Pernah dengar teori yang bilang kalau masa remaja adalah fase penuh stres dan badai (storm and stress)? Kalau masa remaja adalah masa pencarian jati diri yang sering menyebabkan individu menjadi labil? Masa penuh tekanan dari teman sebaya?
Ya, silakan cari teori-teori psikologi tentang itu. Beberapa dari anda mungkin menyetujui teori tersebut dengan berkaca dari diri sendiri atau orang-orang di sekitar, termasuk anda yang sekarang masih berada di rentang remaja. Tapi bagi beberapa orang, termasuk saya, terutama yang sudah melewati masa remaja (beraaaat sekali mengakui ini hahaha...), mungkin akan berpikir lagi tentang benar tidaknya teori tersebut. Karena sebagai orang yang sedang berada di jenjang dewasa awal, stres dan badai tersebut saya rasakan lebih kencang dibandingkan dengan saat saya remaja. Dan bukan hanya saya, belakangan saya bertemu dengan beberapa kawan yang intinya sepakat dengan hal ini: masa remaja adalah masa storm and stress itu cuma mitos!
Kenapa saya dan kawan-kawan saya itu berkeputusan demikian? Karena pengalaman yang kami rasakan ya memang demikian.
"Sekarang kita mesti mikir hidup kita sendiri. Padahal masih bingung juga apa yang sebenarnya ingin kita lakukan," kata seorang kawan.
"Kayaknya, yang kita lakukan itu ya hanya bekerja untuk menunjukkan kepada orang lain kalau kita bisa. Bukan untuk diri sendiri," kata kawan yang lain.
Tuntutan dari lingkungan sekitar juga bukannya semakin hilang, justru semakin kuat. Tentang bagaimana kita menjadi manusia ideal, hmm uhuk.. yang mainstream. Tuntutan untuk menikah, tuntutan untuk bekerja, tuntutan untuk dewasa. Tuntutan-tuntutan dengan cabang tuntutan yang lebih banyak: tuntutan untuk menikah bercabang menjadi menikahi orang yang seagama, menikahi orang yang mapan, menikahi orang satu bangsa, menikahi anak pejabat, menikahi orang yang berbeda jenis, yang segera diikuti dengan tuntutan untuk memiliki anak, tuntutan untuk memiliki anak lagi, dan seterusnya. Tuntutan bekerja pun bercabang menjadi tuntutan untuk kerja kantoran, tuntutan untuk kerja dengan gaji tinggi, tuntutan untuk kerja di kota yang nggak jauh-jauh dari orang tua, dan seterusnya.
Dengan gegabah, saya membuat kesimpulan kalau para penyusun teori perkembangan itu adalah mereka yang di usia dewasanya tunduk pada pakem-pakem sosial yang ada. Jadi ketika tuntutan beruntun itu datang, mereka mungkin nyantei-nyantei saja, ngikutin arus, leha-leha di teras minum kopi sambil bikin-bikin teori.
Praduga ngawur saya yang lain adalah lebih mudah menyoroti dunia remaja, menganggap mereka sedang berada di atas jembatan rapuh menuju sisi kedewasaan. Mana ada orang (yang umurnya cukup) dewasa yang mau dicap labil, kan? Ini juga yang akhirnya memunculkan istilah 'kenakalan remaja' atau 'juvenile delinquency' sementara orang-orang dewasa yang kelakuannya nakal gak dikasih istilah macam ini (masuknya kategori kriminal, tapi kriminalitas juga berlaku buat remaja, gimana tuh?)
Back to the topic, kegalauan para manusia dewasa muda ditambah lagi dengan semakin menciutnya lingkaran pertemanan. Kalau waktu remaja, galau dikit, tinggal kontak teman-teman, happy-happy deh. Begitu masuk usia dewasa, kita sibuk dengan kehidupan pribadi kita. Yang serius kerja sibuk dengan kerjaan, yang serius bikin anak juga sibuk ngurus ini itu. Mengumpulkan teman-teman dalam satu waktu harus siap dengan balasan: 'aduh, sorry, tanggal itu aku tugas ke luar kota', 'maaf nih, itu pas aku mau antar anak nonton badut', bla bla...
Di usia remaja kita lebih bebas pula berekspresi. Nangis sesenggukan tiga hari tiga malam gara-gara patah hati, menjadi hal yang bisa dimaklumi, teman-teman bahkan datang dan memberikan dukungan (termasuk ikut ngumpat-ngumpati). Lihat artis idola bisa teriak-teriak histeris, teman kita juga ikut loncat-loncat (walaupun nggak ngefans). Begitu masuk usia dewasa, teman-teman yang tadinya ikut melonjak kegirangan atau ikut mengumpat itu akan disibukkan dengan urusan mereka masing-masing.
Oh oh... tulisan ini bukan untuk menginspirasi pembaca untuk menghindari masa dewasa lho. Ini hanya gambaran soal tantangan yang akan dihadapi pembaca sekalian yang masih remaja, terutama yang akan segera memasuki gerbang usia dewasa. Expect the best and be prepared for the worst lah istilahnya, jangan lihat enaknya saja dari kehidupan dewasa.
That's all. Bye!
baca selengkapnya
Ya, silakan cari teori-teori psikologi tentang itu. Beberapa dari anda mungkin menyetujui teori tersebut dengan berkaca dari diri sendiri atau orang-orang di sekitar, termasuk anda yang sekarang masih berada di rentang remaja. Tapi bagi beberapa orang, termasuk saya, terutama yang sudah melewati masa remaja (beraaaat sekali mengakui ini hahaha...), mungkin akan berpikir lagi tentang benar tidaknya teori tersebut. Karena sebagai orang yang sedang berada di jenjang dewasa awal, stres dan badai tersebut saya rasakan lebih kencang dibandingkan dengan saat saya remaja. Dan bukan hanya saya, belakangan saya bertemu dengan beberapa kawan yang intinya sepakat dengan hal ini: masa remaja adalah masa storm and stress itu cuma mitos!
Kenapa saya dan kawan-kawan saya itu berkeputusan demikian? Karena pengalaman yang kami rasakan ya memang demikian.
"Sekarang kita mesti mikir hidup kita sendiri. Padahal masih bingung juga apa yang sebenarnya ingin kita lakukan," kata seorang kawan.
"Kayaknya, yang kita lakukan itu ya hanya bekerja untuk menunjukkan kepada orang lain kalau kita bisa. Bukan untuk diri sendiri," kata kawan yang lain.
Tuntutan dari lingkungan sekitar juga bukannya semakin hilang, justru semakin kuat. Tentang bagaimana kita menjadi manusia ideal, hmm uhuk.. yang mainstream. Tuntutan untuk menikah, tuntutan untuk bekerja, tuntutan untuk dewasa. Tuntutan-tuntutan dengan cabang tuntutan yang lebih banyak: tuntutan untuk menikah bercabang menjadi menikahi orang yang seagama, menikahi orang yang mapan, menikahi orang satu bangsa, menikahi anak pejabat, menikahi orang yang berbeda jenis, yang segera diikuti dengan tuntutan untuk memiliki anak, tuntutan untuk memiliki anak lagi, dan seterusnya. Tuntutan bekerja pun bercabang menjadi tuntutan untuk kerja kantoran, tuntutan untuk kerja dengan gaji tinggi, tuntutan untuk kerja di kota yang nggak jauh-jauh dari orang tua, dan seterusnya.
Dengan gegabah, saya membuat kesimpulan kalau para penyusun teori perkembangan itu adalah mereka yang di usia dewasanya tunduk pada pakem-pakem sosial yang ada. Jadi ketika tuntutan beruntun itu datang, mereka mungkin nyantei-nyantei saja, ngikutin arus, leha-leha di teras minum kopi sambil bikin-bikin teori.
Praduga ngawur saya yang lain adalah lebih mudah menyoroti dunia remaja, menganggap mereka sedang berada di atas jembatan rapuh menuju sisi kedewasaan. Mana ada orang (yang umurnya cukup) dewasa yang mau dicap labil, kan? Ini juga yang akhirnya memunculkan istilah 'kenakalan remaja' atau 'juvenile delinquency' sementara orang-orang dewasa yang kelakuannya nakal gak dikasih istilah macam ini (masuknya kategori kriminal, tapi kriminalitas juga berlaku buat remaja, gimana tuh?)
Back to the topic, kegalauan para manusia dewasa muda ditambah lagi dengan semakin menciutnya lingkaran pertemanan. Kalau waktu remaja, galau dikit, tinggal kontak teman-teman, happy-happy deh. Begitu masuk usia dewasa, kita sibuk dengan kehidupan pribadi kita. Yang serius kerja sibuk dengan kerjaan, yang serius bikin anak juga sibuk ngurus ini itu. Mengumpulkan teman-teman dalam satu waktu harus siap dengan balasan: 'aduh, sorry, tanggal itu aku tugas ke luar kota', 'maaf nih, itu pas aku mau antar anak nonton badut', bla bla...
Di usia remaja kita lebih bebas pula berekspresi. Nangis sesenggukan tiga hari tiga malam gara-gara patah hati, menjadi hal yang bisa dimaklumi, teman-teman bahkan datang dan memberikan dukungan (termasuk ikut ngumpat-ngumpati). Lihat artis idola bisa teriak-teriak histeris, teman kita juga ikut loncat-loncat (walaupun nggak ngefans). Begitu masuk usia dewasa, teman-teman yang tadinya ikut melonjak kegirangan atau ikut mengumpat itu akan disibukkan dengan urusan mereka masing-masing.
Oh oh... tulisan ini bukan untuk menginspirasi pembaca untuk menghindari masa dewasa lho. Ini hanya gambaran soal tantangan yang akan dihadapi pembaca sekalian yang masih remaja, terutama yang akan segera memasuki gerbang usia dewasa. Expect the best and be prepared for the worst lah istilahnya, jangan lihat enaknya saja dari kehidupan dewasa.
That's all. Bye!