Campur aduk rasanya
saat saya membaca berita tentang penolakan seorang siswa yang diketahui ayahnya
positif HIV. Sang anak, yang negatif, sebetulnya sudah diterima di sekolah
tersebut namun tiba-tiba orang tuanya mendapatkan pesan singkat dari salah satu
guru yang menyatakan bahwa anak tersebut tidak jadi diterima karena adanya
kekhawatiran dari beberapa orang tua murid.
Perasaan pertama yang saya rasakan adalah geram pada pihak sekolah dan kasihan pada si anak. Perasaan saya lalu berubah menjadi kekhawatiran mungkin masih banyak –semoga tidak- anak-anak yang mendapatkan perlakuan serupa. Saya bertanya-tanya, apakah para guru dan orang tua akan melakukan hal yang sama pada anak yang ibu atau ayahnya terkena hepatitis atau TBC? Apakah mereka tidak pernah mendapatkan informasi tentang HIV & AIDS yang benar?
Perasaan pertama yang saya rasakan adalah geram pada pihak sekolah dan kasihan pada si anak. Perasaan saya lalu berubah menjadi kekhawatiran mungkin masih banyak –semoga tidak- anak-anak yang mendapatkan perlakuan serupa. Saya bertanya-tanya, apakah para guru dan orang tua akan melakukan hal yang sama pada anak yang ibu atau ayahnya terkena hepatitis atau TBC? Apakah mereka tidak pernah mendapatkan informasi tentang HIV & AIDS yang benar?
Dalam hal ini, tentu
pihak sekolah tidak bisa disalahkan seratus persen. Saya sedikit paham cara pikir
pihak sekolah tersebut mengingat masih minimnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat
umum terkait HIV & AIDS. Program-program yang sudah bertahun-tahun
dijalankan secara tidak langsung sudah melabel kelompok tertentu sebagai
beresiko tinggi dan yang lainnya tidak. Bagi yang terakhir ini, selain
kurangnya akses informasi bagi mereka, mereka juga telah ditumbuhkan untuk
tidak mencari informasi tersebut karena merasa diri berada di area ‘aman’.
Hasilnya ya seperti sekarang ini, slogan “Semua Bisa Kena” seakan angin lalu
bagi sebagian orang.
Data yang dikeluarkan
oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional pada 2010 bisa dijadikan gambaran
bagaimana kelompok masyarakat yang tidak terimbas program penanggulangan justru
kini berada di posisi beresiko. Dari 5210 kasus AIDS kumulatif pada perempuan,
sebesar 41.4% nya adalah ibu rumah tangga. Sedangkan jumlah kasus pada
perempuan pekerja seks sebesar 8.7%. Pertanyaannya adalah tentu saja, apakah para
ibu rumah tangga tersebut sebelumnya tahu bahwa mereka punya potensi terinfeksi
HIV?
Beberapa tahun lalu,
kali pertama saya bertemu dengan perempuan yang terinfeksi HIV tanpa sebelumnya
ia tahu ia beresiko. Cara pandang saya dulu yang masih sangat bias membuat saya
terkejut bukan main saat ia mengatakan terus terang kalau dirinya positif HIV.
Di antara teman-temannya, saya pikir dia adalah mahasiswa yang sedang
mencoba-coba berkegiatan sosial, masih terlihat keluguannya. Sampai dia
bercerita bagaimana HIV bisa bersarang di tubuhnya.
Ia menikah di usia yang
masih muda. Dia tak pernah tahu sang suami ternyata positif HIV sampai suaminya
meninggal di rumah sakit dan dokter kemudian memanggilnya. Sang dokter
menganjurkannya untuk tes agar segera diketahui statusnya sehingga langkah
selanjutnya bisa segera diambil. Pun demikian pada bayi hasil pernikahan
mereka. Hasilnya, ia dan anaknya positif. Saya tidak bisa membayangkan
bagaimana rasanya jika saya jadi dia. Bingung, frustrasi, sedih, takut dia
rasakan. Beruntung, keluarga sang suami memberikan dukungan dan motivasi yang
besar sehingga dia bisa melanjutkan kehidupannya dengan semangat. Bahkan, saat
saya undang untuk menceritakan kisahnya di sebuah program radio, dia sangat
berantusias membagi pengalamannya dengan tujuan agar tidak ada lagi
perempuan-perempuan yang mengalami kisah serupa.
Maka saat saya membaca
berita penolakan sebuah sekolah pada siswa yang ayahnya positif HIV membuat
saya sangat khawatir, lantas apa yang akan dilakukan sekolah pada siswa yang diketahui
statusnya HIV positif seperti anak teman saya itu? Ini adalah bahan renungan
kita bersama di Hari AIDS Sedunia ini, apakah program penanggulangan HIV &
AIDS yang selama ini telah dilakukan sudah menyentuh semua lapisan masyarakat?
Apakah program dan tanggung jawab harus selalu difokuskan kepada kelompok
tertentu yang dianggap beresiko tinggi saja?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar