Siang itu saya sedang terburu-buru mengendarai motor menuju kantor. 8.. 7.. 6.. countdown lampu hijau di perempatan Galleria Mall membuat saya semakin buas demi tak tertahan lampu merah. Tiba-tiba motor di depan saya ngerem mendadak. Beruntung, saya juga sigap, segera mengerem, dengan dongkol dalam hati. Geram rasanya karena saya akan ketinggalan lampu hijau dan siap-siap nongkrong di lampu merah dengan sengatan matahari. Sial.
Rasa kesal saya segera sirna begitu tahu alasan si pengendara motor depan saya itu ngerem mendadak. Seorang anak kecil, berusia kira-kira 4 tahun, tiba-tiba nongol di depan motornya sambil membawa beberapa lembar koran, sambil berkata pada seorang ibu yang sedang duduk di trotoar.
"Bu, aku payu KR siji!" (Bu, aku berhasil ngejual KR -koran di Jogja- satu!)
Deg. Beruntung saya tidak jadi mengumpat-umpat. Beruntung saya berhasil ngerem. Beruntung saya dulu tidak harus bertelanjang kaki berjualan koran di jalanan saat matahari sedang terik-teriknya.
Bagi si anak, berhasil menjual satu koran saja mungkin sudah menjadi hal yang membahagiakan.
Enak sekali si ibu (entah ibu kandungnya atau ibu apanya), tinggal menyuruh anaknya jualan koran, dia ambil untungnya. Eh, tapi bagaimana kalau sebenarnya si ibu yang jualan koran cuma karena tiba-tiba kakinya pegal, si anak lalu merasa mendapat "mainan baru" jualan koran? Atau bagaimana jika ternyata si ibu itu pelaku trafficking? Bagaimana jika ia adalah seorang ibu yang tidak tahu soal hak anak, yang penting bisa nyari duit buat makan sambil bawa anak, syukur-syukur anaknya bantu...
Saya mendukung ketika hidup di jalanan adalah pilihan, bagi mereka yang sudah bisa memilih. Remaja dan orang dewasa saya asumsikan sudah memiliki kemampuan ini. Kesalahan Negara adalah pada perlindungan bagi mereka yang memang memutuskan untuk hidup di jalanan. Yang terjadi kan justru mereka dianggap mengganggu ketertiban atau apalah.. yang katanya itu dipermasalahkan oleh masyarakat (masyarakat yang mana?) Lalu mereka ramai-ramai ditangkap, katanya mau dibina segala macam, tapi yang terjadi justru kekerasan.
Ketika saya melihat anak-anak hidup dan bekerja di jalanan, kekesalan saya terhadap Negara makin menjadi-jadi. Awalnya, seperti kebanyakan orang, saya salahkan orang tua mereka. Kok ya ada orang tua yang tega membiarkan anaknya bekerja di jalanan saat teman-teman sebayanya asik menggambar di kelas terus main ayunan saat istirahat? Kok ya ada orang tua yang tega minjemin anaknya buat digendong kemana-mana demi mengetuk hati para pemakai jalanan? Tapi kemudian, saya sadar bahwa ada sistem sosial (mulai nih...) yang membentuk pola seperti ini. Pemiskinan yang dilakukan oleh Negara telah membuat individu-individu mengambil jalan pintas penuh resiko, bekerja dan mempekerjakan anak-anak mereka di jalanan. Pemiskinan ini ya bisa dilihat dari bagaimana Negara tidak bisa menyediakan lapangan kerja, Negara tidak bisa menyediakan pendidikan gratis yang adil dan merata. Parahnya, mungkin tidak sadar bahwa kondisi ini hasil karya mereka, selain mengebiri hak-hak mereka yang lainnya (hak layanan kesehatan misalnya), Negara malah dengan angkuhnya membuat serangkaian aturan yang mendiskriminasi mereka, yang tidak mengijinkan mereka menjejakan kaki di jalanan lagi. Misalnya dalam KUHAP Pasal 505, ada ancaman kurungan maksimal 3 bulan untuk orang yang melakukan penggelandangan di tempat-tempat umum.
Lha.. kalau mengutip kata-kata dalam Untitled (Video Komunitas Remaja Jalanan Minority, 2008),
"Negara miskin kok ngelarang rakyatnya miskin?!"
Kalau Negara pinter, para orang tua yang mencari nafkah di jalan ya gak cuma dikasih ceramah ini itu, tapi coba deh dikasih keterampilan. Tidak berhenti sampai di sana, ajarin juga cara pemasaran, cara memutar modal, mengelola keuangan. Nah, anak-anaknya disekolahin pakai uang Negara yang banyak dikorup itu. Katanya "Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara (UUD 45 Pasal 34 ayat 1)" ? Kalau saya sih pengalamannya melihara kucing, saya kasih makan rutin pagi siang malam (untungnya saya nggak budek, jadi kalau saya lupa ngasih makan saya bisa dengar kucing saya mengeong-ngeong kelaparan), saya belai-belai (dijewer sedikit kalau maling ikan), saya kejar kucing lain yang suka ganggu kucing saya (bukan saya kejar kucing saya sendiri, kecuali lagi kalau kucing saya berhasil maling ikan), pernah suatu kali punggungnya robek gara-gara berantem, saya juga yang bawa dia ke dokter, ngobatin lukanya tiap hari sampai si kucing bisa main-main lagi. Senakal apapun kucing saya, karena biasanya saya melihara kucing anaknya kucing-kucing saya sebelumnya, atau saya ambil kucing lain, dua-duanya jelas bukan keinginan si kucing, jadi ya saya merasa bertanggung jawab atas kehidupan peliharaan saya