Atmosfir kompetisi sebagai efek samping dari bisnis lembaga pers atau media massa telah memberikan tantangan tersendiri bagi para pekerja dan pemilik media dalam menggaet sebanyak mungkin penonton, pendengar dan pembaca. Memaksimalkan teknologi adalah salah satu jalan yang ditempuh seperti yang bisa kita lihat dari transformasi bentuk media massa, dari bentuk yang sangat konvensional (media cetak) ke media elektronik dan kemudian media berbasis internet.
Hal lain yang dilakukan adalah dengan meracik artikel atau program yang lebih menghibur dan dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Human interest adalah satu dari sekian kata kunci dari artikel atau program yang atraktif, yang merefleksikan lika-liku kehidupan manusia. Namun, alih-alih mengangkat sosok atau permasalahan sosial dengan sentuhan emosional melalui kisah-kisah biografi atau feature yang indah dan kuat, beberapa media telah secara keliru, dan mungkin saja sengaja keliru, mendefinisikan ‘human-interest’ sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan seseorang, termasuk privasi mereka. Tayangan dan berita gossip atau infotainment tentang para selebritis adalah yang paling nyata kita temui dari buka-bukaan kehidupan pribadi manusia. Namun, materi macam ini telah juga mengokupasi program atau kolom berita. Saya sendiri meyakini pemberitaan kehidupan pribadi seseorang itu tidak sejalan dengan fungsi dasar media massa dan justru berpotensi melanggar hak si individu yang seharusnya disadari oleh para pekerja media.
Pasal 3 UU No.40/1999 tentang Pers menyebutkan fungsi utama dari pers atau media massa adalah fungsi informasi, edukasi, hiburan, kontrol sosial dan lembaga ekonomi. Fungsi-fungsi ini dapat diterapkan pada satu artikel atau program. Maksudnya, program berita seharusnya informatif, membuat masyarakat terperbaharui mengenai apa yang sedang terjadi di dunia ini. Program berita juga menyediakan materi edukasi berupa pengetahuan dan nilai-nilai mengenai apa yang baik dan buruk dalam lingkungan sosial kita. Penyebaran berita tersebut dapat dilakukan dengan cara yang menghibur, misalnya dengan pemakaian kata-kata yang indah tapi penuh makna dalam sebuah artikel, atau pembaca acara yang lebih santai dan ‘good looking’ dalam program-program berita yang kini lebih interaktif. Bolehlah program atau artikel lain memuat lebih sedikit informasi dan lebih banyak muatan hiburannya, tapi program berita harus tetap mengedepankan fungsi informasinya karena ini merepresentasikan kredibilitas, profesionalitas dan komitmen dari media.
Saya akan mengajukan argumen saya mengapa pemberitaan kehidupan pribadi seseorang tidak sejalan dengan fungsi dasar media massa, bahkan jika hal itu dilakukan dalam kolom atau program berita. Pertama, penting untuk memahami apa itu informasi dalam bingkai media massa. Jika saya mengatakan, “Saya sudah bertunangan”, apakah itu termasuk informasi? Dalam hubungan interpersonal saya, bisa jadi ya. Kerabat dan sahabat perlu mengetahui status saya karena mungkin saja mereka ingin tahu apa rencana masa depan saya, syukur-syukur kalau mereka bisa memberikan dukungan. Saya, tentu saja, tidak akan memberikan informasi ini kepada orang yang tidak menanyakannya atau kepada orang-orang yang saya rasa tidak memerlukan informasi tersebut. Data yang informatif selalu melekat dengan konteksnya dan seberapa bergunakah itu bagi penerima informasi.
Nah, dalam media massa, sebuah informasi seharusnya didefinisikan sebagai data yang berguna bagi massa, masyarakat, orang banyak. Karena itulah dinamakan media massa, bukan? Maka pertanyaan saya adalah, seberapa bergunakah pemberitaan kehidupan pribadi seseorang bagi khalayak? Ya bisa saja itu berguna, misalnya bagi fans berat artis terkenal atau oposisi politikus A. Tapi bagaimana dengan masyarakat yang lebih luas? Apakah mereka setuju informasi itu penting bagi mereka? Apakah itu akan memberi mereka pesan moral tertentu? Saya meragukannya. Lagipula, apakah menjadi artis terkenal dan politikus itu berarti teken kontrak semua kehidupan pribadinya bisa diekspos, alih-alih prestasi mereka saja?
Pekerja dan pemilik media bisa jadi berlindung di balik alibi bahwa pemberitaan kehidupan pribadi hanyalah respon dari permintaan pasar. Mereka membuat asumsi bahwa itulah yang ingin dibaca dan didengar masyarakat. Jika memang demikian, mereka juga seharusnya mempertimbangkan kelompok masyarakat lain yang merasa data macam itu tidak penting, tidak menghibur, tidak mendidik dan justru mengganggu, mereka juga seharusnya melihat kembali fungsi dasar keempat dari pers, sebagai kontrol sosial. Secara tidak langsung, fungsi ini mengamini kekuatan dahsyat yang dimiliki pers dalam kehidupan bermasyarakat. Di sisi lain, permintaan pasar juga bisa diciptakan, atau boleh saya bilang, dimanipulasi. Maka, asumsi di atas sangat tidak masuk akal dan saya percaya media tidaklah sebodoh itu membiarkan masyarakat yang mengontrol mereka. Sebagai institusi yang memiliki kekuatan, media massa bisa menciptakan permintaan. Strategi ini adalah rahasia umum dalam dunia bisnis. Karena media massa adalah lembaga profit, tentu sah-sah saja jika mereka juga melakukan strategi ini. Namun tentu saja, strategi yang diambil harus tetap mempertimbangkan fungsi-fungsi media lainya sebagai dapur informasi dan penyebar edukasi. Apakah media massa menjalankan perannya yang sangat kuat tersebut dalam kontrol sosial? Atau lebih tepat untuk diajukan, kontrol sosial macam apa yang sedang media lakukan sekarang?
Pemberitaan kehidupan pribadi seseorang juga bisa dilihat sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Hak privasi tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang diadopsi PBB pada 10 Desember 1948. Pasal 12 menyebutkan:
“No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honor and reputation.”
Namun, karena tidak ada definisi privasi yang pasti, persoalan privasi ini tampaknya menjadi kompleks. Dari sisi hukum, hak privasi termasuk dalam hak derogable, yang artinya pada kondisi tertentu pemenuhan hak ini bisa dikurangi atau dibatasi oleh pemerintah. Misalnya saja, merekam pembicaraan personal diijinkan jika bertujuan mendukung proses persidangan kasus kriminal, seperti korupsi.
Menarik isu privasi ini ke konteks media massa tentu saja tambah kompleks. Media massa mengklaim bahwa mereka punya kebebasan untuk memberitakan apapun, termasuk kehidupan pribadi seseorang. Pekerja media yang menyetujui ini saya kategorikan sebagai yang masih kurang paham isu hak asasi manusia. Kenapa bisa? Hak dan kebebasan seseorang atau sekelompok orang dibatasi oleh hak dan kebebasan orang lain. Konsekuensinya adalah kebebasan media massa juga seharusnya dibatasi oleh hak privasi orang-orang yang diberitakan. Problem selanjutnya adalah, sampai sejauh mana sesuatu itu bisa dikatakan sebagai privasi seseorang? Apakah memberitakan skandal seks mantan presiden dengan sekretarisnya bisa dikategorikan mencederai hak asasi manusia? Pada beberapa titik, ya. Misalnya saja, informasi berlebihan soal kehidupan pribadi sang sekretaris bisa jadi melanggar hak privasinya. Sensitivitas media massa sangat diperlukan saat akan memberitakan informasi yang terkait kehidupan pribadi seseorang. Media massa juga harus menyadari bahwa popularitas tidak bisa menghilangkan hak privasi seseorang.
Tulisan saya ini sebetulnya saya buat untuk pekerjaan rumah di kelas academic writing. Untuk memperingati Hari Pers Nasional ini, saya tulis ulang dalam Bahasa Indonesia. Tentu ini hanya satu masalah yang sedang dihadapi terkait kredibilitas lembaga pers di Indonesia, selain sekian masalah lain seperti tayangan-tayangan yang tidak mendidik, cengkraman media massa di tangan para politikus, atau kurangnya perlindungan bagi para jurnalis saat bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar