Persoalan anak dan cucu itu yang penting. Atau kasarnya, urusan beranak pinak. Tanpa yang satu itu, tak mungkin planet ini sekarang dipenuhi oleh manusia (sebetulnya sih nggak sesak-sesak banget) dengan segala kreativitasnya. Dari yang awalnya sesederhana yaitu meneruskan keturunan, persoalannya menjadi rumit saat garis keturunan menjadi hal penting demi menunjukkan kepemilikan harta waris dan kebanggaan kelompok tertentu. Alasannya apalagi kalau bukan untuk melindungi sumber daya. Maka munculah pembagian peran perempuan dan laki-laki, aturan pernikahan, undang-undang perkawinan. Tidak cukup sampai di situ, karena seksual adalah dorongan alami manusia yang kadang-kadang kurang bisa dikelola dengan baik (sama seperti dorongan lapar yang kalau tidak dikelola dengan baik, apapun yang ada di depan mata kita lahap juga, punya orang diembat juga), muncul juga aturan ini itu untuk membatasi ekspresi seksual, yang sayangnya seringkali merugikan pihak tertentu, terutama perempuan.
Sudah menjadi rahasia umum juga kalau di balik politik dunia, seksualitas punya peranan yang tidak kecil. Dari yang soal anak selir diangkat menjadi raja, penguasa Eropa yang takluk karena cintanya pada seorang Ratu di Afrika Utara, seorang diktator yang membantai jutaan etnis tertentu dan dikabarkan berpenis mini (dalam psikologi ada aliran yang percaya kalau hal ini bisa membentuk kepribadian ingin ‘menguasai’, salah satu bentuk pertahanan diri), mantan perdana menteri yang dituduh melakukan pelecehan seksual sesama jenis pada bawahannya, dan sebagainya. Dari sisi ekonomi, seksualitas bermain dari mulai yang kasat mata seperti prostitusi, perdagangan manusia dan bisnis seks lainnya, sampai ke yang tidak kasat mata seperti menjual produk dengan menampilkan tubuh-tubuh yang dianggap seksi, meskipun produknya tidak ada kaitannya sama sekali dengan tubuh yang dianggap seksi tersebut.
Masih hangat di benak kita soal maraknya kasus perkosaan di angkutan umum beberapa waktu lalu. Juga tentang pembunuhan berantai yang sebetulnya bisa dilakukan oleh siapapun, tapi media menganggap beritanya akan lebih seksi jika orientasi seksual si pelaku yang leboh disorot. Pelecehan, kekerasan, diskriminasi berbasis jenis kelamin, orientasi seksual dan identitas gender masih banyak ditemukan. Belum lagi soal kontroversi lateks bernama kondom, kasus infeksi menular seksual, kematian ibu saat melahirkan, pernikahan di bawah umur, sunat perempuan, aborsi, dan yang terakhir soal hubungan perdata anak dengan bapaknya tanpa memandang status perkawinan orang tuanya dan banyak isu lain yang silang sengkarut dengan urusan moral, ilmu pengetahuan dan kekuasaan.
Nah, karena kompleksnya isu seksualitas, sampai-sampai sebuah lembaga payung besar yang berpusat di London perlu mendeklarasikan hak seksual, yang menjamin terpenuhinya hak asasi manusia dalam hal seksualitas. Ugh, mungkin di benak kita muncul pikiran, “Lagi-lagi kebarat-baratan, HAM lah, hak ini lah, hak itulah,” Tapi tak ada salahnya tho kita tahu, toh tujuannya baik, untuk memberikan perlindungan bagi manusia sebagai makhluk seksual. Syukur-syukur, hak-hak ini bisa diadopsi negara-negara di dunia, diterjemahkan lewat ratifikasi atau dimasukkan sebagai penunjang kebijakan yang sudah ada atau akan dikembangkan.
Adalah IPPF (International Planned Parenthood Federation), lembaga yang fokus pada isu kesehatan reproduksi dan seksual dan memiliki jaringan di 170 negara termasuk Indonesia, yang menyusun kemudian sepakat medeklarasikan hak-hak seksual ini pada Mei 2008. Diawali dengan menjadikan deklarasi ini sebagai alat advokasi internal yang mengikat lembaga-lembaga yang bergabung di lembaga tersebut, IPPF juga secara terus menerus membuat lobi dan merekomendasikan hak-hak ini kepada lembaga-lembaga PBB dan dalam pertemuan-pertemuan internasional.
Secara garis besar, terdapat 7 prinsip dasar dan 10 pasal yang termuat dalam deklarasi tersebut dengan tujuan untuk menghormati, melindungi dan memajukan hak dan kesehatan setiap orang, tanpa ada diskriminasi. Sepuluh hak-hak seksual tersebut adalah:
- Hak kesetaraan, perlindungan yang sama di muka hukum dan bebas dari semua bentuk diskriminasi yang berdasarkan jenis kelamin, seksualitas dan gender
- Hak berpartisipasi bagi semua orang tanpa memandang jenis kelamin, seksualitas dan gender
- Hak hidup, merdeka dan terjamin keamanan (dan kenyamanan) dirinya secara utuh
- Hak atas privasi
- Hak otonomi pribadi dan pengakuan hukum
- Hak berpikir bebas, berpendapat, berekspresi dan berserikat
- Hak sehat dan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan
- Hak pendidikan dan informasi
- Hak menetapkan pernikahan, merencanakan keluarga dan memutuskan tentang anak
- Hak pertanggungjawaban dan ganti rugi
Untuk lebih lengkapnya, anda bisa mendownload deklarasi tersebut di sini. Tersedia juga dalam Bahasa Indonesia (meskipun terjemahannya kurang baik dan banyak typo).
Setuju atau tidak setuju pada deklarasi tersebut, hal paling dasar soal seksualitas ini adalah kita menyadari bahwa kita adalah makhluk seksual yang punya hak atas seksualitas kita, namun tentu saja, memiliki kewajiban untuk mengelola seksualitas kita agar tidak menghalangi terpenuhinya hak orang lain. Negara diperlukan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak ini bagi seluruh warganya, tanpa kecuali.
"Hak sehat dan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan"
BalasHapusmungkin ini bgn dri sex education yg msh dblang tabu
Yup, betul sekali, eMingko. Udah gak jamannya lagi pendidikan seksual itu tabu. Yang masih bilang kalau pendidikan seksual cuma akan mengarahkan ke perilaku seks yang tidak terkontrol itu orang yang pikirannya udah porno duluan hehe.. thanks for comment, salam kenal.
BalasHapusawal-awal ngakak duluan.
BalasHapusiya, suka ada anggapan kalo yang berasal dari barat pasti negatif.
kayaknya hak yang ke 2 yang masih sangat belum terpenuhi.
awal-awal udah buka ritsleting ya lo mat? hahaha...
Hapus