20 Februari 2012

Halangan Kita, Mimpi Orang Lain



Akhir pekan ini saya habiskan dengan: tidak kemana-mana. Keluar kamar hanya untuk cari makan. Nah saat kemarin saya hendak mencari makan siang, saya baru sadar, di atas rumah tetangga-tetangga saya banyak sekali antena TV kabel. Ckckck... Butuh sekali rupanya mereka pada hiburan yang disajikan lewat kotak elektronik itu. Teman kos sebelah saya juga baru pasang sebulan lalu. Kalau dihitung-hitung memang langganannya tidak terlalu mahal. Saya lalu melihat diri saya sendiri yang akhir pekan ini kehausan hiburan tapi malas bukan main mau melangkahkan kaki. TV kabel mungkin bisa jadi solusi ya. Tapi setelah dipikir matang-matang lagi, PC yang saya pasangi TV tuner juga sudah cukup. Apalagi kemarin saya akhirnya bisa nonton film Up yang ditayangkan salah satu stasiun swasta, tanpa harus langganan TV kabel. 


Film animasi ini memang ingin sekali saya tonton. Rumah yang terbang dengan ribuan balon bikin saya penasaran. Tapi karena kesibukan, hilanglah kesempatan menontonnya di bioskop. Film ini mengisahkan Fredricksen yang ingin meraih mimpinya melihat alam Amerika Selatan dengan menerbangkan rumahnya dengan balon-balon. Tiba saat ia menerbangkan rumahnya tersebut, muncul anak kecil di depan rumahnya, yang sudah terbang, bernama Russell, seorang pramuka. Maka dimulailah petualangan mereka berdua menuju Amerika Selatan.


Saya tidak akan menceritakan bagaimana detail film tersebut, namun bagaimana film ini memberikan pelajaran bagi saya, mengingatkan kepada saya tentang usaha kita dalam menggapai apa yang kita harapkan, mimpi kita. Saat kita berupaya meraih mimpi kita, dengan rencana-rencana yang sudah kita susun matang, tak jarang ada saja hal-hal di luar dugaan yang kita temui di tengah jalan atau bahkan di awal kita mulai menjalankan rencana. Kita lantas menyebutnya penghambat, halangan, kerikil (kalau tampak kecil), atau batu besar (kalau tampak bisa menciutkan nyali). Beberapa orang menyebutnya tantangan agar terdengar lebih positif dan memicu diri agar lebih berani menghadapinya. Apapun istilahnya, kita anggap hal-hal itu bisa menunda bahkan menggagalkan rencana kita.


Saya memang bukan orang yang percaya bahwa sudah ada garis pasti untuk kehidupan saya.  Jadi, saya akan mencoba menghindari pembicaraan seputar takdir di sini. Saya hanya ingin berbagi soal bagaimana halangan atau tantangan berperan dalam hidup kita, belajar dari Up yang karena animasinya seringkali diremehkan tapi mengandung nilai-nilai pembelajaran yang luar biasa.


Halangan atau tantangan adalah media belajar kita, dan jika kita percaya bahwa belajar adalah proses seumur hidup, halangan dan tantangan akan terus kita hadapi sampai ajal nanti. Dalam Up, proses tanpa henti ini diilustrasikan dengan tokoh utamanya, Fredricksen, seorang laki-laki yang tak lagi muda, berusia 78 tahun. Namun, sebenarnya apa sih halangan atau tantangan itu? Kalau menurut otak saya, yang masih sering sulit membedakan mana bulan dan mana kue chip, halangan atau tantangan itu sebetulnya wujud lain dari mimpi. Lha kok bisa? Iya bisa... Kita jangan hanya melihat penghuni planet ini cuma kita sendiri atau orang-orang yang punya mimpi yang sama dengan kita saja. Selain anda dan saya, masih ada hampir 7 milyar orang lain yang hidup di luar sana (akan pas 7 milyar pada Oktober 2012 nanti, menurut perkiraan PBB). Tujuh milyar itu bukan cuma angka. Ia mewakili 7 milyar kepala dengan isinya, 7 milyar perut dengan rasa laparnya. Sekarang kita coba bertanya pada diri sendiri, apakah kita hanya punya satu mimpi selama hidup kita? Kalau jawabannya iya, silakan ganti popoknya dulu. Karena kita manusia yang setiap hari berkembang (setelah berhenti tumbuh pada usia remaja akhir), mimpi kita seringkali juga bertambah, melengkapi yang sudah ada dengan meningkatkan level mimpinya atau menambah dengan mimpi yang baru. Jadi bisa dibayangkan ada berapa milyar mimpi manusia penghuni Bumi pada waktu yang bersamaan. 


Mimpi yang sama bisa menimbulkan kerja sama yang baik, dan hasil yang dicapai juga bisa maksimal. Misalnya saja, mimpi untuk melanjutkan kuliah membuat F dan D bekerja sama membangun usaha untuk biaya kuliahnya. Kesal dengan aturan perusahaan X, mimpi pekerja untuk mendapatkan lingkungan kerja yang lebih kondusif bisa diakomodir dengan menyatukan mimpi mereka dalam sebuah serikat.


Namun tak jarang, mimpi yang sama juga justru menimbulkan pertikaian. Terutama jika tampak jelas terbatasnya orang-orang untuk bisa meraih mimpi tersebut. Misalnya saja, S dan W sama-sama memimpikan bisa menjadi direktur lembaga R di kota N. Atau Y, H dan P yang sama-sama memimpikan bisa menikah dengan Z, anak ibu Q yang tinggal di jalan U. Ada sih kemungkinan kalau lembaga R tiba-tiba punya direktur atau Z memutuskan untuk menikahi Y, H dan P pada waktu yang sama, tapi seberapa besar sih kemungkinan itu?


Mimpi yang sama saja bisa menimbulkan ketidakakuran ya, apalagi mimpi yang berbeda. Perlu saya kasih contoh lagi? Boleh. K yang baru lulus SMA bermimpi untuk menjadi desainer grafis, sedangkan sang ayah menghendakinya menjadi dokter (klasik banget ya) karena sang ayah memimpikan kelak ia bisa membanggakan anaknya di depan teman-temannya. Nah, uniknya, mimpi yang berbeda seperti ini juga bisa membuat kita bekerja sama dengan orang lain. Film Up memberi contoh yang bagus untuk hal ini. Seperti sudah saya ceritakan soal mimpi Fredricksen yang ingin pergi ke Amerika Selatan dengan menggunakan rumah berbalonnya, muncul tokoh Russell yang datang ke rumah Fredrickson sebetulnya dalam rangka mendapatkan medali pramuka "menolong orang tua". Akhir ceritanya bisa ditebak, keduanya mendapatkan mimpinya masing-masing. Namun proses untuk mendapatkannya yang membutuhkan keharmonisan luar biasa, kelapangan hati, keinginan untuk membantu dan kemauan untuk belajar. 


Fredricksen menunjukkan kepada saya, saat kita membantu orang lain mencapai mimpinya (dalam hal ini, Russell punya mimpi baru, menyelamatkan Kevin, burung langka di Amerika Latin) bukan berarti kita akan meninggalkan mimpi kita, mungkin hanya tertunda untuk beberapa waktu. Dan selama beberapa waktu itu, selama kita membantu orang lain itu (bahkan mungkin menyerap mimpi orang itu sebagai mimpi kita juga) kita belajar hal-hal baru yang selama ini tak pernah kita bayangkan. Di sanalah kita belajar, bukan hanya bagaimana caranya bekerja bersama orang lain, tapi juga bagaimana bersabar dan menimbang ulang sepenting apakah mimpi kita. Apakah jika kita tidak mendapatkan mimpi tersebut, akan kiamat dunia kita?


Jadi apa sih inti tulisan saya ini? Hehehe... Untuk pribadi saya ya saya akan belajar kalau di balik halangan atau tantangan yang saya hadapi saat sedang berusaha menggapai mimpi itu sebetulnya ada mimpi-mimpi orang lain. Saya tidak suka mimpi saya diganggu orang lain, demikian saya akan berusaha untuk tidak mengganggu mimpi orang. Kalau bisa bareng-bareng jalan, ayo mari. Kalau misalnya kita berseberangan, asal gak tabrakan saja sudah syukur, tapi akan lebih baik kalau bisa saling membantu mendapatkan mimpi masing-masing.



2 komentar: