Beberapa waktu lalu, seorang kawan menulis status di akun sosial medianya tentang temannya yang gemar menyebar hoax. Kawan saya merasa miris karena temannya itu tampak berpendidikan dan pergaulannya tingkat internasional, tapi berita yang disebarkan seringkali tak dapat dibuktikan kebenarannya dan diperparah dengan nada-nada kebencian. Agak mirip, kawan saya yang lain juga pernah update status, soal temannya yang tinggal di luar negeri bertahun-tahun tapi ya sebelas dua belas, hobi sebar hoax. Lha katanya yang pola pikirnya gitu-gitu aja itu karena mainnya kurang jauh? Kurang jauh apa itu Amerika? Masa iya harus sampe Saturnus?
Satu hal yang perlu digarisbawahi, Mbak, Mas, hoax itu aja istilahnya dari sono, yang artinya ya di Amerika, Inggris, Brazil, Spanyol, Jepang, India, sampai Haiti, yang percaya dan doyan sebar hoax ya banyak juga. Tapi saya nggak akan bahas soal dunia per-hoax-an ini, ada hal lain yang mencolek memori saya, yaitu saat saya tinggal di Jogja dan Belanda.
Sebagai pelajar dari Indonesia, saat saya melanjutkan kuliah master di Belanda, saya juga bergabung di grup PPI. Tapi sebatas whatsapp group hahaha… Kegiatan lain macam jalan-jalan (menu utamanya kan ye?), diskusi, atau pengajian bagi yang muslim, tidak pernah saya ikuti. Selain alasan bedanya jadwal kuliah saya dengan jadwal kuliah kampus lain, saya juga merasa, “Lha di sini cuma kuliah setaun doang, masak ya ketemunya Indonesia melulu.” Bagi saya, tiga teman dari Indonesia yang kuliah bareng sudah cukup untuk tidak benar-benar tercerabut dari perindonesiaan (terutama kalo udah gatel banget pengen casciscus bahasa Indonesia!).
Adalah ayah saya yang agaknya punya peran soal sikap saya ini. Saya lahir dan besar di Majalengka, kota kecil di Jawa Barat. Karena letaknya lebih dekat ke Cirebon dan perbatasan Jawa Tengah, budaya Sundanya memang tak sekental di wilayah lain, seperti Bandung atau Cianjur. Bahasa Sunda yang kami pakai sehari-hari pun tergolong bukan bahasa halus, meskipun dari SD sampai SMP diajari tingkatan-tingkatan bahasa ini. Toh itu tidak melunturkan identitas saya sebagai orang Sunda. Kemudian saya mengikuti jejak ayah saya, kuliah di Yogyakarta. Saya ingat di awal-awal masa kuliah, teman SMA yang kuliah di UGM juga beberapa kali mengajak saya ikut kegiatan mahasiswa-mahasiswi Majalengka yang ada di Yogyakarta. Teman kuliah saya yang asal Ciamis juga pernah mengajak saya ke Asrama Kujang, asrama untuk pelajar yang datang dari Jawa Barat. Tapi saya tidak pernah tertarik untuk bergabung.
“Ya kalau kamu gaulnya sama orang Majalengka, kuliah di Unma* aja sana!” begitu seloroh ayah saya waktu saya pertama kali cerita tentang ajakan dari teman saya (sekedar informasi, Unma adalah Universitas Majalengka. Iya ada!). And I got the point! Kalau orang bilang kuliah jauh-jauh itu bisa memperluas wacana, itu benar. Tapi dengan syarat: otak sama hati juga disiapkan.
Tahun kedua saya kuliah di Jogja, saya memilih berkegiatan di luar kampus, jadi relawan di sebuah organisasi. Selain berjuang mengunyah informasi-informasi yang relatif baru buat saya, saya juga harus berjuang memahami bahasa Jawa. Saya bersyukur sekali karena kawan-kawan saya di sana tidak pernah menyerah berbicara dan bercanda dengan saya dalam bahasa Jawa. Dan ya, belajar bahasa itu tidak cukup soal perbendaharaan kata atau struktur kalimat, tapi lebih dari itu: konteks! Hasilnya memang tidak lantas saya jadi mahir berbahasa Jawa ya (apalagi kromo. Saya nyerah. Bahasa Sunda halus aja saya gelagepan haha…), tapi setidaknya saya merasa tidak terasing saat saya berkumpul dengan teman-teman saya yang asli Jogja atau Jawa.
Berbaur dengan orang Jawa di tanah Jawa mengajarkan saya untuk menghormati dan menghargai mereka. Segala stigma negatif soal orang Jawa yang saya dengar selama saya tinggal di wilayah Sunda pun meluntur. Saya merasa ada lebih banyak kesamaan di antara kami, dibandingkan perbedaan. Menariknya, di sisi lain, saya justru merasa kadar kesundaan saya (jika memang ada), naik beberapa level. Dari yang dulunya sama sekali tidak pernah secara sadar dan penuh niat memutar lagu-lagu Sunda, eh lha pas di Jogja saya malah suka dengerin lagu-lagu Sunda, bahkan nyari-nyari di Youtube. Pengalaman yang mirip saya alami saat saya melanjutkan kuliah ke Belanda. Saya merasa saya lebih ngendonesia dibandingkan saat saya tinggal di Indonesia. Salah satu buktinya adalah saya lebih sering makan Indomie saat saya tinggal di sini dibandingkan saat saya di Indonesia (tolong, bedakan nasionalis dengan mahasiswa kurang duit dan kurang kreatif).
baca selengkapnya
Satu hal yang perlu digarisbawahi, Mbak, Mas, hoax itu aja istilahnya dari sono, yang artinya ya di Amerika, Inggris, Brazil, Spanyol, Jepang, India, sampai Haiti, yang percaya dan doyan sebar hoax ya banyak juga. Tapi saya nggak akan bahas soal dunia per-hoax-an ini, ada hal lain yang mencolek memori saya, yaitu saat saya tinggal di Jogja dan Belanda.
Sebagai pelajar dari Indonesia, saat saya melanjutkan kuliah master di Belanda, saya juga bergabung di grup PPI. Tapi sebatas whatsapp group hahaha… Kegiatan lain macam jalan-jalan (menu utamanya kan ye?), diskusi, atau pengajian bagi yang muslim, tidak pernah saya ikuti. Selain alasan bedanya jadwal kuliah saya dengan jadwal kuliah kampus lain, saya juga merasa, “Lha di sini cuma kuliah setaun doang, masak ya ketemunya Indonesia melulu.” Bagi saya, tiga teman dari Indonesia yang kuliah bareng sudah cukup untuk tidak benar-benar tercerabut dari perindonesiaan (terutama kalo udah gatel banget pengen casciscus bahasa Indonesia!).
Adalah ayah saya yang agaknya punya peran soal sikap saya ini. Saya lahir dan besar di Majalengka, kota kecil di Jawa Barat. Karena letaknya lebih dekat ke Cirebon dan perbatasan Jawa Tengah, budaya Sundanya memang tak sekental di wilayah lain, seperti Bandung atau Cianjur. Bahasa Sunda yang kami pakai sehari-hari pun tergolong bukan bahasa halus, meskipun dari SD sampai SMP diajari tingkatan-tingkatan bahasa ini. Toh itu tidak melunturkan identitas saya sebagai orang Sunda. Kemudian saya mengikuti jejak ayah saya, kuliah di Yogyakarta. Saya ingat di awal-awal masa kuliah, teman SMA yang kuliah di UGM juga beberapa kali mengajak saya ikut kegiatan mahasiswa-mahasiswi Majalengka yang ada di Yogyakarta. Teman kuliah saya yang asal Ciamis juga pernah mengajak saya ke Asrama Kujang, asrama untuk pelajar yang datang dari Jawa Barat. Tapi saya tidak pernah tertarik untuk bergabung.
“Ya kalau kamu gaulnya sama orang Majalengka, kuliah di Unma* aja sana!” begitu seloroh ayah saya waktu saya pertama kali cerita tentang ajakan dari teman saya (sekedar informasi, Unma adalah Universitas Majalengka. Iya ada!). And I got the point! Kalau orang bilang kuliah jauh-jauh itu bisa memperluas wacana, itu benar. Tapi dengan syarat: otak sama hati juga disiapkan.
Tahun kedua saya kuliah di Jogja, saya memilih berkegiatan di luar kampus, jadi relawan di sebuah organisasi. Selain berjuang mengunyah informasi-informasi yang relatif baru buat saya, saya juga harus berjuang memahami bahasa Jawa. Saya bersyukur sekali karena kawan-kawan saya di sana tidak pernah menyerah berbicara dan bercanda dengan saya dalam bahasa Jawa. Dan ya, belajar bahasa itu tidak cukup soal perbendaharaan kata atau struktur kalimat, tapi lebih dari itu: konteks! Hasilnya memang tidak lantas saya jadi mahir berbahasa Jawa ya (apalagi kromo. Saya nyerah. Bahasa Sunda halus aja saya gelagepan haha…), tapi setidaknya saya merasa tidak terasing saat saya berkumpul dengan teman-teman saya yang asli Jogja atau Jawa.
Berbaur dengan orang Jawa di tanah Jawa mengajarkan saya untuk menghormati dan menghargai mereka. Segala stigma negatif soal orang Jawa yang saya dengar selama saya tinggal di wilayah Sunda pun meluntur. Saya merasa ada lebih banyak kesamaan di antara kami, dibandingkan perbedaan. Menariknya, di sisi lain, saya justru merasa kadar kesundaan saya (jika memang ada), naik beberapa level. Dari yang dulunya sama sekali tidak pernah secara sadar dan penuh niat memutar lagu-lagu Sunda, eh lha pas di Jogja saya malah suka dengerin lagu-lagu Sunda, bahkan nyari-nyari di Youtube. Pengalaman yang mirip saya alami saat saya melanjutkan kuliah ke Belanda. Saya merasa saya lebih ngendonesia dibandingkan saat saya tinggal di Indonesia. Salah satu buktinya adalah saya lebih sering makan Indomie saat saya tinggal di sini dibandingkan saat saya di Indonesia (tolong, bedakan nasionalis dengan mahasiswa kurang duit dan kurang kreatif).