Lima tahun lalu, saya dan seorang kawan dikirim ke sebuah pertemuan di Jakarta yang membahas isu pemiskinan. Pesertanya adalah remaja-remaja dari beberapa daerah di Indonesia dan dari beberapa negara di Asia Pasifik. Meskipun isunya luar biasa, tapi ada dua hal yang saya dan kawan saya tidak bisa lupakan dari pertemuan tersebut. Pertama, saat di hari terakhir kami diajak melakukan field visit ke bantaran Kali Ciliwung yang ujung-ujungnya cuma arak-arakan peserta naik perahu di kali tersebut. Memalukan. Saya dan kawan saya mungkin saat itu terlalu berharap. Namanya field visit ya bersosialisasi dan menggali permasalahan di sana, tidak bisa kami lakukan.
Kedua, adalah percakapan kami dengan satu peserta dari Jakarta di sarapan hari pertama. Saya dan kawan saya memperkenalkan diri, dan si peserta ini juga memperkenalkan diri sebagai seorang aktivis. Dengan gaya sangat bangga, menyebutkan satu organisasi internasional yang bergerak di isu lingkungan. Saya lalu bertanya, apa saja kegiatannya. Jawabnya: (kira-kira saja, soalnya buka memori 5 tahun lalu itu butuh energi luar biasa hehe..)
"Belum banyak sih... Ya bagi-bagi leaflet, ikut aksi, gitu-gitu lah..."
Saya dan kawan saya terdiam. Hening. Saya yakin saat itu kawan saya berpikiran sama dengan saya. Dan terbukti benar, karena belakangan, kami berdua tertawa terbahak-bahak membicarakan sang aktivis tersebut. Gayanya selangit, ngaku aktivis, kerjaannya bagi leaflet di jalan! Aktif bagiin leaflet, maksudnya? Maklumlah, saat itu, saya dan kawan saya sudah cukup lama bekerja di LSM dan masih merasa tidak pantas menyandang predikat aktivis.
Saya mulai berkecimpung di dunia LSM sejak saya kuliah. Dan baru berhenti beberapa bulan lalu. Bertahun-tahun di LSM, saya tidak hanya jadi tahu soal berbagai isu, tapi juga jadi tahu macam-macam LSM dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Ada LSM yang kerjaannya nyari donor tapi nggak ada hasil, ada LSM yang luar biasa mandiri dan mampu menjadi agen perubahan sosial, ada LSM yang sangat profesional, ada LSM yang penuh dengan kekeluargaan, ada juga LSM yang cuma plangnya doang. Demikian juga orang-orangnya. Ada yang cuma nongol setahun sekali terus udah ngaku aktivis itu tadi, ada yang kerja bertahun-tahun sampai jadi pimpinan tapi masih disangka office boy sama tamu baru, ada yang lebih sibuk koar-koar, ada juga yang lebih suka main di belakang panggung.
Well, kenapa saya menulis ini? Akhir-akhir ini pandangan orang terhadap LSM mulai berubah. Kalau dulu dianggapnya masuk LSM itu seperti ikut organisasi (beginilah ayah saya berpikir tentang LSM), sekarang berkegiatan di LSM juga sudah dianggap sebagai bekerja. Apa pasal? Belakangan, kerja di LSM itu sudah seperti kerja di kantoran. Beberapa LSM mulai dikelola dengan sangat profesional. Ada jenjang karir dan sebagainya. Tapi tentu saja, tidak ketinggalan intrik-intriknya, baik di dalam organisasi maupun antar organisasi (isunya beragam, dari mulai pergulatan idealisme sampai ke masalah sesepele tai kuku: rebutan lahan).
Perubahan pandangan ini membuat banyak orang lantas memutuskan untuk bekerja di LSM. Dan, orang yang sudah pernah bekerja di LSM juga mungkin akan berubah pandangannya terhadap LSM hehe..
Ada beberapa pertimbangan yang bisa anda lakukan sebelum mengambil keputusan bekerja di LSM. Ini murni hasil kreativitas saya, hanya berdasarkan observasi tanpa dukungan data-data sahih, jadi silakan kalau ada yang merasa tidak terima. Sesuai dengan judul postingannya, pertimbangan ini didasarkan pada kenapa kerja di LSM.
- Kalau niat anda bekerja untuk mencari uang, ya jangan di LSM. Beberapa orang yang saya tahu aktif berkegiatan di LSM, punya usaha sampingan yang jauh dari isu LSM nya. Atau ada juga yang sebaliknya, punya usaha sendiri dan menjadikan berkegiatan di LSM sebagai sampingan untuk menyalurkan sisi sosialnya. Realistis saja, perut perlu diisi, demikian juga dompet, pulsa, ruang tamu dan garasi. Bagi orang-orang yang saya sebut itu, kondisi nyata ini diakali dengan punya usaha sendiri itu tadi. Tapi bagi beberapa yang lain, punya cara mengakalinya sendiri: bergabung dengan satu LSM, bikin proposal, lalu setelah proposal diterima dan selesai urusan tanda tangan, sebelum menjalankan proyek, potong dulu budgetnya, sisakan untuk rekening pribadi dan tim sambil memikirkan bagaimana cara melaporkannya nanti ke sang donor. Tidak manusiawi? Ah, niatnya kan buat cari uang... Buka-bukaan sajalah, toh nyatanya, masih banyak orang yang menganggap negatif orang-orang yang bekerja di LSM, dianggap cuma jualan proposal atau jualan nasib orang lain. Tak ada asap kalau tidak ada api, nyatanya memang ada yang seperti itu. Tapi tentu, tidak semua.
- Kalau niat anda bekerja untuk cari pengalaman, ikut seminar dan konferensi di luar kota dan luar negeri, anda perlu usaha ekstra. Setahun dua tahun bekerja di LSM saja tidak cukup dijadikan modal untuk mengantarkan anda berkeliling nusantara dan dunia. Sadarlah, ada banyak orang yang sudah bekerja bertahun-tahun di LSM yang pastinya lebih layak kirim, kecuali anda bisa menunjukkan prestasi yang luar biasa dalam waktu cepat. Oya, semakin besar LSM anda, semakin kesempatan kemana-mana ini lebih besar, apalagi jika anda bergabung di organisasi internasional. Lagi, organisasi internasional selain mengandalkan referensi, juga akan melihat pengalaman anda bekerja di LSM lokal sebelumnya.
- Kalau niat anda bekerja untuk menyalurkan kemampuan anda, sah-sah saja. Biasanya, ini dilakukan oleh orang-orang yang punya kepedulian cukup terhadap permasalahan sosial, tidak terlalu peduli isu spesifiknya apa, tapi punya kemampuan teknis yang ingin disalurkan. Saya kenal beberapa orang seperti ini, bisa berpindah-pindah isu tapi konsisten pada bidangnya.
- Kalau niat anda bekerja untuk menjadi aktivis, gampang, bagi-bagiin aja leaflet di jalan dan ikut aksi (hehehe... tetep ya dibahas). Di otak saya, aktivis itu identik dengan popularitas. Label aktivis diberikan oleh orang lain. Jadi ya kalau ini memang tujuan anda, bukalah jaringan sebanyak mungkin dan konsisten dengan isu yang anda perjuangkan. Tentu, harus aktif. Namanya juga aktivis.
- Kalau niat anda bekerja adalah agar mendapatkan lingkungan yang nyaman, jam kantor yang lebih fleksibel dan pakaian bebas, maka selamat bergabung di LSM. Tapi ingat ya, jam fleksibel memang artinya anda tidak masuk kantor dari jam 8 sampai jam 4, namun konsekuensinya adalah anda bisa lembur sampai mampus atau weekend anda terganggu dengan pelatihan ini, pertemuan itu, belum lagi saat ada kasus atau event khusus.
- Kalau niat anda bekerja untuk mengabdi kepada masyarakat, tidak usah bekerja di LSM, tapi jadilah pegawai negeri. Eh? Bukannya PNS itu abdi masyarakat ya? Terserahlah... Tapi ini serius, kalau memang niatnya untuk melakukan sesuatu bagi banyak orang, LSM memang bisa memberikan jalan, tapi tidak melulu. Fenomena (cieh..) yang saya lihat adalah begini, banyak orang bergabung di LSM memang awalnya karena tertarik dengan isunya dan merasa terpanggil untuk berjuang di isu tersebut, tapi lama kelamaan, asiknya dunia LSM melarutkan mereka (halaah..), lebih sibuk ngurus laporan buat donor, lebih sibuk meeting dan konferensi, sampai yang paling parah, lebih sibuk ngumpulin duit, lupalah niat awalnya. Kalau anda sering nonton Kick Andy, kita bisa melihat banyak orang yang melakukan sesuatu bagi orang lain dengan jalan mereka sendiri-sendiri, bukan? Mereka bisa kita jadikan contoh bagaimana melakukan sesuatu untuk masyarakat tanpa terlibat dengan suatu organisasi atau LSM. Lebih tidak ribet mungkin iya, tapi modal yang diperlukan tentu lebih banyak, dari mulai waktu, tenaga bahkan dana karena kita akan lebih banyak bekerja sendiri.
Kesimpulan tulisan ini: Tidak ada. Sekian, terima kasih.