Perempuan itu mengajak aku berbicara di satu senja. Tidak. Tidak di senja dengan lembayung mentari, juga tidak dengan gerimis hujan meruapkan bau tanah. Hanya senja biasa yang ramai oleh lalu lintas manusia. Tak ada kesan senyap membangkit nostalgi, apalagi romansa.
"Sudah kau dengar ada kabar tak sedap tentang suamiku?" tanyanya setengah berbisik. Aku tidak menjawab, hanya mengerutkan kening tanda tanya dan melihat wajahnya. Matanya memang tak sehitam dulu. Rambutnya yang ikal lebat kini mulai memutih. Flek-flek coklat tua sudah memberikan tanda usiaya tidak muda lagi. Separuh abad, namun masih menyisakan kecantikan.
"Tapi kau sudah tahu, bukan, bagaimana tabiat laki-laki itu di masa lalu?" tanyanya lagi. Aku mengangguk lemas. Enggan mengimajikan penderitaan yang aku sendiri sebenarnya tak pernah terlibat. Ia menghela nafas.
"Suamiku menikah lagi. Tidak... tidak... sekarang ia sudah menceraikan perempuan itu," katanya tanpa basa-basi. Sesak rasanya bagi aku yang sehari-hari bekerja di isu perempuan mendengar kisah seperti ini.
"Anak pertamaku mengamuk saat mendengar berita ini. Entah darimana. Si tengah memang lebih kalem, ia tidak bereaksi seperti kakaknya. Tapi ia mengatakan akan berdiri untukku jika suamiku tak menceraikan istri barunya. Si bungsu... Akh... Sepertinya ia memang tidak tahu, aku tak sampai hati memberitahunya. Kasihan kalau sampai dia tahu. Dari semua anak-anakku, hanya si bungsu ini yang aku lihat dekat dan menaruh hormat pada ayahnya. Berjanjilah kau juga tak akan memberitahunya!"
"Ya, aku berjanji," kataku setengah terpaksa. Rasa hormatku pada perempuan ini mengalahkan keinginanku untuk membukakan kotak hitam pada anak bungsunya. "Siapa perempuan itu? Kalau aku boleh tahu," tanyaku.
"Kau tidak mengenalnya dan tak perlu juga rasanya kau tahu siapa dia," ia melirik ke belakang. Mungkin untuk memastikan tak ada orang lain yang pasang kuping pada cerita ini. "Dia masih muda, mungkin hanya terpaut beberapa tahun di atas usia anak pertamaku. Sikapnya sok ramah. Tapi aku tahu bagaimana busuk hatinya!" nadanya mulai meninggi. Tunggu. Bukankah seharusnya yang ia salahkan adalah suaminya? Lupakah sang suami pada sumpah setia saat menikah tiga puluh tahun lalu, pada tiga anaknya yang beranjak dewasa, pada istrinya yang sabar?
"Entah apa pula yang ada dalam pikiran suamiku sampai menikah lagi," ia menjawab pertanyaan yang tertahan di benakku. "Aku mendengar kabar ini dari seorang kawan. Aku pikir hanya kabar burung. Dua tiga kawan lalu memberi kabar yang sama hingga aku memutuskan untuk menemui perempuan itu. Aku tanyakan kebenaran berita itu. Ia tak menutupi. Aku jelaskan bagaimana kondisi keluarga kami. Aku suruh dia melupakan angannya mendapatkan harta dari suamiku karena memang kini keluarga kami tak lagi seperti dulu. Perempuan itu, dengan sikap dibuat-buat yang membuatku muak, mengatakan bukan harta yang dia cari. Cih! Pembual!" aku tertegun mendengar luapan emosinya. Kesabaran yang selama ini ia agungkan rupanya tak mampu menahan geram amarahnya.
Aku tahu sejarah keluarga ini. Dulu mereka orang terpandang. Bahkan sisa kejayaannya masih nampak dari bagaimana orang lain memperlakukan mereka. Sang suami dulu adalah pejabat. Untuk ukuran kota kecil, menjadi pejabat adalah posisi yang membuat seisi kota menaruh hormat. Apalagi sang suami tidak memiliki jejak korupsi atau kejahatan lain yang lazim dilakukan pejabat di negeri ini. Pejabat bersih. Kekayaan yang ia miliki bukan dari uang rakyat, tapi dari usahanya sendiri. Adalah sang istri yang awalnya hanya mencatatkan nama sebagai pemilik perusahaan mereka yang lantas justru berperan besar dalam memutarkan roda-roda perusahaan menuju kesuksesan.
Terdengar kabar di jabatan terakhirnya, sang suami sibuk mengorek kasus korupsi yang terjadi di lembaganya, sisa peninggalan pejabat sebelumnya. Dia juga menolak menerima fasilitas yang diberikan negara atas posisinya, kecuali mobil dinas karena ia tak lagi berkendaraan setelah krisis menerpa keluarganya. Dari si perempuan jugalah aku tahu krisis itu muncul karena sang suami tak pandai berhemat dan keliru berinvestasi.
Bagaimana menurunnya gemilang keluarga ini bisa terlihat dari tempat aku ada sekarang, sebuah rumah sempit di pinggir jalan raya. Bagian depan rumah difungsikan menjadi toko kecil-kecilan, sama seperti rumah-rumah di sekitarnya. Rumah Cina kalau orang sini bilang. Kontras dengan rumah mereka dulu yang besar bertingkat dua, dengan dua kolam luas di samping dan belakang rumah. Halaman depan tak kalah luasnya. Bersanding dengan rumah-rumah di kiri kanannya, ia tampak seperti istana.
"Aku mengatakan pada perempuan itu, jika sampai ia muncul di rumahku atau anak-anakku tahu berita ini dari mulutnya atau mereka menjadi sengsara karena apa yang sudah dilakukan oleh ayahnya, aku tidak akan tinggal diam. Ia berjanji tak akan melakukannya. Segera aku tahu perempuan ini bukan perempuan baik-baik, ia tak bisa memegang janjinya sendiri," kata perempuan itu membuyarkan lamunanku. Matanya mulai basah. "Perempuan mana yang ikhlas suaminya menikah lagi?" pertanyaannya tak perlu kujawab.
Aku justru tersenyum simpul mengingat perempuan ini senang sekali mendengarkan khotbah Aa Gym yang belakangan mendeklarasikan perpoligamiannya.
"Aku ucapkan selamat pada suamiku atas pernikahannya," katanya lagi. Aku tercekat. Luar biasa perempuan ini. "Ya... aku melakukannya. Dan aku menyuruh suamiku memilih, aku atau dia. Ha... suamiku lantas berlutut dan memohon ampun. Ia mengatakan akan menceraikan istri barunya," air matanya kini menetes. Mungkin ia teringat pada keberanian yang ia kumpulkan untuk melakukan itu harus diperas dari sakitnya menahan rasa.
"Kakakku meneleponku tidak lama kemudian. Ternyata meski tinggal di kota lain, berita itu sudah pula sampai ke telinganya. Ia sedikit menyalahkanku karena aku tidak berterus terang atas apa yang terjadi pada keluargaku. Aku katakan saja, ini adalah urusan keluargaku, sekarang masalahnya sudah selesai. Dan lagi apa yang akan ia atau saudara-saudaraku lakukan untuk membantuku? Menjadi bahan guncingan sudah pasti," lelehan air mata kembali menyeruak dari sudut matanya.
"Sekarang... tak kau lihat perubahan berarti dalam keluarga kami, bukan?" katanya sambil menyeka air matanya. Perempuan ini. Sendiri menghadapi masalahnya. Entah karena keikhlasan hidupnya pada Tuhan yang ia sembah setiap hari atau hanya demi melihat keluarganya tak tercerai berai, ia mampu memaafkan suaminya. Sang suami mungkin lega, tapi sadarkah ia telah menumbuhkan benih tidak percaya pada anak-anaknya? Tak tahukah ia sudah melakukan kekerasan psikis pada istrinya? Bagaimana jika justru si istri yang menikah lagi? Adakah ia memiliki hati sebesar si istri?
Perempuan itu lalu berdiri menyambut seorang bocah laki-laki yang baru pulang sekolah. Menyapa hangat dan menebarkan senyum. Tak tampak ia baru saja menceritakan kisahnya yang justru kini membuat aku berusaha menahan jatuhnya air mata. "Sini, Nak, Nenek kenalkan dengan tamu nenek," ujar perempuan itu sambil membantu melepaskan tas punggung si bocah.
(*tulisan ini saya persembahkan untuk perempuan-perempuan di peringatan International Women's Day 2010. Hentikan kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apapun!)