Saya mendengarkan sebuah lagu yang dibawakan band (mungkin baru, mungkin juga tidak tapi saya belum pernah mendengar sebelumnya) The Cangcuter (entahlah cara menulisnya seperti apa, tidak penting). Miris.. dengan judul Racun Dunia, liriknya berteriak-teriak ...wanita racun dunia... Ya, mungkin si penulis lirik, sedang sakit hati terhadap perempuan, dan menjadi maklum untuk meneriakan sakit hatinya tersebut lewat musik. Memalukan saya rasa. Di saat banyak orang berteriak untuk mengangkat harga diri perempuan, eh si band satu ini seenaknya aja ngobrak-ngabrik dengan mengata-ngatai perempuan adalah racun dunia. Mirisnya, saat band tersebut perform di sebuah statsiun TV, banyak remaja yang ikut bernyanyi dengan penuh semangat. Benar-benar racun dunia, bukan.. bukan perempuan yang racun, tapi band nya yang racun. Bagaimana musik sebenarnya merupakan sebuah lifestyle yang akan diadopsi oleh para pendengarnya. Dan dengan gaya norak mereka, saya yakin lebih banyak remaja yang sudi mendengarkan lagunya, jadi akan lebih banyak lagi remaja yang te"racun"i. Herannya, kok ya para kaum perempuan santai-santai aja. Di sebuah radio, penyiar perempuannya dengan senang hati memutar lagu itu. Tanpa beban..
Saya ingin menawarkan personel band (kalau memang cukup pintar menggunakan teknologi internet dan mau meluangkan waktu untuk membaca bacaan-bacaan yang benar) untuk secepatnya mengganti liriknya, tapi saya rasa, labelnya akan marah besar karena produk penghasil uangnya harus dihilangkan dari pasaran yang menggiurkan (baca: remaja).
Dari kasus (sebenarnya tidak layak disebut kasus) The Cangcuter ini, sebenarnya kita bisa melihat banyak hal tentang konsep gender yang masih sangat bias di Indonesia. Sayangnya, konsep kesetaraan gender yang berusaha untuk mengangkat harga diri perempuan, belum didukung sepenuhnya bahkan oleh kaum perempuan sendiri. Banyak orang, laki-laki maupun perempuan atau bahkan transgender, merasa tidak dirugikan, atau mungkin diberikan keuntungan, oleh budaya yang selama ini ada di masyarakat (baca: patriarki). Beberapa hari lalu, contohnya, saya mengikuti sebuah diskusi panel tentang sinergitas gerakan HIV-AIDS, gerakan perempuan, dan gerakan HAM. Ada seorang ibu yang memberikan pendapat, untuk mengurangi penyebaran HIV-AIDS dan mengurangi kemungkinan si laki-laki berpaling ke lain vagina, si ibu menawarkan poligami, seperti yang disunahkan Nabi Muhammad SAW. Jelas si ibu belum paham penjabaran sunah nya seperti apa (tapi saya kaget juga karena si ibu sebenarnya mewakili sebuah organisasi keagamaan). Wah.. kalau kayak gini caranya, berarti perempuan lagi yang harus berkorban, memasrahkan hatinya untuk melepas sang suami mencari 3 vagina berikutnya.
Saya terus ingat ibu dan adik perempuan saya, apakah mereka juga tahu tentang konsep kesetaraan gender. Adik saya belum mau memakai jilbab di usia 19 tahun, padahal lingkungan tempat saya tinggal sangat menganjurkan perempuan untuk menutup auratnya. Entah, apakah adik saya tidak memakai jilbab karena malas, dianggap tidak gaul, atau sang adik sudah memiliki bibit pemikiran feminis yang lebih kritis terhadap pemakaian jilbab. Ibu saya? Beliau memakai jilbab karena begitulah yang beliau yakini dari agama yang dianutnya, tentu saja tanpa ada waktu mengkritisi soal perjilbaban itu karena terlalu sibuk mengurus empat anaknya dan membantu suaminya menambah penghasilan. Double burden kalau istilah kerennya. Dan anaknya yang di luar sana berteriak-teriak soal ketimpangan gender, tidak bisa berbuat banyak karena relasi orangtua-anak yang tidak setara. Bagaimanapun, saya sangat menghargai ibu saya. Bukan hanya karena beliau sudah mengijinkan rahimnya saya tempati selama 9 bulan, lalu melahirkan saya dan memberi saya air susunya (sayang sekali saya tidak pernah mendapatkan bukti nyata apakah saya benar-benar dikandung, dilahirkan, dan disusui oleh beliau, saya cukup percaya pada apa yang dikatakan keluarga saya), tapi karena saya melihat beliau sebagai orang yang selalu berbuat baik, lebih mementingkan orang lain (termasuk anak dan suami) dibandingkan dirinya sendiri, mandiri, berjuang untuk hidupnya. Maka saya sangat tidak rela jika ada band kacangan yang dengan ringannya berteriak.. "wanita racun dunia.."