Semalam, untuk ketiga kalinya, saya menonton Devil Wears Prada. Kebetulan film itu yang ada di TV, dan saya sedang malas ngapa-ngapain selain menghabiskan minggu malam yang tersisa dengan berleha-leha di atas tempat tidur. Donal Bebek edisi terbaru ludes kurang dari 10 menit.
Saya suka akting Meryl Streep dan Anne Hathaway, tapi bukan tentang mereka saya akan bahas di sini. Juga bukan tentang dunia fashion, saya tidak bisa melihat perbedaan efek yang bisa ditimbulkan dari dua ikat pinggang dengan ukuran dan warna yang sama hanya kepala logamnya saja yang sedikit berbeda. Adalah sosok Andy Sachs, yang diperankan Hathaway, yang memberikan saya inspirasi. Plus, barusan menerima telepon dari seorang kawan di Jogja sana tentang kehidupannya sekarang. Ya, saya ingin menceritakan keduanya.
Andy dan kawan saya sama-sama memutuskan untuk berani keluar lingkungan yang membuat mereka tidak nyaman, walaupun pada awalnya, mereka berdua justru harus mati-matian agar bisa eksis dalam lingkungan tersebut. Perbedaannya adalah, pada kasus Andy, lingkungan tempat kerjanya adalah tantangan tersendiri bagi pribadi yang baru saja lulus kuliah dan mencari pekerjaan (identitas?). Dari awal ia sudah tahu bahwa lingkungan itu sangat bukan Andy. Tapi karena ia menerima tantangan untuk maju, ia berusaha sekuat tenaga untuk bisa diterima di lingkungan tersebut. Ada bayarannya tentu saja, perubahan pola hidup Andy ternyata berpengaruh pada relasinya dengan teman-teman dekatnya, termasuk pacarnya. Justru pada saat sang bos super dingin, Miranda (Meryl Streep), mengakui kelebihan Andy dan memberikan kepercayaan yang tidak dengan mudah diberikan pada orang lain, Andy melihat bagaimana 'kejam'nya dunia fashion, penuh dengan intrik, bahkan sampai merelakan retaknya hubungan pertemanan yang sudah lama dibina. Andy memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan tersebut.
Kisah kawan saya lain. Ia senang berorganisasi. Itu pula yang mempertemukan kami. Saya mengenalnya sebagai pekerja keras dan punya komitmen tinggi. Namun, ia akhirnya memilih untuk bersolo karir. Ya, sebetulnya masih terikat dengan satu organisasi, tapi sudah tidak sebanyak dulu. Organisasi yang ia pilih pun bergerak di isu yang sebetulnya tidak terlalu memiliki ikatan pengalaman dengan pribadinya, dibandingkan dengan organisasi-organisasi lainnya yang ia pernah bergabung. Pasalnya sederhana, sama dengan Andy, ia sudah tidak nyaman bekerja dalam isu-isu tersebut.
"Terlalu banyak aktor dan kepentingan." Begitu katanya.
Saya paham apa yang ia alami karena saya sekarang bekerja di isu yang terlalu-banyak-aktor-dan-kepentingan itu. Saya tahu rasanya bagaimana melihat orang berlomba-lomba ingin tampil, menunjukkan apa yang telah, sedang dan akan mereka lakukan. Naif kalau saya bilang kepentingan pribadi itu tidak penting bagi orang-orang yang bergerak di isu sosial. Sah-sah saja dan manusiawi, asal tahu batas dan bagaimana menyelaraskannya dengan tujuan besar yang mulia (gaungnya). Kawan saya tidak tahan dengan kondisi seperti itu, tau-tau ada orang yang sebelumnya entah dimana, tiba-tiba bikin kegiatan dengan isu yang menarik. Belakangan, kawan saya itu juga yang bantu-bantu, tapi ucapan terima kasih saja tak ia dapat.
Meninggalkan sesuatu yang membuat kita tidak nyaman seharusnya menjadi hal yang mudah, bukan? Samalah kalau kita tidak suka menginjak tai kambing, otomatis kita bergerak menjauh saat menemukannya di jalan yang sedang kita lalui. Tapi kenyataannya, tidak sesederhana tai kambing. Urusan menjauhkan kaki kita dari tai kambing, konsekuensinya paling kita hanya menambah langkah kita dua atau tiga langkah lebih banyak. Berapa energi yang kita keluarkan? Hampir tak terasa jika dibandingkan dengan kalau kita berjalan lurus-lurus saja. Sekali lagi, ini tidak sesederhana perkara tai kambing. Toh, tai kambing yang bagi kita hanya tai, bagi orang lain mungkin artinya berbeda (misalnya untuk petani yang membutuhkan tai kambing sebagai pupuk), apalagi untuk kambingnya (setidaknya, ia tidak harus membeli obat pencahar)
Bagi Andy, meninggalkan pekerjaannya adalah berarti banyak. Pertama, mungkin saja ada perasaan telah menyia-nyiakan usaha ekstra yang selama ini telah dilakukan, termasuk sampai kehilangan teman dan pacar. Kedua, tentu ada kekhawatiran apa yang akan dilakukan selanjutnya, apakah lebih mudah bagi kita untuk mencari pekerjaan baru? Apakah nanti kondisinya akan lebih baik atau justru lebih buruk? Bukankah dengan posisinya sekarang, hubungannya dengan Miranda, akan lebih mudah memperkirakan karirnya di masa depan akan lebih cemerlang?
Bagi kawan saya pun demikian, meninggalkan 'dunia'-nya sekarang berarti meninggalkan teman-teman kerja (ya tentu, masih bisa bertemu dalam agenda lain, tapi rasa bekerja bersama sudah tidak akan bisa dirasakan lagi). Bukankah dengan sejuta pengalaman dan jejak rekamnya di isu-isu yang ia tinggalkan itu, ia akan lebih dikenal lebih banyak orang, lebih eksis?
Keduanya, punya jawaban. Keduanya menatap masa depan dengan keyakinan. Andy tersenyum bahagia saat ia berjalan menjauhi Miranda dan melemparkan handphone-nya ke dalam kolam saat sang bos mencoba memanggilnya. Kawan saya, sudah siap dengan lebih banyak mimpi. Lalu saya? Hmmm... sepertinya saya sudah menginjak tai kambing. Tapi bukan berarti saya mau tai kambing itu terus-terusan menempel di sepatu saya.