11 Februari 2014

Move On Itu Sebagian dari Iman

Siapa saya berani-beraninya bicara soal iman? Sadar akan jarak yang terbentang antara diri saya dengan praktik dan ritual keagamaan, saya memahami keimanan tidak hanya melekat pada agama. Keimanan bagi saya lebih menjurus pada spiritualitas, pada pemaknaan diri, hidup dan hubungannya dengan alam sekitar. Tentang nilai-nilai kebaikan, kebahagiaan dan perdamaian serta bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tunggu. Niat hati ingin menulis yang ringan-ringan, kenapa malah terjebak ngomongin spiritualitas? Haha…

Ok, jadi kenapa saya bilang ‘move on itu sebagian dari iman’? Nah, itulah alasan saya mesti menjelaskan sedikit soal ‘iman’ itu lebih dulu, daripada para fundamentalis agama yang over-protective teriak-teriak karena konsep ‘iman’-nya saya ambil alih. Iman itu, seperti yang sudah saya bilang, adalah soal pemaknaan diri, tentang kebahagiaan, perkara kekuatan untuk mengelola diri dan mencari kebahagiaan itu. Jadi tentu saja, ada hubungannya dengan move on. Gagal move on seringkali menyiksa hati dan membuat hari-hari kelabu, maka move on itu ibarat tiket untuk memulai lembar baru, yang penuh harapan akan diri yang lebih bahagia.

Ada satu teman yang bertahun-tahun susah move on. Oh, tunggu dulu, saya mesti garis bawahi juga ya move on yang dibahas ini adalah move on soal urusan hati alias cinta. Bolehlah saya sambung-sambungkan dengan perayaan hari kasih sayang beberapa hari lagi. Maksa? Terserah. Hehe… Ok, kembali ke kasus teman saya tadi itu. Saya mungkin terdengar seperti menghakimi kalau dia susah move on. Tapi bagaimana tidak, kalau hampir dalam setiap percakapan selalu mengajak serta memori tentang mantannya. Jujur saja, kadang bosan mendengarnya. Sedih juga melihat terawang matanya saat ingatannya terpaku pada sang mantan. Sebagai teman, saya cuma bisa kasih saran ini itu. Saran paling gampang, “Cari yang baru kek!” Gawat! Itu bukan solusi karena masalah gagal move on tidak sesederhana itu. Bagaimana kalau teman saya akhirnya hanya mencari pelampiasan?




Seminggu lalu saya nongkrong dengan teman lain. Bahasannya cukup berat. Tidak… tidak… kami tidak membicarakan nasib bangsa yang sedang krisis ini itu. Tapi soal lain. Teman saya awalnya bertanya,

“Apa tujuan hidupmu?” Otak saya berputar keras sekali. Itu karena saya hampir tidak pernah memikirkannya. Akhirnya yang keluar dari mulut saya adalah,

“Menjadi bahagia.”

Topik lalu berganti soal kebahagiaan, manakah yang lebih bahagia: berpasangan atau sendiri. Pendapat saya adalah tidak ada yang lebih di antara keduanya. Tanpa pasangan bisa bahagia, berpasangan juga bisa. Cuma bentuknya saja yang berbeda.

Nah, perkara gagal move on bisa jadi karena kita salah mempersepsi kebahagiaan itu. Saat kita menganggap kebahagiaan adalah dengan memiliki pasangan, boleh jadi saat hubungan kandas rasanya seperti akhir dunia. Apalagi kalau kita menganggap kebahagiaan kita adalah pasangan kita itu. Dialah yang memberikan kebahagiaan bagi kita. Bisa ditebak bagaimana jadinya kalau dia tiba-tiba pergi meninggalkan kita.

Lalu saya juga baca di artikel ini tentang attachment figure, sosok yang paling kita andalkan dalam memberikan dukungan dan kasih sayang. Adalah kebutuhan dasar manusia untuk ‘memiliki’ seseorang yang bisa kita percaya dan dapat kita andalkan. Pada orang yang berpasangan, seringnya pasangan itulah yang menjadi attachment figure yang utama. Maka wajar jika proses ‘melepaskan’-nya saat putus atau cerai tidaklah mudah.

Tidak mudah bukan berarti tidak bisa lho ya. Asal ada kemauan, pasti ada jalan. Kecuali kalau kita lebih senang hidup bergumul dengan drama dan air mata. Tidak jarang pula, bukan, orang yang gagal move on akhirnya malah menutup hati pada kehadiran orang lain dan aktivitas sehari-harinya terganggu, termasuk kehidupan pertemanan karena gencarnya status galau di jejaring sosial. Move on adalah pilihan terbaik untuk menata ulang hidup kita dan menunjukkan kemampuan kita untuk memaknai positif diri kita sendiri dan positif tentang konsep kebahagiaan. 

Cukup, segera ke bagian praktis saja: bagaimana caranya move on dari mantan dan hubungan masa lalu? Berikut beberapa tips yang bisa dicoba (saya campur-campur dari artikel yang sama dan dari artikel lain yang bisa diintip di sini dan di sini):

  • Percayalah kalau kebahagiaan bukan ada di pundak mantan. Bukan pula di hubungan yang sudah tutup buku itu. Kebahagiaan itu ada dalam diri kita sendiri. Kita yang menciptakan kebahagiaan.
  • Sayang sekali memori dalam otak kita tidak bisa dihapus secara permanen. Terima kenyataan itu. Tapi perlakukanlah hanya seperti album kenangan, tidak lebih. Ada teori yang mengatakan semakin kita berambisi melupakan sesuatu, justru semakin sulit melupakannya karena si 'sesuatu' itu terus-terusan kita hadirkan dalam pikiran kita meskipun dengan embel-embel 'lupakan'. Terus, harus bagaimana donk? Lanjutkan ke poin berikutnya hehe...
  • Temukan attachment figure lain. Eits, jangan diartikan mencari pasangan baru. Tak usah terburu-buru soal itu. Attachment figure ini bisa saja sahabat atau keluarga. Ingat ya, mantan kita bukan satu-satunya orang yang dekat dan memberikan dukungan kepada kita.
  • Kurangi intensitas bersama mantan. Apalagi malah menjadikan teman curhat dan berbagi kisah hidup. Lha, apa bedanya dengan tetap menjalin hubungan dengan dia? Kecuali kita sudah yakin kalau kita telah sukses melalui masa moving on. Masih satu sekolah, kampus atau kantor dengan mantan? Tidak masalah selama kita tetap menempatkan diri sebagai pribadi yang tidak punya ikatan lagi dengan mantan.
  • Masih lihat-lihat statusnya di Facebook, foto terbarunya di Instagram atau serius menyimak lini masanya di Twitter? Selain buang-buang waktu, ke-kepo-an itu akan berujung gagal move on akut. Punya soundtrack dengan mantan atau film spesial? Segera perbaiki playlist musik dan koleksi film. Akan lebih bagus jika musik dan film yang menyemangati, bukan malah yang menyek-menyek.
  • Tetap jalani kehidupan rutin kita seperti biasa. Tidur cukup, makan tepat waktu dan berkualitas, dan rutinitas menyehatkan lainnya akan membantu kita melewati masa galau. Ya, slogan ‘dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat’ bukannya main-main. Lupakan anggapan kalau dengan menambah pekerjaan dan kesibukan akan mengalihkan pikiran kita. Jalankan sesuai porsinya karena, sekali lagi, badan yang sehat membuat pikiran kita lebih positif, selain juga pekerjaan dan kesibukan yang terlalu banyak akan mengurangi kuantitas dan kualitas interaksi dengan orang lain.
  • Terakhir, cari bantuan profesional. Terutama jika gagal move on yang kita alami sudah sangat mengganggu dan menahun. Ada beberapa dari kita yang sulit menemukan sendiri tiang untuk berpegang saat kita jatuh, kekuatan yang sebetulnya ada dalam diri kita. Siapa tahu konselor atau terapis bisa membantu.


Ok, selamat mencoba dan semoga move on-nya sukses! Hidup kita terlalu berharga untuk dilalui hanya dengan menangisi masa lalu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar