Mudik lebaran ini sepi sekali. Bukan arus mudik yang saya maksud. Kereta masih saja dijejali penumpang, jalanan juga terus dipadati motor dan mobil. Entah kapan pemerintah mau serius menggarap PR tahunan ini. Mungkin bukan waktunya juga yang jadi soal, tapi perkara alat dan pendukung transportasi yang manusiawi masih pula menjadi mimpi di negara ini.
Karena saya kebelet pulang ke Jogja, saya putuskan ambil kereta bisnis, menghindari kejadian setahun sebelumnya naik ekonomi dan walhasil harus berdiri dari Bandung sampai Jogja. Taruh pantat saja tidak bisa. Rencananya saya akan reservasi di stasiun Cirebon untuk mendapatkan tiket balik, tapi ternyata ada masalah dengan jaringan internet antara Senen dan Cirebon. Tiga hari berturut-turut kemudian saya hubungi stasiun bisakah saya reservasi online. Ternyata untuk kereta bisnis yang saya pilih tetap tidak bisa. Mereka menyarankan saya ambil yang eksekutif. Mbahmu... Tapi akhirnya denga berat hati saya ambil juga haha... Miris! Saya kedinginan di dalam kereta (ini bukan soal kampungan atau tidak, tapi banyak penumpang juga mengeluh AC nya terlalu dingin), padahal saudara-saudara saya di kelas ekonomi mungkin hampir tak bisa bernapas. Saya temukan juga dua gerbong terakhir kosong melompong tanpa penumpang, padahal kawan-kawan saya di kelas ekonomi bahkan sampai duduk di dalam toilet berbau pesing atau di atas gerbong dengan taruhan nyawa. Oya, saya juga harus menunggu kereta yang terlambat satu setengah jam di stasiun yang penuh sesak. Ah negara ini...
Nah, sebetulnya saya tak ingin menulis soal transportasi mudik, tapi masih nyambung dengan tradisi tahunan ini. Saya pulang dan tak menemukan kawan-kawan saya, hanya satu dua orang. Biasanya saya dan beberapa kawan mendatangi rumah beberapa kawan lainnya di malam takbiran, bukan sekedar silaturahmi tapi juga membantu menghabiskan makanan sisa buka puasa terakhir hehe.. Tahun ini, beberapa kawan saya yang sudah menikah memilih berlebaran di kampung sang istri. Beberapa kawan saya yang lain jadi sulit ditemui karena harus ikut suami. Wedeh! Nah satu kawan lagi yang biasanya sudah datang beberapa hari sebelum lebaran, kali ini belum juga terlihat batang hidungnya bahkan sampai di satu hari sebelum lebaran. Saya kirim pesan, dia jawab tak serius. Persis gaya kami waktu SMA.
Di hari lebaran, pulang saya dari ziarah, bertemulah saya dengan orangtua kawan saya itu. Sang ibu bilang anaknya masih di perjalanan dari Bogor. Wah wah... sibuk betul kawan saya rupanya. Barulah di malam pertama lebaran, saya bertemu dengan sang kawan. Alkisah, sekarang dia bekerja di sebuah department store. Tak heran saya kalau dia baru dapat ijin cuti pas hari lebaran. Toko mana yang tak mau kehilangan untung besar menjelang lebaran?
Pembicaraan kami lantas bergulir soal posisinya di sana. Ia menjadi HRD di sana. Ialah yang bertanggung jawab pada proses rekruitmen karyawan. Kawan saya yang lain yang sepertinya sudah kebelet ingin kawin, langsung cerah ceria saat kawan HRD ini cerita soal SPG-SPG di tempat kerjanya. Saya maklum. Saya sendiri lebih tertarik dengan proses rekruitmennya.
"Ya, kami kerjasama dengan lembaga outsourcing. Tinggal pilih lagi aja," ucapnya bangga. Degh! Waduh lembaga outsourcing yang katanya seringkali melakukan pelanggaran hak pekerja!
"Terus yang kamu pilih yang gimana?" tanya saya.
"Ya yang sesuai kriteria. Termasuk tinggi badan. Kemarin baru aja kutolak seorang pelamar yang tingginya tak memenuhi. Daripada aku yang kena semprot pimpinan!" Dia tersenyum.
"Lho, kalau misalnya yang tinggi badannya tidak memenuhi tapi dia pekerja keras, ramah?" pancing saya. Kawan saya yang lain manggut-manggut, seperti sepakat dengan saya.
"Tak mau aku ambil resikolah! Aturannya sudah jelas!" kata kawan HRD saya.
"Aturan kan bisa diubah tho? Kamu dari bagian HRD bisa pula ikut kasih saran soal perubahan aturan. Atau mungkin aturan itu juga bagian kalian yang harus menyusun?" tanya saya. Kawan saya diam. Tak bisa saya terjemahkan maksud diamnya. Entah tak tahu jawabannya karena dia tergolong orang baru atau berpikir kenapa mesti repot-repot mengurus soal sepele seperti itu. Sepele buat dia tapi tidak buat orang-orang yang ditolak kerja gara-gara sentian.
Kalaupun penampilan pendukung, bekerja sebagai SPG tentu bukan hal mudah. Tahu sendiri bagaimana pandangan orang pada perempuan yang senang berdandan dan berok mini walaupun itu demi tuntutan kerja. Belum lagi harus berdiri berjam-jam dengan sepatu hak tinggi. Selalu pasang muka ramah walau hati mungkin sedang gundah gulana. Soal gaji? Ya tengoklah saat jam makan siang kemana mereka pergi. Mungkin untuk membeli barang-barang yang dijual di tokonya sendiri pun mereka harus berpikir beribu kali. Belum lagi harus menghadapi oom-oom usil tukang goda. Saya tanyakan pula soal cuti haid buat para SPG. Ternyata tak ada. Fuh!
Lalu bagaimana mereka mudik saat lebaran ya? Adakah THR untuk mereka? Cukupkah untuk membeli tiket pulang pergi dan sekedar oleh-oleh untuk keluarga di kampung? Haruskah mereka lagi-lagi berdiri selama berjam-jam walau kali ini tanpa high heels dan rok mini, tapi juga AC dan alunan musik digantikan gerah bau keringat dan tangis isak bayi yang berjejal di antara orang-orang?