, akhirnya memberikan uang ala kadarnya. Huh, mentalnya ini...