Saya tak hendak mengatakan kalau nasionalisme mengalir deras dalam darah saya sampai-sampai saya anti Bahasa Inggris. Nyatanya toh tidak demikian. Saya lebih percaya humanisme daripada nasionalisme. Setiap hari saya juga ada masa harus berkomunikasi dalam Bahasa Inggris, walaupun kemampuan saya berbahasa yang secara resmi dipakai di lebih dari 50 negara itu masih saja Senin-Kamis.
Ini soal kampanye. Soal pesan yang hendak disampaikan kepada ratusan, ribuan mungkin jutaan kepala di luar sana. Saya lalu teringat kejadian sekitar satu bulan lalu.
Suatu saat, saya dan teman-teman sedang mempersiapkan kampanye viral di sosial media soal kekerasan terhadap perempuan. Setiap dari kami membuat papan pesan untuk diunggah di akun sosial media masing-masing. Salah satu teman saya meminta saya menuliskan pesan di papannya. Kurang pede dengan tulisan tangannya sendiri, katanya.
“Oh pakai Bahasa Inggris?” tanya saya saat dia menyebutkan pesannya. Kepalanya mengangguk mantap, lalu dia melihat papan saya.
“Kamu kok pakai Bahasa Indonesia?”
“Karena teman-teman saya di Facebook dan Twitter kebanyakan orang Indonesia,” kata saya jujur.
“Tapi kan ini bisa buat international exposure…” kata teman saya. Sukses membuat jantung saya berhenti sekian detik. Ingin protes tapi segera saya sadar kalau tujuan kami berkampanye ternyata bak bumi dan langit.
Oh silakan cap saya berlebihan dengan perandaian itu. Tapi menurut saya memang demikian adanya. Teman saya memilih berkampanye dengan berbahasa Inggris agar pesannya sampai bahkan ke penduduk Alaska. Dia mengharapkan komitmen global dari isu yang sedang diperjuangkan karena isu tersebut faktanya memang terjadi di belahan Bumi manapun.
Sedangkan saya berkampanye agar orang-orang terdekat saya punya pemahaman seperti saya. Syukur-syukur kalau sampai berubah sikap dan perilakunya. Saya tidak bermaksud merendahkan kemampuan teman-teman saya di jejaring sosial dalam hal cas cis cus berbahasa Inggris. Kebanyakan bahkan jauh di atas saya. Namun dari pengalaman saya pribadi, saya percaya ada emosi dalam setiap kata yang kadang menjadi 'nggak-dapet' saat diterjemahkan ke bahasa lain. Kedekatan emosi itu yang coba saya bangun dengan target pasar saya. Nah, sasaran saya dan teman saya nyata berbeda, bukan? Itu kenapa saya bilang bagai langit dan bumi.
Kesadaran yang muncul akibat saya menemukan fanpage, memori kampanye viral dan menuliskan ulang pengalaman saya itu di sini malah menggiring saya untuk segera mencari tembok ratapan. Astaga, apa yang sudah saya lakukan di masa lalu? Membuat media kampanye seragam untuk beraneka komunitas karena alasan efisiensi anggaran dan bla bla bla? Bagaimana dengan mereka yang emosinya lebih dekat dengan bahasa daerah alih-alih Bahasa Indonesia? Itu baru perkara bahasa, bagaimana soal struktur kalimat, banyaknya kata dalam kalimat, istilah yang dipakai? Duh!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar