Beberapa tahun lalu, saya pernah diajak berdiskusi oleh seorang kawan tentang bagaimana merancang pelatihan atau workshop untuk menumbuhkan penghayatan yang mendalam akan identitas diri bagi komunitas-komunitas yang selama ini termarginalkan. Tujuannya untuk meningkatkan greget perjuangan mereka atas identitas mereka sendiri.
Saat itu saya merasa, lebih mudah melakukan pelatihan semacam itu untuk komunitas gay dan waria. Alasan saya adalah untuk komunitas gay dan waria adalah karena saya percaya kalau orientasi seksual dan identitas gender itu given, tapi kemudian dipelintirkan oleh sebagian orang melalui doktrin dan kekuasaan sehingga muncul istilah penyimpangan dan sebagainya dan akhirnya nilai-nilai ini yang terinternalisasi. Pelatihannya bisa dirancang dengan memberikan kesadaran akan hal ini.
Baru saat mendiskusikan bagaimana merancang pelatihan semacam ini untuk perempuan-perempuan yang ada dalam prostitusi, kami kebingungan. Saat itu, organisasi kami percaya bahwa pekerjaan mereka adalah profesi. Saya mengamini pandangan tersebut karena mimpi besarnya adalah agar perempuan-perempuan tersebut mendapatkan perlindungan selayaknya profesi lain. Namun jujur saja, di hati kecil saya masih ada yang mengganjal. Bukan, bukan ukuran moral yang membuat amin saya tidak seratus persen. Saya tidak punya hak menghakimi orang yang satu lebih bermoral dari yang lainnya. Tapi fakta yang sering saya temukan saat saya berkomunikasi dengan perempuan-perempuan ini adalah kebanyakan dari mereka sebetulnya tidak menginginkan apa yang sedang mereka kerjakan. Bisa dibayangkan, bukan, bagaimana sulitnya membuat orang yang tidak ingin melakukan sesuatu kemudian kita ajak untuk merasa bangga pada apa yang mereka lakukan itu?
Saya masih belajar tentang feminisme. Sebagian feminis berpendapat bahwa bekerja dalam prostitusi adalah hak manusia (dus, membeli seks juga adalah hak). Klaimnya adalah setiap manusia berhak untuk mengekspresikan dirinya dan berdaulat penuh atas tubuhnya atau yang lebih dikenal dengan istilah hak otonomi tubuh. Pekerjaan seks adalah pilihan yang valid bagi perempuan dan laki-laki yang memilih untuk terlibat di dalamnya. Dalam pandangan ini, prostitusi harus dibedakan dari pelacuran paksa, dan feminis harus mendukung kegiatan-kegiatan pekerja seks yang menentang baik itu industri seks maupun sistem hukum. Pandangan ini yang kemudian saya jadikan pegangan untuk memperjuangkan diakuinya pekerja seks sebagai profesi. Namun tetap saja, dialog-dialog dengan perempuan-perempuan ini, seringkali membuat otak saya bergelut sendiri. Masih ada yang mengganjal.
Ganjalan itu berlubang kunci pada kata “pilihan”. Benarkah ada perempuan-perempuan yang dengan penuh kesadaran memilih untuk terlibat dalam prostitusi? Ya saya tidak bisa menutup mata mungkin saja memang ada yang seperti itu, tapi apakah mayoritas memang seperti itu? Alasan tidak punya skill dan pendidikan adalah yang paling banyak saya dengar, dengan latar belakang keluarga miskin atau pernah mengalami kekerasan. Dengan kondisi-kondisi tersebut, seberapa bebas kita bisa memilih? Ya, orang bisa gampang saja bilang, “Kenapa tidak jadi pekerja rumah tangga saja atau tukang cuci atau ini atau itu!” Nyonya dan Tuan yang berani bilang seperti itu, silakan merekrut pekerja rumah tangga sebanyak mungkin yang anda bisa. Lapangan pekerjaan tidak semudah didapat seperti yang Nyonya dan Tuan yang punya pendidikan bisa dapatkan.
Kembali ke soal perspektif, dari temuan-temuan saya, dan diskusi-diskusi pada bulan-bulan terakhir tentang isu ini, saya mulai memegang cara pandang lain. Masih feminisme juga, tapi alih-alih mendukung prostitusi, perspektif ini melihat prostitusi sebagai bentuk eksploitasi perempuan dan dominasi laki-laki atas perempuan, dan praktek yang merupakan hasil dari tatanan sosial yang ada: patriarkal. Kelompok feminis di jalur ini berpendapat bahwa prostitusi memiliki efek yang sangat negatif, baik pada perempuannya maupun masyarakat secara keseluruhan, karena memperkuat pandangan stereotip tentang perempuan, yang dipandang sebagai obyek seks yang dapat digunakan dan “disalahgunakan” oleh laki-laki. Saya juga mulai mempelajari sumber dan akar prostitusi perempuan.
Pandangan ini memperkuat apa yang saya temukan di lapangan, kebanyakan perempuan yang dilacurkan (begitu istilah yang kemudian akan banyak saya gunakan) berasal dari kelompok yang dirugikan secara sistem: miskin dan berpendidikan rendah. Soal kenapa mereka miskin dan berpendidikan rendah, ya balik lagi, sudah setarakah kesempatan bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan?
Setelah perempuan ini masuk ke dalam prostitusi, keadaannya tidak serta merta baik-baik saja. Perlu diingat saat anda membayangkan perempuan yang dilacurkan jangan melulu dibayangkan perempuan berpakaian mini, dengan make up tebal, memakai high heels, tubuh terawat dan gaya hidup mewah. Ya mungkin bisa anda temukan yang seperti itu, termasuk di sinetron dan film. Tapi ada lebih banyak yang kondisinya jauh dari yang anda bayangkan. Uang tak seberapa yang mereka dapat, setelah dibagi dengan mucikari dan keamanan lokal, tak sedikit pula yang dikirim ke keluarganya (saya pernah tahu, ada yang cerita uangnya digunakan untuk pendidikan anak-anaknya sampai bisa kuliah). Belum lagi kalau tahu-tahu ada razia dimana mereka ujung-ujungnya harus membayar sekian rupiah. Itu baru dari sisi ekonomi. Pelecehan dan kekerasan kerap terjadi, baik dari pembeli bahkan aparat, yang rata-rata laki-laki. Jarang pula kan kita dengar ada razia laki-laki pembeli seks? Oya, tambahan lagi, untuk urusan kesehatan, mungkin sudah ribuan pelatihan dilakukan bagi perempuan yang dilacurkan soal kondom dan bagaimana benda tersebut bisa melindungi tubuhnya dari infeksi menular seksual. Tapi kalau laki-laki menolak memakainya, apa bisa buat? Memaksa laki-laki ini tapi si laki-laki malah lari cari perempuan lain yang mau bertransaksi tanpa kondom, yang artinya bekurang pendapatan bagi perempuan yang mempromosikan kondom? Kalau sudah seperti ini, apakah perempuan ini punya hak berekspresi dan punya kedaulatan penuh atas tubuhnya?
Karena itu saya sekarang berani bilang, perempuan yang berada dalam prostitusi adalah korban, mereka dilacurkan oleh sistem yang ada: pemiskinan dan ketimpangan gender. Tentu saja, bukan berarti saya tidak mendukung jika prostitusi akan diperjuangkan sebagai profesi karena alasan otonomi tubuh. Saya akan mendukung, tapi dengan syarat: jika kondisi perempuan sudah setara dengan laki-laki, jika semua perempuan sudah mendapatkan hak asasi mereka sebagai manusia dalam pendidikan, kesehatan, perlindungan hukum dan pekerjaan sehingga mereka memiliki kebebasan lebih untuk memilih dan menentukan hidupnya.
Terakhir, saya kutip dari wikipedia, dimana seorang mantan perempuan yang dilacurkan di Kanada, dan sekarang menentang industri tersebut, menulis: “Anda tidak dapat membuat prostitusi menjadi lebih aman; prostitusi adalah kekerasan dalam dirinya sendiri. Prosititusi adalah perkosaan, uang hanyalah alat untuk menenangkan rasa bersalah laki-laki”.
tulisan yang hidup dan berani..
BalasHapussalam kenal dan follow juga ya
Gerakan Hibah sejuta buku blogger Indonesia
terima kasih! wah dari gerakan hibah sejuta buku ya?
BalasHapus