Saya tidak akan mengajak anda yang perokok aktif untuk berhenti merokok. Karena sebagai perokok juga, saya tahu bagaimana sulitnya menghilangkan kebiasaan tersebut, bisa jadi memang sulit atau kita yang kurang niat. Saya mulai terbiasa merokok saat saya secara resmi meninggalkan seragam putih abu-abu. Sebelumnya, saya cuma merokok sekali dua kali, satu bungkus bisa tahan seminggu (buat yang perokok aktif, bisa dibayangkan sudah seperti apa itu rasa rokoknya...).
baca selengkapnya
Dulu, saya bisa merokok kapan dan dimanapun saya mau, kecuali ada orang tua karena belum mau ketahuan. Sekarang, saya bisa merokok bareng bapak saya, tapi tidak lagi merokok dimana-mana. Saya mengklaim diri saya sebagai perokok yang (sedang mencoba) untuk tahu diri. Ada beberapa tempat dan kondisi yang bagi saya akan lebih baik jika tidak menyalakan dan menghisap batang tembakau. Mungkin tulisan di bawah ini berguna bagi anda yang ingin mengubah sikap anda di tahun baru ini, lebih beretika dalam merokok. Kapan dan dimana saja saya tidak merokok?
Pertama, fasilitas umum. Namanya juga fasilitas umum, segala jenis manusia bisa ada di sana. Kita tidak pernah tahu mungkin saja satu atau beberapa di antaranya punya gangguan pernapasan yang akan sangat terganggu jika menghisap asap rokok. Resiko merokok biar perokok sendiri yang menanggung akibatnya, nggak usah ajak-ajak orang lain. Beruntung, larangan merokok sudah banyak diterapkan di tempat-tempat umum dan masih juga diberikan smoking room. Saya pernah ke Belanda yang punya aturan cukup ketat soal merokok ini. Di cafe dan restoran bahkan strictly forbidden, kalau mau merokok ya mesti keluar gedung, di pinggir jalan. Tantangan berat buat penikmat kopi dan rokok terutama saat musim dingin.
Selanjutnya adalah di angkutan umum. Biarpun angkutannya sekelas metro mini atau angkot, bukan berarti kita bisa bebas menghisap nikotin di dalamnya. Justru yang sekelas itu yang bagi saya pribadi sering terganggu dengan asap rokok. Eits, bukan karena saya perokok juga lantas hidung saja mau-mau saja menghisap asap dari mulut orang, apalagi kalau rokoknya nggak jelas, baunya nggak enak. Udara di dalam angkutan itu saja sudah tidak enak (bau khas angkutan yang jarang dicuci, keringat, debu dari jalanan plus asap knalpot), ya tidak usahlah ditambah-tambahi. Kalau anda memang benar-benar tidak bisa menahan karena jarak jauh, ya tawarannya naik angkutan AC yang punya smoking room atau sewa saja angkot untuk anda sendiri.
Untuk yang satu ini saya tidak pernah habis pikir kok ya ada yang niat nyalain rokok sebelum ngegas motornya. Saya dulu juga pakai motor kemana-mana, tapi tidak pernah bisa merasakan nikmatnya merokok sambil naik motor. Pertama, rokoknya bakal mubazir karena angin membantunya lebih cepat menuju puntung. Kedua, kadang bara kecilnya juga tertiup angin. Kalau terbang ke arah kita sendiri ya itu termasuk resiko perokok, nah bagaimana kalau terbangnya ke pengendara di belakang kita? Berlaku juga saat berkendara dalam mobil dan dengan asiknya buang abu ke jalan.
Bagi saya pribadi, tidak merokok di ruang ber-AC bukan soal AC atau tidaknya, soal teori embun dan segala macamnya, tapi dinalar saja. Ruang AC pasti tertutup, sirkulasi udara terbatas. Merokok di dalamnya cuma bikin pengap.
Saya juga menghindari merokok di dekat perempuan hamil. Saya bukan perempuan dan tidak bisa hamil. Tapi coba saja bayangkan diri kita sebagai perempuan hamil yang sedang sayang-sayangnya pada bayi dalam kandungan. Menjaga kesehatan jadi prioritas, dari mulai makan makanan sehat, pola hidup sehat, ikut senam ini itu, minum susu, istirahat dan segala macam demi menjamin bayi yang akan dilahirkan juga sehat. Eh kok ya bisa-bisanya perokok merusak niat baik sang perempuan? Maka bukan main kepala saya dibuat tergeleng-geleng saat bertemu perempuan dengan hamil tua yang santai-santai saja merokok. Duh! Kacau nih kampanye saya! Tapi saya yakin lebih banyak perempuan hamil yang tidak seperti itu. Oya, karena kita tidak bisa tahu perempuan hamil di usia kehamilan muda, saya juga mencoba untuk tidak merokok dekat perempuan (kecuali ya itu tadi, perempuan perokok juga).
Merokok di dekat anak-anak, apalagi bayi, juga bukan perbuatan bijak. Pertama, kemungkinan anak-anak akan meniru apa yang kita lakukan. Kebiasaan merokok bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Kedua, anak-anak berhak mendapatkan lingkungan yang sehat untuk pertumbuhan mereka (suara aktivis anak?). Sama juga halnya merokok di dekat orang yang sudah tua juga bukan hal yang patut.
Saya juga membiasakan diri untuk bertanya pada orang yang baru saya kenal, apakah dia terganggu dengan asap rokok, baru kemudian minta ijin apakah saya boleh merokok di depannya. Kalau jawaban dari pertanyaan pertama sudah menyiratkan ketidaksukaannya pada asap rokok, lebih baik kita simpan saja rokok dalam bungkusnya karena pertanyaan kedua sebetulnya hanya basa-basi. Budaya kita biasanya mengarahkan kita untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan, "Oh tentu saja, silakan!" tapi sambil mengumpat dalam hati. Jika kondisinya sedang berkumpul dengan banyak orang dan ingin sekali merokok, saya memilih untuk mundur sebentar daripada minta ijin satu per satu.
Yang terakhir, merokoklah saat kita memang siap mengeluarkan uang. Merokok butuh modal, kawan. Pengalaman pribadi saya, dulu ada teman yang perokok tapi jarang beli rokok. Biasanya minta atau main comot rokok yang tergeletak di atas meja. Sindiran sudah tidak mempan, ujung-ujungnya cuma jadi bahan gunjingan. Uang juga dibutuhkan bagi anda yang perokok tapi masih sedikit memedulikan kesehatan, untuk beli air putih untuk menambah persediaan oksigen dan buah sebagai antioksidan demi mengurangi dampak kebiasaan kita. Bagi anda yang belum kecanduan, ini bisa jadi pertimbangan. Tidak merokok demi penghematan, selain alasan kesehatan.
Kita yang memutuskan untuk merokok dan belum mau untuk menghentikan kebiasaan tersebut bukan berarti kita tidak bisa menunjukkan adab bersopan-santun. Kita berhak merokok tapi orang lain di sekitar kita juga berhak untuk menghirup udara tanpa asap rokok.
#sedang berpikir untuk berhenti merokok