26 Desember 2011

Resolusi, Hanya Bagi yang Membutuhkan

Tik tok tik tok... Sedetik yang lalu. Lima menit kebelakang. Tadi pagi. Kemarin malam. Setahun silam.

Dunia berputar, menyapa kita sejenak lalu kita sebut ia dengan masa lalu. Canda tawa menimbulkan rindu. Tak sedikit pula tangis pilu. Darinya kita belajar. Menjadikan diri kita sekarang. Sekarang. Sekarang?
Tik tok tik tok... Sekarang. Detik ini. Menit ini. Jam ini. Malam ini. Hari ini. Minggu ini. Bulan ini. Tahun ini.

Masa yang sedetik kemudian, semenit kemudian, sejam kemudian, seminggu dan setahun kemudian akan menjadi memori.


Seminggu lagi, kita bersiap mengganti kalender kita dan membiasakan diri menulis angka 2 alih-alih angka 1 setelah 201. Semuanya memang hanya masalah angka, yang memudahkan kita beraktivitas dan menyamakan persepsi soal dimensi waktu. Namun, tak bisa disangkal, pergantian tersebut sering dijadikan momen berharga bagi banyak orang. Harga yang bisa dirupiahkan oleh para pemilik bisnis hiburan. Atau harga yang tak bisa dihitung nilainya seperti menikmati liburan dan menghabiskan waktu bersama keluarga, atau membuat resolusi, mencoba menjadi pribadi yang lebih baik dari tahun-tahun yang sudah terlewati.

Resolusi. Terdengar indah dan menjanjikan namun tak jarang hanya berujung di coretan di atas kertas yang pada pertengahan tahun mungkin kita sudah melupakan dimana kita simpan atau bahkan sudah terbuang bersama tumpukan dokumen yang sudah tak berguna. Saya, termasuk yang rapi menyimpan, tapi juga rapi melupakan. Maka resolusi saya yang pertama kali di tahun depan adalah: berkomitmen pada resolusi saya. 

Beberapa kawan saya menganggap resolusi tidak penting, karena ada yang berfalsafah hidup mengikuti kemana air mengalir, atau karena ada yang memang setiap waktunya mereka beresolusi. Bagi orang seperti saya yang keinginannya macam-macam dan rupa-rupa, membuat resolusi adalah hal yang cukup membantu kemana arah yang akan saya tuju. Anda yang tidak merasa membutuhkan resolusi, silakan stop membaca sampai di sini. Anda yang tertarik membuat resolusi, silakan lanjut. 


Evaluasi: Melihat Resolusi Tahun Lalu
Dari 11 item yang menjadi resolusi saya di tahun 2011, hanya 6 yang saya rasa sudah saya raih. Tiga di antaranya sudah gagal di awal tahun karena salah perhitungan (soal beasiswa dan persiapan pendaftaran). Dari enam item yang berhasil saya raih, saya baru sadar kalau tiga item diantaranya sulit sekali dinilai keberhasilannya karena saya hanya menuliskan: kurangi rokok, kurangi limbah plastik dan perbanyak makan buah. Saya mungkin saja membela diri mengapa ada resolusi yang tidak bisa saya wujudkan, tapi fokus pada apa yang akan saya lakukan jauh lebih penting.

Melihat kembali resolusi yang pernah kita susun akan membuat kita bisa mengukur kemampuan (dan kemauan) diri kita. Jangan-jangan memang resolusi yang kita buat terlalu tinggi untuk diraih? Melihat kembali resolusi kita juga menjadi ajang belajar bagaimana membuat perencanaan yang lebih matang. Tentu juga kita bisa masukkan hal-hal yang sudah kita capai di luar resolusi, yang bisa kita gunakan sebagai acuan menyusun resolusi baru. Bukan tidak mungkin dalam waktu setahun kita bertemu seseorang yang mampu mengubah visi kita, mendapatkan promosi di tempat kerja, atau hal lainnya. 


Fokus: Mulai Menyusun Resolusi
Nah, ini dia. Saatnya menyusun apa-apa saja yang hendak kita capai tahun depan. Ada banyak teori soal bagaimana membuat perencanaan yang baik dan efektif. Saya coba sarikan dari beberapa sumber sambil berkaca dari apa yang sudah saya lakukan. Bagi beberapa orang, menyusun resolusi ini membutuhkan waktu tersendiri, sambil mengevaluasi apa yang sudah kita lakukan dan telah kita raih. Bagaimanapun caranya, fokus menjadi hal yang penting karena apa yang akan kita pikirkan adalah perkara masa depan kita sendiri.

  • Prioritas. Tahu apa yang kita inginkan adalah modal pertama dalam membuat resolusi. Menulis sampai 30 item resolusi mungkin bisa jadi persoalan jika ketigapuluhnya itu tidak berada dalam satu rel. Yang saya lakukan di tahun lalu adalah membuat prioritas untuk pekerjaan dan studi. Ada item-item lain yang lebih mengarah pada gaya hidup saya catat di bagian lain. Awalnya mungkin ada banyak ide yang ingin kita lakukan, namun lebih bijak jika kita menyaringnya berdasarkan mana yang lebih penting dan segera.
  • Bernilai. Masukkan hanya hal-hal penting dalam hidup kita sebagai resolusi. Sejauh mana itu penting bisa kita lihat dari seberapa besar pengaruhnya pada masa depan kita, yang bagi setiap orang bisa jadi berbeda. Lulus kuliah misalnya, bisa saja prioritas bagi seseorang karena merasa harus cepat lulus, bisa kerja dan menyenangkan orang tua. Tapi bagi orang lain, lulus kuliah mungkin tidak menjadi prioritas karena prestasi di organisasi jauh lebih penting, misalnya. Bernilai atau tidaknya sesuatu bisa juga ditentukan dari bagaimana perasaan kita jika kita berhasil mendapatkannya.
  • Detail. Tujuan yang terlalu 'besar' mungkin bisa menjerumuskan kita. Alih-alih semangat, kita justru merasa terbebani oleh target yang kita buat sendiri. Lebih mudah jika kita pecah mimpi yang 'besar' itu menjadi bagian-bagian kecil, dan kepada bagian-bagian kecil itulah kita akan berusaha mencapainya. Contoh saya, tujuan besar saya bisa kuliah di luar negeri, mungkin terdengar besar. Namun jika saya pecah berdasarkan proses yang harus saya lalui: lulus tes bahasa inggris dengan skor X, lulus aplikasi di universitas X dan lulus beasiswa X, akan terasa tidak terlalu membebani.
  • Terukur. Resolusi 2011 saya soal pengurangan limbah plastik mungkin adalah contoh yang kurang baik. Saya melakukan pengurangan itu iya, tapi kadang-kadang saya tidak bisa menghindari karena lupa bawa tas atau barang belanjaan terlalu besar. Akan lebih tepat jika saya menulis: cukup tiga-empat kantong plastik dalam satu bulan, dan sebagainya.
  • Realistis. Resolusi bisa terbang ke bulan pada tahun 2012 mungkin akan jadi bahan tertawaan kawan-kawan kita. Tapi jika kita rasa itu adalah hal yang tingkat kemungkinan untuk dicapainya tinggi, kenapa tidak? Ukuran realistis atau tidak sangat subjektif. Di sini kita dituntut untuk jujur pada kemampuan yang kita miliki juga jeli pada kondisi di sekitar kita yang bisa memberikan dukungan. Realistis juga bukan berarti hal-hal yang yang akan kita lakukan adalah hal yang "mudah". Bagi orang yang senang membaca, menamatkan 1 judul buku dalam sebulan mungkin bukan masalah. Tapi untuk apa kita jadikan itu sebagai resolusi?
  • Jadwal. Ini adalah kesalahan fatal saya saat membuat resolusi 2011. Tidak ada jadwal! Beberapa hal sudah bisa kita jadwalkan karena ada jadwal lain yang mengatur. Misalnya, wisuda pada November 2012. Kita tidak bisa menjadwalkan untuk wisuda pada bulan Agustus jika kampus kita tidak punya agenda di bulan itu! Cari tahu soal jadwal-jadwal seperti ini, termasuk juga misalnya jadwal cuti bersama bagi yang akan mengagendakan liburan panjang ke lokasi yang kita impikan. Untuk resolusi yang nir-jadwal, kita lebih bebas menentukan, tentu dengan pertimbangan realistis untuk dicapai.
 
Komitmen: Siapkan Diri Kita
Evaluasi sudah dilakukan dan resolusi sudah tercatat rapi dalam agenda kita. Lalu apa yang harus kita lakukan? Mulai menjalankan resolusi kita tentu saja. Antisipasi perlu dipersiapkan kalau-kalau di tengah jalan mesin kita mogok. Ada banyak cara untuk memotivasi diri sendiri agar komit pada janji kita pada diri sendiri. Pertama, berbagi resolusi dengan orang-orang terdekat agar bisa saling mengingatkan dan memberikan dukungan. Saya lakukan ini dengan kawan dekat saya dan cukup berhasil mencambuk semangat saya saat saya sudah mulai kehilangan fokus dan ia mengingatkan saya. Orang-orang ini juga yang akan memberikan reward saat kita berhasil mencapai resolusi kita. Ucapan selamat adalah penghargaan besar atas apa yang sudah kita raih. Jika itu tidak cukup, kita bisa memberikan reward pada diri kita sendiri.

Kita juga bisa mencatat resolusi kita pada kertas yang cukup besar dan menempelkannya di dinding kamar. Anggaplah ia sebagai alarm. Membuatnya tampil menarik, dengan menambahkan gambar dan warna, mungkin bisa membantu agar tidak terlihat sebagai hantu yang selalu mengikuti. Namun, jika perasaan terhantui itu terus menerus kita rasakan, agaknya kita perlu melihat kembali resolusi yang sudah kita susun. Sudah tepatkah? Merevisinya sehingga terasa lebih tidak membebani jauh lebih baik dibandingkan dengan kemudian berusaha mati-matian menggapai target tapi kita sendiri tidak menginginkannya. Resolusi tahunan, seperti halnya tahun baru, hanya perkara momen. Kita bisa membuat resolusi kapanpun kita butuhkan dan kita inginkan. Kita bisa menjadi diri yang baru tanpa harus menunggu pergantian kalender dan pergantian satu angka paling akhir di penanggalan.

2 komentar:

  1. Berat... tulisannya... seberat ngankat cor2an bandara... :-D.. mantaap gan...

    BalasHapus
  2. wah wah wah.. niat hati pengen bikin sederhana cara buat resolusi malah tambah berat ya? wkwkwk.. btw, gw ga pernah nyobain ngangkat cor-coran bandara, gan.. berat ya?

    BalasHapus