Tugas ke lapangan sering kali memberikan saya banyak pelajaran. Tak jarang, siraman yang saya dapat tidak berhubungan langsung dengan pekerjaan. Namun justru pelajaran-pelajaran itu yang membuat kenop-kenop dalam otak tersambung dan mengalirkan getaran sampai ke hati.
Sore itu, saya tiba di Desa Waji, Bone, Sulawesi Selatan, setelah kurang lebih empat jam perjalanan dari Makassar. Tujuan saya adalah menemui salah satu pengguna biogas yang hendak saya wawancara lalu dipublikasikan. Pak Amir namanya.
Seperti kebanyakan petani dan peternak di Indonesia yang saya temui sebelumnya, penampilan Pak Amir juga tampak sederhana. Ia baru saja selesai menemani beberapa remaja SMA yang diantar salah satu gurunya untuk praktek pembuatan biogas. Saat saya datang, mereka sedang duduk-duduk di teras rumah. Saya duga itu adalah bagian adat kesopanan yang tidak langsung angkat kaki setelah urusan selesai. Perlulah kiranya mencicipi apa yang sudah tuan rumah hidangkan sambal sedikit mengobrol ini itu.
“Saya hanya pesan satu hal kepada adik-adik ini saat pulang ke rumah nanti,” kata Pak Amir. Tamu yang lain mengangguk-angguk kompak, sepertinya sudah tahu apa kelanjutannya karena sudah disampaikan Pak Amir sebelumnya.
“Saya minta mereka merenung.”
Sungguh di luar dugaan saya. Saya pikir ia akan memberikan dorongan para remaja ini untuk merawat ternak para orang tuanya, atau coba mengaplikasikan pupuk kompos dari ampas biogas, atau nasihat klasik lainnya: belajar yang rajin, bantu orang tua dan rajin menabung.
Merenung yang dimaksud Pak Amir bukanlah ala para filsuf yang sedang mencari apa hakikat hidup atau ala para negarawan yang sedang menggali cara terampuh membangkitkan semangat nasionalisme rakyat. Para remaja ini diminta untuk merenungkan apa yang sudah dilakukan orang tuanya untuk mereka. Lalu coba mensyukuri apa yang sudah mereka dapatkan sekarang, bisa tumbuh dan bersekolah.
Ya, Pak Amir hanya lulus SD. Putusnya pendidikan adalah pengalaman paling menyakitkan dalam hidupnya. Dengan jujur ia mengatakan seringkali hatinya berdesir saat melihat remaja-remaja yang dengan riang gembira pergi ke sekolah. Bahkan sampai sekarang. Namun putus sekolah tak membuatnya patah arang. Ia punya modal lain, semangat dan kerja keras. Dua tahun lalu, ia dipercaya mendapatkan dana hibah dari bank besar di negeri ini. Ia adalah peternak yang sukses mengembangkan pupuk kompos ampas biogas di Bone, yang karena kesuksesannya tersebut ia sering dikunjungi banyak pihak yang ingin belajar darinya, termasuk para remaja sekolah. Ia telah menjadi guru bagi banyak orang.
“Pak Amir ini profesor lapangan,” kata guru yang mendampingi remaja sekolah ini. Belakangan, setelah rombongan sekolah ini pamit,Pak Amir memberi tahu saya bahwa perempuan tersebut adalah guru honorer tapi punya pengabdian luar biasa dalam dunia pendidikan.
Dalam perjalanan pulang ke Makassar sambil keliling mencari pom bensin yang masih buka gara-gara isu harga BBM naik, saya memikirkan nasihat Pak Amir sore itu. Saya belum sampai rumah dan saya pun sudah bukan remaja sekolah. Saya hanya tahu saya sudah mendapatkan oleh-oleh dari Bone, sebuah renungan:
Kapan terakhir saya mensyukuri apa yang sudah saya dapatkan?
baca selengkapnya
Sore itu, saya tiba di Desa Waji, Bone, Sulawesi Selatan, setelah kurang lebih empat jam perjalanan dari Makassar. Tujuan saya adalah menemui salah satu pengguna biogas yang hendak saya wawancara lalu dipublikasikan. Pak Amir namanya.
Seperti kebanyakan petani dan peternak di Indonesia yang saya temui sebelumnya, penampilan Pak Amir juga tampak sederhana. Ia baru saja selesai menemani beberapa remaja SMA yang diantar salah satu gurunya untuk praktek pembuatan biogas. Saat saya datang, mereka sedang duduk-duduk di teras rumah. Saya duga itu adalah bagian adat kesopanan yang tidak langsung angkat kaki setelah urusan selesai. Perlulah kiranya mencicipi apa yang sudah tuan rumah hidangkan sambal sedikit mengobrol ini itu.
“Saya hanya pesan satu hal kepada adik-adik ini saat pulang ke rumah nanti,” kata Pak Amir. Tamu yang lain mengangguk-angguk kompak, sepertinya sudah tahu apa kelanjutannya karena sudah disampaikan Pak Amir sebelumnya.
“Saya minta mereka merenung.”
Sungguh di luar dugaan saya. Saya pikir ia akan memberikan dorongan para remaja ini untuk merawat ternak para orang tuanya, atau coba mengaplikasikan pupuk kompos dari ampas biogas, atau nasihat klasik lainnya: belajar yang rajin, bantu orang tua dan rajin menabung.
Merenung yang dimaksud Pak Amir bukanlah ala para filsuf yang sedang mencari apa hakikat hidup atau ala para negarawan yang sedang menggali cara terampuh membangkitkan semangat nasionalisme rakyat. Para remaja ini diminta untuk merenungkan apa yang sudah dilakukan orang tuanya untuk mereka. Lalu coba mensyukuri apa yang sudah mereka dapatkan sekarang, bisa tumbuh dan bersekolah.
Ya, Pak Amir hanya lulus SD. Putusnya pendidikan adalah pengalaman paling menyakitkan dalam hidupnya. Dengan jujur ia mengatakan seringkali hatinya berdesir saat melihat remaja-remaja yang dengan riang gembira pergi ke sekolah. Bahkan sampai sekarang. Namun putus sekolah tak membuatnya patah arang. Ia punya modal lain, semangat dan kerja keras. Dua tahun lalu, ia dipercaya mendapatkan dana hibah dari bank besar di negeri ini. Ia adalah peternak yang sukses mengembangkan pupuk kompos ampas biogas di Bone, yang karena kesuksesannya tersebut ia sering dikunjungi banyak pihak yang ingin belajar darinya, termasuk para remaja sekolah. Ia telah menjadi guru bagi banyak orang.
“Pak Amir ini profesor lapangan,” kata guru yang mendampingi remaja sekolah ini. Belakangan, setelah rombongan sekolah ini pamit,Pak Amir memberi tahu saya bahwa perempuan tersebut adalah guru honorer tapi punya pengabdian luar biasa dalam dunia pendidikan.
Dalam perjalanan pulang ke Makassar sambil keliling mencari pom bensin yang masih buka gara-gara isu harga BBM naik, saya memikirkan nasihat Pak Amir sore itu. Saya belum sampai rumah dan saya pun sudah bukan remaja sekolah. Saya hanya tahu saya sudah mendapatkan oleh-oleh dari Bone, sebuah renungan:
Kapan terakhir saya mensyukuri apa yang sudah saya dapatkan?